webnovel

Bertemu Sahabat

"Dim, lo jangan sampai lupa ya!" ucap Arya sebelum mengakhiri panggilan mereka di telepon.

Jam di dinding sudah menunjukkan angka setengah dua belas. Kalau Dimas tidak ingin terjebak macet, maka sekarang adalah waktu yang tepat untuk segera berangkat.

Dimas langsung menelepon Angga setelah membereskan pekerjaannya.

"Ngga, kamu dimana? Kita berangkat sekarang!" ucap Dimas sembari mengenakan jasnya.

"Baik, Pak."

Dimas keluar dari ruangannya dan segera menuju parkiran. Ternyata di sana Angga sudah menunggunya.

Kali ini Dimas mengajak Angga untuk ikut makan siang dengannya dan Arya. Meskipun Angga adalah asisten pribadinya, tapi Dimas sudah menganggap laki-laki itu seperti sahabatnya sendiri. Jadi ia merasa nyaman saja kalau mengajak Angga.

"Pak Arya sudah sampai ya Pak?" Angga bertanya di sela-sela menyetir.

Dimas yang tadi sedang sibuk dengan ponselnya segera beralih menatap Angga yang ada di sampingnya itu.

"Mungkin sudah sampai."

Kemudian Angga hanya menanggapinya dengan anggukan kepala.

Hampir setengah jam berkendara, akhirnya Dimas sampai di kafe yang sudah disepakatinya dengan Arya itu.

"Ayo, Ngga!" ajak Dimas setelah Angga memarkirkan mobil.

"Saya ikut Pak?" tanya Angga menunjuk dirinya sendiri.

"Iya. Memangnya kamu mau jadi tukang parkir di sini?"

Angga hanya membalas dengan cengirannya. Lalu keduanya melangkah memasuki kafe.

"Dim!" ucap Arya setengah berteriak sembari mengangkat tangannya di udara.

Dengan langkah tegapnya, Dimas dan Angga langsung menuju meja yang di sana sudah ada Arya.

Kedua laki-laki itu duduk.

"Lo udah dari tadi?" tanya Dimas seraya menggulung lengan kemejanya sampai siku.

"Nggak! Gue juga baru sampai beberapa menit yang lalu," sahut Arya.

Pelayan pun datang ke meja mereka. Ketiga laki-laki itu memesan makanan yang mereka inginkan. Usai mencatat semua pesanan, pelayan itu pergi.

Ketiganya kembali melanjutkan perbincangan mereka. Di luar kantor seperti ini dan sedang dalam keadaan tidak membahas pekerjaan, ketiganya lebih banyak membahas mengenai masalah pribadi mereka.

"Gue denger-denger lo mau married ya, Bro?" tanya Arya to the point kepada Dimas.

Dimas sedikit terkejut dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh sahabatnya itu. Lantas laki-laki itu hanya berdehem pelan untuk menghilangkan rasa gugupnya.

"Bener kan?"

Angga yang mendengar Arya sedang menginterogasi atasannya itu hanya menundukkan kepala berpura-pura tidak tahu apa-apa.

"Lo denger darimana sih yang begituan?" tanya Dimas balik.

Arya memperbaiki posisi duduknya. Tega sekali Dimas tidak memberitahunya berita sepenting ini.

"Nggak penting gue dengernya darimana. Yang jelas, berita itu bener kan?"

Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepertinya pribahasa itu sangat sesuai dengan apa yang dialami Dimas saat ini.

Sepandai apapun ia menyembunyikan kehidupan pribadinya, pasti akan ketahuan juga. Apalagi ini Arya, sudah tentu ia tak akan bisa menyembunyikan hal sepenting ini dari sahabatnya itu.

Di saat seperti itu, pelayan datang membawa pesanan mereka. Perbincangan itu pun terhenti di sana. Mereka menyantap hidangan makan siang yang telah disiapkan itu.

Sementara itu, Asha dan Dinda sudah sampai di tempat yang telah mereka sepakati untuk bertemu. Kedua gadis itu datang hampir bersamaan sehingga tidak ada drama menunggu.

"Langsung pesen aja! Gue udah lapar banget," ucap Dinda memegangi perutnya yang mulai terasa keroncongan.

Asha pun menyetujui ide Dinda tersebut. Mereka langsung menyebutkan pesanan saat pelayan datang ke meja mereka.

