webnovel

Kejutan untuk Asha

Asha tengah santai menonton TV di ruang keluarga. Tiba-tiba Anya datang dan menghampiri anak gadis semata wayangnya itu.

"Kerjaan kamu tiap hari ya," ucap Elen dengan ekspresi yang sulit terbaca.

Asha hanya tersenyum memamerkan gigi-giginya yang putih rapi itu.

"Mama sewot mulu deh bawaannya!" gerutu Asha dengan bibir yang dimanyunkan.

Elen hanya bisa geleng kepala dengan tingkah Asha. Lantas ia memijit pelipisnya pelan.

"Kamu tuh ya! Anak gadis satu-satunya, kerjaannya nonton mulu! Sekali-sekali ngerjain yang bermanfaat gitu loh, Sha," sindir Elen to the point.

Asha mendengus kesal. Perkataan Elen membuat dirinya terasa tertampar. Tetapi, mau bagaimana lagi. Semuanya memang nyata.

"Mama mau aku ngapain?" tanya Asha tanpa mengalihkan tatapannya dari layar TV.

Elen mengamati Asha dengan saksama, ternyata sifat cuek Asha tidak berubah sama sekali.

Elen mencolek bahu Asha sehingga membuat Asha menoleh ke arah Elen.

"Apa Ma?" tanya Asha dengan wajah tak bersalah.

"Bisa nggak sih Sha, kalau Mama lagi ngomong tu didengerin, gitu lo."

Asha memutar bola matanya malas. Entah sampai kapan mamanya akan seperti itu.

"Ma, aku kan dengerin Mama ngomong nih. Mama kenapa sih? Sensi banget. Mama lagi PMS ya?" ucap Asha tanpa rasa bersalah.

Bukannya senang malah Elen semakin kesal dengan perkataan Asha yang seolah mengejek dirinya itu.

"Sha, kamu tu nggak ada sopannya ya sama orangtua? Huh! Pengen Mama makan aja kamu."

Perkataan Elen barusan membuat Asha terkekeh geli. Bisa-bisanya ibunya itu bercanda seperti itu.

"Dibilangin malah ketawa. Heran sama anak-anak jaman sekarang." Elen menggeleng-gelengkan kepalanya.

Asha mengubah posisi duduknya sehingga saling berhadapan dengan Elen. Asha juga tidak tega kalau terus-terusan membuat Elen geram dengan tingkah lakunya.

"Maaf ya Ma!" ucap Asha sambil memeluk Elen.

Elen yang tiba-tiba dipeluk seperti itu sedikit terkejut dan heran. Lantas ia mengusap pelan punggung Asha.

"Kurang-kurangin deh tingkah kamu yang kekanak-kanakan gini. Sebentar lagi kan mau menikah. Nggak mungkin kan tetap bersikap seperti ini," ujar Elen memberi nasehat.

Asha mendengus kesal dan melepaskan pelukannya.

"Ma, apa harus banget ya aku nikah sekarang? Aku kan masih muda, Ma. Mama nggak kasihan sama aku?" rajuk Asha dengan wajah cemberut.

Elen mengamati wajah cemberut Asha itu. Kemudian mencubit hidung Asha sehingga membuat gadis itu meringis. Elen merasa sangat gemas. Rasanya baru kemarin Asha kecil berlarian di rumah ini. Sekarang, Elen sudah harus melepaskannya karena sebentar lagi akan menikah.

Waktu berlalu begitu cepat. Ternyata kita yang semakin menua.

"Ma, sakit! Jahat sih Mama," gerutu Asha sambil mengusap hidungnya yang dicubit oleh Elen.

"Rasain! Abisnya kamu itu ngeselin Asha!"

"Huh! Salahin aja aku terus. Aku kan selalu salah."

Kedua perempuan beda generasi itu memang seringkali berdebat. Bahkan bisa dikatakan jarang keduanya bersikap seperti kebanyakan ibu dan anak.

"Mama tadi mau ngomongin apa?" Kali ini Asha terlihat serius.

Karena ia berpikir, Elen pasti akan mengatakan sesuatu yang serius. Selain itu, Asha sudah bisa menebak kemana arah pembicaraan Elen.

"O iya, hampir aja Mama lupa." Elen menepuk pelan kepalanya.

Asha mendesis pelan, "Faktor umur emang nggak bisa dibohongi," ejek Asha.

Elen tak lagi menanggapi ucapan Asha itu. Kalau terus ditanggapi, bisa-bisa mereka hanya akan menghabiskan waktu untuk berdebat tentang hal-hal yang tidak penting.

