webnovel

Chapter 3

Hari Rabu biasanya menjadi hari paling menegangkan di perusahaan tempatnya bekerja, di mana semua kepala divisi begitu sibuk. Dan hal itu tentu saja berimbas pada para staff biasa seperti Sikha dan kedua sahabatnya, Sonya dan Agni. Bersyukur hari ini rasa mualnya sudah jauh lebih berkurang, tidak seperti biasanya. Sehingga ia jauh lebih bisa bekerja dengan nyaman, tetapi tidak lama ketika sebuah suara yang sangat ia kenal itu muncul di depan pintu ruang kerjanya.

Royan, makhluk berjakun itu selalu saja membuat Sikha kesal bukan main ketika muncul di hadapannya. Biasanya ia akan memintanya melakukan hal-hal yang belum pernah dibuat, contohnya saja seperti tabel di kertas yang baru saja diletakkannya di atas meja kerja Sikha. Cengiran lebarnya sungguh membuat Sikha muak, dan ia harus bersabar menghadapi bujang tua ini selama masa kehamilan.

“Deepsikha Praya Mahaprana,” panggilnya dengan begitu lembut, yang hanya dijawab dengan gumaman tidak jelas.

“Bantuin gue dong,” ucapnya lagi karena wanita hamil itu masih sibuk dengan jari-jemarinya menari di atas keyboard.

“Apa lagi?” tanya Sikha menaikkan wajahnya dan menatap tajam Royan.

Lelaki itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sembari berdecih kesal melihat wajah tidak bersahabat Sikha. “Sebenarnya yang atasan di sini siapa, sih? Lo jutek banget parah,” kesal Royan dengan sikap Sikha yang sebenarnya sangat lancang pada atasan, tetapi dia tidak bisa melakukannya karena mereka hanya berbeda satu tingkat saja dalam struktur manajemen perusahaan.

“Bapak bilang aja mau dibikinin apa, biasanya juga nggak pakai basa-basi begini,” ketus Sikha yang wajahnya sudah kembali menghadap layar PC.

“Buset. Lo hamil makin rese, ya,” Royan makin kesal dan berjalan ke arah Sikha, mengandarkan bokongnya di meja wanita itu, hingga mereka sedikit berhadapan jika saja Sikha memutar posisi kursinya.

“Mau bikin apa?” tanya Sikha akhirnya, memilih mengalah dan fokus pada lelaki menyebalkan ini.

“Lo cek data dari estimator ini sudah benar atau belum, Lo cocokin sama tim perencana untuk semua anggarannya,” ucap Royan menunjuk kertas yang tadi ia letakkan di atas meja kerja Sikha yang sekarang sudah memutar bola matanya jengah.

“Kalau sudah kelar, lo kasih ke Pak Herdian. Kalau bisa titip Sonya aja,” ucapnya lagi yang membuat Sikha mencubit lengan lelaki itu dengan gerakan memutar.

“Auuu, sakit,” Royan mengusap-usap bekas cubitan Sikha yang telah membuat kulitnya memerah.

“Bapak kenapa nggak antar sendiri, sih?”

“Kenapa sih lo menghindar banget ketemu Pak Herdian? Atau jangan-jangan itu anaknya dia, ya?”

Sikha kesal bukan main dengan asumsi yang disuarakan oleh Royan, ia hanya malas jika bertemu pria yang hobinya kawin cerai itu. Apalagi istri barunya sangat amat menyebalkan, dan yang ia tahu jika istri ketiganya bos besar adalah musuh bebuyutan Sonya. Dan yang membuatnya makin enggan untuk bertemu dengan Herdian karena tidak suka dengan perangai pria itu. Baru sebulan ia pernyataan cinta meluncur dari mulut pria itu, dan ia menolaknya dengan lantang, sebulan kemudian ia menikah dengan musuh Sonya. Luar biasa sekali sepak terjang pria itu, begitu memuakkan.

“Lagian kan dia sekarang sudah nikah lagi, nggak mungkin lah masih godain lo,” ucap Royan lagi yang hanya dibalas senyuman sinis oleh Sikha.

