webnovel

Bab 5 Kunjungan

Aula perbintangan di jaga ketat oleh ratusan prajurit Kerajaan. Prajurit bersenjata lengkap itu seolah sengaja berbaris membuat pagar yang membentengi tempat suci itu dari berbagai gangguan apapun.

Bhirendra yang telah berada di menara perbintangan, mengambil posisi yang cukup strategis. Ia berdiri tidak jauh dari jendela dan menyimak persiapan dari prosesi penting yang sebentar lagi akan di laksanakan. Ekor matanya yang tajam tampak menyisir seluruh ruangan. Selain dirinya, hanya ada tetua inti yang berjumlah sekitar sepuluh orang dari aula perbintangan serta Datok, sesepuh tua yang selalu mereka segani, tak terlihat satu pun pejabat kerajaan atau bangsawan lain yang terlibat.

Bhirendra sedikit bingung. Ini kali pertamanya menyaksikan secara langsung ritual sakral dengan nuansa tertutup di menara perbintangan. Terlebih ia memang sengaja di perintahkan oleh Maharaja untuk ikut andil dalam pemanggilan sang terpilih. Entah demi tujuan yang seperti apa, Bhirendra tak begitu faham.

Lamunan pemuda itu seketika buyar begitu Maharaja muncul dari undakan tangga, semua orang yang hadir pun memberi hormat. Menekuk lutut dan menundukkan kepala sesuai tatakrama kerajaan. Penguasa dengan mahkota emas dan di hiasi batu berlian itu mengangkat tangan, memerintahkan semua orang untuk segera memulai prosesi pemanggilan.

Tanpa menunda waktu, Datok pun memulai ritual. Pria tua itu memejamkan mata dan berdiri di tengah-tengah lingkaran sihir yang telah dikelilingi oleh sepuluh tetua aula perbintangan lainnya.

Angin perlahan datang, bertiup lembut dan perlahan berputar cepat membentuk turnado di atas cawan suci yang terbuat dari kristal moonstone. Kristal yang juga dikenal dengan sebutan permulaan baru itu memantulkan cahaya berwarna-warni seperti pelangi yang di putari oleh turnado kecil di sekelilingnya.

Maharaja mengeluarkan sebilah pisau dan mendekati Bhirendra. "Ulurkan tanganmu!" pinta pria paruh baya tersebut kepada panglima perang dan juga anak angkatnya tersebut. Bhirendra yang masih di penuhi berbagai macam pertanyaan itu akhirnya menurut dengan wajah yang datar. Ia bahkan tak mengernyit kesakitan ketika pisau yang tajam itu menggores telapak tangannya. Maharaja menadahi darah segar yang mengalir dari daging yang telah tersayat itu dengan sebuah gelas emas berukuran kecil.

Begitu gelas itu penuh, pria paruh baya itu membawanya ke tengah-tengah lingkaran sihir yang telah aktif dan dengan sengaja mengucuri pusat sihir itu dengan darah Bhirendra yang telah ia tampung beberapa saat yang lalu.

"Bhirendra Danadyaksa, seorang Bhayangkara berdarah murni yang tersisa di kerajaan Swastamita. Mulai sekarang kau akan menjadi pelindung dari sang terpilih. Ketika manusia fana itu muncul di alam ini, kau akan mengemban tugas bersamanya untuk mencari keberadaan batu Somo di seluruh penjuru alam Swastamita. Ini adalah bentuk hukuman atas kelalaianmu dan juga merupakan langkah awal dari pembuktianmu sebagai seorang Bhayangkara sejati." Ucap Datok dengan metode telepati. Suara sepuh pria tua itu menembus raung dan waktu, menggema di benak Bhirendra yang masih berdiri mematung di samping jendela.

Bhirendra menekuk lutut dan menerima mandat dengan sikap kesatria, "ananda Bhirendra Danadyaksa, satu-satunya Bhayangkara berdarah murni yang tersisa di kerajaan Swastamita bersumpah akan menjalankan perintah dan menemukan kembali pusaka sakral bersama sang terpilih. Ananda akan menjaga sang terpilih dengan sepenuh hati, melindungi dengan taruhan nyawa sebagai seorang kesatria setia dari Negeri Matahari Terbenam. Ananda berjanji akan menemani sang terpilih sampai batu Somo kembali ke tempat asalnya lagi!"