"Nanti malam, kamu dandan yang cantik ya!" suruh Elen dengan nada bicara yang terdengar datar.

"Ngapain dandan cantik? Kan aku emang udah cantik, Ma," kilah Asha kembali memulai candaannya.

Elen mengurut dadanya. Kenapa ia bisa punya anak seperti Asha. Lama-lama Elen bisa jantungan kalau terus seperti ini.

"Ntar malam, kita dinner di luar. Makanya, kamu harus dandan cantik. Nggak mungkin dong Mama sama Papa bawa kamu yang kucel gini," sindir Elen dengan sengaja.

"Dinner di luar? Tumben banget. Dalam rangka apa?" Asha menaikkan sebelah alisnya.

Elen hanya menyunggingkan senyum. Kemudian ia beranjak dari duduknya dan tanpa berkata lagi, Elen meninggalkan Asha yang masih termangu di sana.

"Jangan sampai telat, Sha!" teriak Elen saat sudah jauh dari posisi Asha.

Asha hanya bisa mengangguk pasrah dan tanpa menaruh rasa curiga apapun.

***

Masih siang, tapi Dimas sudah berada di rumah. Tadi ia hanya sebentar saja di kantor karena pekerjaannya telah selesai dan Anya menyuruh Dimas untuk pulang cepat.

"Ma, ngapain Mama nyuruh aku pulang cepat sih?" tanya Dimas pada Anya.

Anya dan Dimas sedang berada di ruang keluarga. Mereka tengah menyaksikan acara televisi.

Siang itu hanya ada Dimas dan Anya di rumah. Sedangkan Abimana, sedang keluar rumah untuk bertemu dengan teman-temannya.

"Nggak ada apa-apa," jawab Anya sekenanya.

Dimas mendengus pelan. Ia merasa kurang puas dengan jawaban ibunya itu.

Kalau tahu hanya akan mendapat jawaban seperti ini, lebih baik tadi Dimas tetap bertahan saja di kantor. Meskipun pekerjaannya tidak ada.

"Ma, aku serius loh Ma. Kok Mama jawabnya gitu aja sih? Mama nggak asik nih kalau kayak gini," rengek Dimas.

Sudah lama sekali rasanya Anya tidak mendengar rengekan Dimas seperti itu. Karena selama ini Dimas selalu bersikap layaknya orang dewasa.

"Eh, Mama nggak salah denger kan?" tanya Anya memastikan.

Dimas mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan yang ditanyakan oleh ibunya.

"Apanya Ma?"

"Dengerin kamu merengek kayak tadi. Udah lama banget deh kayaknya Mama nggak dengar kamu gitu," ujar Anya dengan ekspresi heran.

"Mama ada-ada aja deh yang ditanya. Pertanyaan aku tadi belum Mama jawab loh Ma." Dimas kembali menagih jawaban Astri.

"Ya nggak ada apa-apa Dim. Mama bosen aja kalau di rumah sendirian. Sepi banget. Papa juga lagi keluar."

"Kenapa Mama nggak ikut aja sama Papa? Kan bisa sekalian jalan-jalan ke luar."

Anya menghela napas pelan, "Ngapain juga Mama ngikut Papa. Papa itu ketemu sama temen-temennya."

"Justru karena Papa ketemu sama temen-temennya, Mama harus ikut. Temen Papa kan juga temen Mama."

Anya menatap tajam pada Dimas. "Nggak gitu juga konsepnya, Dimas! Udahlah! Kamu juga nggak bakalan ngerti."

Dimas tersenyum. Rasanya senang saja kalau menggoda Anya hingga membuat perempuan itu kesal dan marah.

"Iya deh Ma, iya. Mama selalu benar, aku yang salah," ucap Reyhan mengalah.

Anya memelototkan matanya pada Dimas. Menghadapi anaknya itu, Anya harus punya stok sabar yang lebih. Meskipun sebenarnya Dimas adalah anak yang baik, patuh dan penurut. Namun sesekali, tingkah yang seperti itu juga dirindukan oleh Anya.

"O ya Dim, nanti malam kita dinner di luar ya? Kamu harus siap-siap. Jangan sampai kita telat."

"Dinner? Di luar? Kok tumben banget Ma? Dalam rangka apa?"

"Mama juga nggak tahu. Kata Papa mau dinner sama rekan kerja Papa."

Dimas menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Anya tanpa menaruh rasa curiga apapun.

Anya pun tersenyum penuh arti. Sepertinya, malam ini akan menjadi sangat spesial dan Anya sudah menunggu lama untuk momen ini.