Menunggu makanan mereka datang, keduanya pun menyibukkan diri dengan ponsel masing-masing.

"Sha, ini bagus deh!" ucap Dinda menunjukkan ponselnya kepada Asha.

Asha yang tadi sibuk dengan ponselnya, segera mengalihkan pandangannya ke ponsel Dinda. Beberapa detik kemudian, Asha menganggukkan kepala menyetujui Dinda.

"Kalau lo married, ntar kita bikin gaun kayak gini aja buat bridesmaid-nya."

Uhuk!

"Kenapa gue?" tunjuk Asha pada dirinya sendiri.

"Terus siapa? Gue? Ya nggak mungkinlah, Sha!"

"Menurut lo, gue mungkin gitu?"

Dinda pun meneliti penampilan sahabatnya itu. Ekspresi Dinda benar-benar seperti orang yang tengah meneliti dan menilai setiap inci dari Asha.

"Mungkin aja."

"Tolong jelasin kenapa lo segitu yakinnya!"

Dinda menghela napas, "Nggak tau juga sih. Tapi gue yakin aja gitu, kalau lo bakalan lebih dulu nikah dibanding gue dan yang lainnya."

Asha terbatuk mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Dinda. Karena, apa yang dikatakan Dinda sepertinya memang akan menjadi kenyataan. Tetapi, Asha sama sekali belum memberitahu sahabat-sahabatnya mengenai rencana yang telah disiapkan oleh keluarganya.

"Lo kenapa sih Sha?"

Asha menggelengkan kepala, "Nggak kenapa-kenapa kok."

"Kenapa lo yakin banget sih?" Asha kembali bertanya.

Dinda berdehem, "Nggak tau kenapa juga sih. Tapi ya nggak apa-apa dong kalau lo beneran mau nikah. Secara lo untuk urusan duit nggak perlu mikir capek-capek. Terus siapa sih yang nggak mau sama anak pengusaha terkenal kayak lo," sindir Dinda diiringi dengan tawa lepas gadis itu.

"Ih, lo apaan sih Din. Nggak banget deh alasan lo!" sungut Asha kesal.

"Tapi beneran lo apa yang gue omongin. Siapa sih yang nggak mau sama lo. Lo udah lahir dengan sendok emas di mulut kalau kata-kata orang mah."

Asha geleng kepala. Sangat tidak masuk akal dengan apa yang dikatakan Dinda.

Tak berselang lama, pesanan mereka pun sudah datang. Keduanya mulai menikmati makan siang mereka.

"Lo emang nggak sibuk ya Din?"

Dinda yang sedang menyeruput minuman dinginnya itu menoleh ke arah Asha, "Dibilang sibuk sih nggak terlalu sibuk juga. Buktinya gue ada waktu buat ketemu sama lo."

"Iya juga ya."

"Udah! Habisin dulu makanan lo tuh!" ucap Dinda menunjuk piring yang ada di hadapan Asha.

Asha pun kembali mengunyah makanannya. Dapat keluar seperti ini merupakan sebuah kesenangan tersendiri bagi Asha.

Karena selama ini ia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah tanpa mengerjakan apapun.

"Anya sama Saras gimana ya? Gue udah lama nih nggak denger kabar dari mereka berdua," ujar Dinda.

"Mereka baik. Tapi kayaknya sekarang lagi sibuk deh. Gue seminggu yang lalu komunikasi sama mereka," jawab Asha menjelaskan.

Dua minggu yang lalu, Asha memang sempat menghubungi kedua sahabatnya itu. Asha juga mengajak mereka untuk bertemu. Tetapi, ternyata keduanya cukup sibuk dengan pekerjaan mereka.

Jadilah Dinda yang hanya bisa bertemu dengan dirinya.

"Sibuk apaan sih mereka? Segitu banget nyari cuan deh," cibir Dinda mengingat kedua sahabatnya itu.

"Lo juga sibuk kan. Kan cuma gue yang pengangguran."

"Ish apaan sih lo! Lo pengangguran sultan. Beda sama kita-kita," sungut Dinda kemudian.

Asha tak lagi menghiraukan apa yang dikatakan Dinda. Selalu saja begitu. Mungkin karena kondisi keuangan keluarga Asha yang sedikit lebih beruntung dibanding sahabat-sahabatnya.

"Alhamdulillah, kenyang." Dinda mengusap sudut bibirnya dengan tisu.