webnovel

Kecurigaan Sahabat

"Halo...." sapa Asha begitu antusias.

"Sumringah banget wajah lo Sha!" celetuk salah satu gadis dengan rambut sebahu.

Panggilan video itu terdiri dari empat orang. Asha, Dinda, Saras dan Anya. Keempat gadis itu memang sudah lama sekali tidak melakukan panggilan video seperti saat ini.

"Iya dong. Lagi seneng ini," sahut Asha tanpa menghentikan aktivitasnya.

Sementara Dinda dan Saras hanya memasang ekspresi datar mendengar Asha dan Anya yang sedang berbincang itu.

"Kapan nih, kita meet up?" Kali ini Saras yang bertanya.

Asha sudah selesai dengan krim wajahnya. Kemudian gadis itu sengaja pindah ke tempat tidur.

"Gue bisa kapan aja. Yang susah diajak keluar kan kalian bertiga," sindir Asha terdengar sangat menohok.

Ketiga gadis lainnya itu dengan kompak meneriaki Asha. Sehingga keributan pun terjadi.

"Sorry, gue nggak bermaksud ya!" ujar Asha menghentikan teriakan untuk dirinya.

Tampaklah satu per satu wajah sahabatnya itu terlihat jengkel. Ya, meskipun itu hanya ekspresi mereka yang terlihat jengkel. Tetapi, hati mereka sangat baik.

"Kalian berdua tadi ketemuan ya?" tanya Anya kemudian.

Dinda menganggukkan kepala. Begitu juga dengan Asha.

Anga mengetahui kalau mereka bertemu dari postingan Dinda di instagram.

"Lo tau darimana?" tanya Asha polos.

"Dari feed instagram si Dinda tuh."

"Kalian kok nggak ngajak gue?" protes Saras terdengar tidak terima.

Dinda mendesis kesal, "Gimana mau ngajak lo. Kan lo lagi tugas di luar kota, Sar!"

Saras hanya menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Iya juga ya Din, gimana gue bisa ikut kalian," sahut Saras dengan wajah polosnya.

Ketiga gadis lain memasang wajah datar mereka. Saras memang sering seperti itu. Sehingga mereka bertiga sudah sangat memahami bagaimana Saras.

"Eh, kalian tau nggak?"

"Nggak," jawab Saras dan Anya bersamaan.

"Tadi, di kafe gue ketemu sama Mas ganteng," ucap Dinda tampak bersemangat. Namun ekspresi wajahnya tak dapat dibohongi kalau ia tengah menggoda Asha.

Asha yang tahu dengan siapa Dinda bertemu tadi, tiba-tiba merasa sedikit gugup. Apa Dinda mulai merasa curiga pada dirinya?

"Siapa? Ketemu sama siapa sih lo tadi?" tanya Anya terdengar sangat antusias terhadap cerita Dinda.

Dinda tersenyum kemudian mengedipkan matanya ke arah Asha.

"Kasih tau mereka nggak Sha?"

Asha terdiam beberapa saat. Sepertinya Dinda memang sengaja untuk menggodanya.

"Siapa sih? Jangan bikin kita penasaran deh!" sarkas Anya mulai tak sabaran.

"Tanya langsung sama Asha, tuh!" ujar Dinda diiringi senyuman menggodanya.

"Siapa sih Sha?" tanya Saras penasaran.

"Apaan sih? Bukan siapa-siapa juga, kok."

Di bawah sana jari-jemari Asha saling bertautan. Telapak tangannya terasa dingin.

"Kenapa Dinda malah ngebahas yang tadi sih?" runtuk Asha dalam hati.

"Sha? Lo nggak mau ngasih tau kita ya? Jahat banget sih lo Sha!" Kali ini Saras merajuk pada Asha. Wajah gadis itu terlihat semakin menggemaskan dengan pipinya yang berisi itu.

Asha tidak tahu harus mengatakan seperti apa kepada sahabat-sahabatnya itu. Lagi pula, membicarakan hal penting di telepon seperti saat ini rasanya akan kurang nyaman.

Asha berpikir keras bagaimana caranya agar segera mengakhiri panggilan tersebut. Tetapi, sahabatnya jangan sampai mengetahui kalau dirinya sengaja menghindar.

TING!

Seperti mendapat sesuatu yang berharga, Asha tersenyum bahagia.

"Iya Ma. Sebentar!" ucap Asha setengah berteriak dengan kepala yang menoleh ke arah pintu.

"Eh, maaf ya guys. Gue dipanggil Mama nih. Udah dulu ya! Bye!" ucap Asha mengakhiri panggilan video itu tanpa menunggu persetujuan dari sahabat-sahabatnya.