Lelaki itu dengan santainya meminum hot macchiato favoritnya ketika ponselnya berdenting, dan ia langsung panik meninggalkan ruang kerja Sikha, dan juga hot macchiatonya di atas meja. Sikha tersenyum geli melihat wajah panik Royan yang berjalan cepat ke ruang kerjanya dan segera keluar lagi dengan membawa beberapa map di tangan. Ia yakin jika Sonya, sang sekretaris bos besar tengah beraksi.

Wanita itu mengambil ponsel dari dalam laci meja, mengetikkan sesuatu pada layar ponsel. Di sebuah grup khusus dengan kedua sahabatnya, tempat berbagi informasi sekitar pekerjaan atau sekadar gossip yang sedang panas. Dan tawanya pecah ketika melihat balasan yang diketik oleh Sonya, sebuah kode dengan warna kuning. Yang katanya adalah bentuk efisiensi waktu dan tenaga untuk mengumpulkan para kadiv.

Melihat Royan yang selengekan panik mungkin sudah biasa bagi Sikha, tetapi ia sedang membayangkan wajah panik Pak Ghazali. Pria berdarah Arab yang juga kadiv HRD, atau lebih tepatnya adalah atasan Agni itu panik. Karena setahunya pria itu memiliki karakter tenang dan berwibawa, tapi itu menurutnya. Tidak tahu bagaimana selama ini Agni merasakannya.

Jalanan Ibu kota siang ini begitu menyengat sampai ke kulit, sudah beberapa hari berlalu sejak pertemuan terakhirnya dengan Sikha. Andra masih tidak bisa tidur tenang karena permintaan kedua orang tuanya. Akhirnya sekarang di sinilah dia, di dalam mobil yang terparkir di depan sebuah gedung perkantoran mewah. Tempat di mana wanita yang telah menolaknya bekerja, sebenarnya bisa saja ia meminta bantuan pada Royan, yang kebetulan berkerja di perusahaan yang sama dengan Sikha. Tetapi ia tidak ingin melibatkan lelaki itu, karena bukan tidak mungkin kabar tentangnya yang menghamili seorang perempuan akan tersebar luas.

Andra terus mengetuk-ngetuk setir mobilnya, menunggu wanita itu dengan gelisah. Ia berharap Sikha akan keluar dari lobi gedung untuk makan siang di luar. Setidaknya ia sudah berusaha untuk mendapatkan kesempatan dari wanita itu. “Lama banget, sih,” kesal Andra semakin tidak sabar karena pendingin mobil sudah tidak menolongnya lagi ketika bias panas matahari merengsak masuk dari setiap kaca mobilnya.

Matanya memicing ketika melihat sosok yang sejak tadi ditunggu, berjalan dengan dua orang perempuan lainnya. Yang satu terlihat begitu mencolok dengan konsep warna senada pada tiap-tiap pakaian yang dikenakannya. Dan yang seorangnya lagi terlihat tidak begitu berdaya, atau lebih tepatnya seperti orang sakit. Kali ini Andra semakin yakin dengan keadaan Sikha yang sudah pasti tengah mengandung anaknya.

Wanita itu mengenakan gaun selutut, warna putih dengan bunga-bunga berwarna peach semakin membuat tonjolan pada bagian perutnya terlihat jelas. Ya, wanita itu sungguh tengah mengandung. Beberapa kali terlihat Sikha membelai lembut perutnya, sambil berbincang dengan kedua temannya. Tidak ingin membuang kesempatan, Andra segera keluar dari mobil dan berjalan cepat ke arah ketiga orang itu. Atau lebih tepatnya menuju Sikha yang berjalan membelakanginya.

“Sikha, aku ingin bicara,” ucap Andra sembari mecekal pergelangan tangan Sikha yang masih berjalan, membuat langkah wanita itu berhenti.

Ketiga sahabat itu terkejut ketika mendengar suara yang sebenarnya begitu asing di telinga mereka, tentunya juga sama di telinga sang wanita yang namanya disebut. Mereka berpaling, menatap lelaki yang kini menatap tajam Sikha dengan mata cokelatnya. Wanita itu tidak bicara, ia hanya melirik ke arah tangannya yang masih berada dalam cekalan Andra, seolah mengatakan ingin dilepaskan.

“Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan, Pak Andra,” tolak Sikha ketika Andra telah melepaskan cekalannya.

“Kamu bilang tidak ada?” tanya Andra tidak percaya dengan wajah dingin wanita yang kembali menolaknya, untuk ketiga kalinya.

“Siapa, sih, Bapak ini?,” kesal Agni menatap tajam Andra yang menatapnya dengan sebelah alis naik.

“Permisi, ya, Pak. Sahabat kami ini sedang hamil, dan janin dalam kandungannya butuh asupan gizi. Jadi tolong deh, Pak, jangan menghambat pertumbuhan janin sahabat saya,” ketus Sonya melirik Andra dari ujung rambut sampai ujung kaki, meski sebenarnya ia sedikit takut dengan tatapan intens lelaki itu pada kedua sahabatnya.

“Justru itu saya ingin bicara dengan sahabat kalian,” jawab Andra merasa egonya tercubit mendengar keketusan kedua sabahat Sikha.

“Memangnya urusan Bapak dengan Sikha apa?” tanya Sonya dengan tingkat kekepoannya yang sudah tidak bisa dikondisikan.

“Saya ingin membicarakan ten-”

“Pak Andra ikut saya, dan gengs, kalian makan duluan. Nanti gue nyusul, pesanin aja seperti biasa, tambah jus alpukat pakai milo tabur,” ucap Sikha menarik tangan Andra, berjalan menjauh pergi dari kedua sahabatnya.

Andra berhenti ketika Sikha melepaskan tarikan tangannya, membuatnya berpikir di sinilah ia harus bertindak. Ia menarik tangan Sikha agar mengikuti langkahnya, menuju mobil yang masih terparkir di depan gedung. “Masuk,” perintah Andra membukakan pintu mobil sembari meminta agar wanita itu masuk ke dalam mobilnya.

Kali ini Sikha tidak ingin berontak, ia akan menuruti permintaan Andra. Semua ini ia lakukan agar kedua sahabatnya tidak khawatir, dan mengetahui jika lelaki inilah ayah dari janin yang ia kandung. Andra menyusulnya masuk ke dalam mobil, menatapnya tajam dengan netra cokelatnya yang seperti menyala. Sikha menghela napas lelah, ia tidak ingin lagi bertemu dengan lelaki ini. Hatinya menjadi semakin sulit, jika pada kenyataannya ia tidak akan pernah bisa membuat lelaki itu masuk sepenuhnya ke dalam hidupnya.

“Mau kamu apa? Kamu kenapa nggak cari aku kalau keadaannya begini? Hum?” tanya Andra menurunkan ekspresi tidak bersahabatnya tadi, menatap Sikha dengan tatapan sendu yang meneduhkan.

“Apa pedulimu?” tanya Sikha tajam.

“Tentu saja aku peduli, kamu hamil anakku, kan?”

“Siapa bilang saya hamil anakmu? Ku rasa aku tidak pernah mengatakannya,” sinis Sikha berhasil membuat Andra menggertakkan giginya.

“Kamu jangan main-main, Sikha. Aku yakin itu anakku, dan kamu nggak bisa berbuat semaumu seperti ini. Biarkan aku bertanggung jawab pada anakku, padamu juga,” ucap Andra terdengar begitu serius, dan sayangnya semakin membuat hati Sikha terluka. Karena wanita itu masih mengingat jelas bagaimana Andra memperlakukan perempuan lain dengan begitu hangat.

“Sudah selesai? Saya harus makan siang,” ucap Sikha hendak membuka pintu mobil yang sayangnya berhasil dicekal Andra.

Keduanya saling tatap dengan tatapan tajam, Sikha yang menyembunyikan rasa sakit dan kecewanya pada diri sendiri. Dan Andra menunjukkan kebencian serta kekesalannya pada sikap kurang ajar Sikha. Wanita yang selalu menolaknya tanpa pikir panjang, bahkan di saat seperti sekarang pun. Sikha masih bersikeras untuk berdiri di atas kedua kakinya sendiri, menanggung aib itu sendirian. Tidak ingin membagi kesukaran ini dengannya, hal yang semakin membuat Andra kesal dan marah.

“Kamu sangat egois, Deepsikha Praya Mahaprana.”