Setelah panggilannya benar-benar berakhir, akhirnya Asha bisa menghela napas lega.

"Duh. Mereka rempong banget sih! Hampir aja lo ketahuan Sha!"

Untung saja tadi Asha bisa menemukan alasan untuk segera mengakhiri panggilan itu.

"Bisa-bisa gue ketahuan sebelum jujur sendiri nih."

Saat Asha sibuk berbicara sendiri pada dirinya itu, panggilan dari luar membuyarkan perempuan itu.

"Sha! Makan malam!" teriak Elen dari luar kamar.

"Iya, Ma. Sebentar!" jawab Asha tak kalah berteriak juga.

***

"Dim, lo yakin nggak mau ngejelasin sesuatu gitu sama gue?" ucap Arya saat dirinya dan Dimas keluar dari ruangan Dimas.

Kali ini mereka lembur sehingga sudah cukup malam saat mereka menyelesaikan pekerjaan.

Dimas yang tadinya sibuk dengan ponsel, menoleh ke arah Arya yang ada di sampingnya.

"Maksud lo apa?" tanya Dimas tidak mengerti dengan pertanyaan Arya.

Arya menghela napas panjang. Karena merasa geram dengan sahabatnya itu.

"Lo kebiasaan pura-pura lupa deh, Bro! Ntar beneran lupa baru tau lo rasanya!" sahut Arya menepuk bahu Dimas. Lantas kemudian Arya berjalan mendahului Dimas yang masih memasang ekspresi bingung.

"Aneh banget sih lo, Ar."

Kedua laki-laki seumuran itu sampai di parkiran. Saat di parkiran, hanya ada mobil Dimas.

"Mobil lo dimana?" tanya Dimas karena tak menemukan mobil Arya di sana.

Arya hanya menyengir memamerkan gigi-gigi putihnya yang berbaris rapi itu.

"Gue nebeng sama lo ya? Mobil gue tadi dibawa ke bengkel."

"Untung gue punya temen kayak lo satu aja. Kalau lebih, udah gue gorok tuh orang," ucap Dimas asal dan melemparkan kunci mobilnya kepada Arya.

Dengan sigap, Arya menangkap kunci tersebut. Lalu ia mengikuti Dimas yang sudah masuk ke dalam mobil.

"Jadi, gue yang nyetirin lo nih Dim?" tanya Arya saat dirinya sudah duduk di kursi kemudi.

Dimas yang sedang bersandar dengan mata terpejam itu pun hanya berdehem.

"Sial banget gue nebeng sama lo ya! Dimana-mana, bukan yang numpang disuruh buat nyetir Bapak Dimas Abimana Putra yang terhormat," sindir Arya.

Dimas tak menanggapi lagi apa yang dikatakan oleh Arya.

Sepanjang perjalanan, Dimas lebih banyak diam. Ia hanya sesekali menimpali ucapan Arya yang menurutnya sangat menganggu itu.

"Ar, lo anterin gue pulang dulu. Setelah itu baru lo pulang," ucap Dimas.

Arya yang terlihat fokus memperhatikan jalanan di depan melongo tak percaya ke arah Dimas.

"Lo bener-bener ya Dim! Mentang-mentang lo bos-nya!" ucap Arya menggerutu kesal.

Arya dan Dimas sudah berteman sejak mereka duduk di bangku SMP. Selain keduanya yang berteman, orangtua mereka juga bersahabat. Karena itu hubungan mereka sangat dekat. Hal seperti ini pun sudah biasa terjadi.

"Udah deh! Mending Lo nyetir aja tuh. Lo bawel banget dari tadi, Ar. Udah kayak emak-emak berdaster aja," cibir Dimas diiringi tawanya.

Lagi-lagi Arya hanya bisa menghela napas panjang. "Untung aja temen gue kaya. Nggak rugi-rugi banget gue kalau harus bersabar."

Lima belas menit kemudian, mobil yang dibawa Arya sudah sampai di depan rumah Dimas.

"Masuk dulu gih!" suruh Dimas pada Arya.

"Nggak deh! Kan lo tau sendiri kalau gue mampir. Bisa-bisa gue nggak pulang," jawab Arya.

Karena Arya tahu, kalau dirinya mampir, sudah pasti Anya tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Anya akan selalu bertanya bagaimana Dimas di kantor. Pokoknya semua hal tentang Dimas.

"Iya juga ya. Ya udah, kalau gitu."

"Mobilnya gue bawa ya?"

Dimas mengangguk, lalu turun dari mobil. Setelah Dimas turun, Arya pun segera pergi dari sana.