Perjanjian itu pun terjadi. Dalam beberapa detik, sebuah cahaya yang keluar dari balik cawan telah masuk ke dalam tubuh Bhirendra dan berhasil membuat kesadaran pemuda itu hilang dalam sekejap mata.

Keesokan harinya begitu semua anggota LSM selesai sarapan, mereka pun bersiap-siap untuk berangkat. Rico, Adit, Shasi dan Reina telah berdiri di luar penginapan untuk menunggu mobil yang menjemput mereka. Dari tikungan jalan, sebuah mobil tipe off road sudah terparkir rapi. Pak Mahmud melambaikan tangan dan membuat isyarat agar anggota LSM itu segera masuk ke dalam. Reina serta ketiga temannya segera mengikuti seruan orang tua tersebut. Mereka duduk dan mendapati bahwa pak camat itu bersama dengan pak Tatang.

"Anggaplah hari ini merangkap jadi sopirnya Pak Camat. " Canda petinggi desa ketika melihat anggota LSM yang heran.

Reina dan Shasi menjengukkan kepala ke jendela mobil. Sudut mata mereka menangkap sosok Ria yang berdiri dengan lambaian tangan kearah mereka. Ria, sebagai satu-satunya anggota LSM yang tidak ikut dalam kunjungan kali ini, hanya bisa menyaksikan dari penginapan. Ia memang sengaja tinggal di tempat itu untuk menunggu balasan informasi dari Tenggarong.

Pada awalnya Reinalah yang diminta untuk tinggal di sana, namun kakek Upa malah menyarankan agar perempuan itu mengikuti kegiatan mereka. Entah apa sebabnya, semua orang dengan patuh meloloskan instruksi sang kakek dengan mudah. Tapi Ria tidak mempermasalahkannya. Ia malah merasa beruntung untuk tidak terlibat lebih dalam. Intuisi Ria mengatakan bahwa permasalahan yang mereka tangani kali ini tidak sesederhana teori yang ada. Melihat sikap para orang penting di desa ini yang tidak biasa serta dua kejadian aneh yang berlangsung hampir bersamaan tiga hari yang lalu, membuat Ria memiliki spekulasi tersendiri. Kesurupan massal dan Reina yang tidak sadarkan diri seperti mempunyai benang merah yang saling terhubung satu sama lain.

Di tempat lain, di dalam mobil yang bermuatan besar, Shasi berbisik kepada Reina, "Tau nggak saat kamu pingsan, Rico sama Adit di beri teguran oleh Pak Tatang dan Kakek Upa."

"Kok bisa?" tanya Reina singkat.

"Sepertinya gara-gara mereka keluyuran, deh. Aku sekilas dengar ucapan Kakek Upa yang bilang seharusnya mereka berdua itu menjaga kita yang perempuan ini dengan baik sampai situasi sudah kembali kondusif." Jelas Shasi sambil memainkan ujung rambutnya.

Reina membungkam mulut. Memilih untuk hanyut dalam pemikirannya. Mungkin saja kakek Upa sudah memiliki firasat sebelumnya tentang kasus Reina kemarin makanya mereka diminta untuk tidak kemana-mana.

Tak terasa perjalanan mereka mencapai akhir. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di depan sebuah pagar kayu besar yang tinggi dan pos keamanan di samping gerbangnya.

"Sampaikan pada Pak Theo bahwa Camat Penyinggahan sudah datang!" ucap pak Mahmud kepada salah satu ajudan yang bertubuh kekar. Sang ajudan menelpon seseorang kemudian membukakan pintu gerbang dengan sopan. Mobil Reina dan kawan-kawan pun melesap maju. Tak jauh mereka melihat sebuah rumah yang cukup besar. Berpondasi beton namun memiliki rangka dan dinding kayu ulin kualitas nomor satu. Di sekeliling rumah itu terdapat pekarangan yang luas dengan taman yang terawat. Mereka berhenti dan keluar dari mobil bersama-sama, mengikuti langkah kaki pak Mahmud dan pak Tatang tanpa banyak berbicara.

"Silakan masuk. Bapak sudah ditunggu bos Theo di ruang tamu." Ucap salah satu ajudan yang berdiri di depan pintu. Pria itu mengayunkan tangan seolah memberikan isyarat untuk mengikutinya. Pak Mahmud menganggukkan kepala. Ia pun mengikuti bimbingan sang ajudan ke tempat yang dimaksudkan.

"Wah, Pak Mahmud! Pak Tatang! Senang sekali bertemu kalian. Mari, silakan duduk! Anggaplah rumah sendiri. " Seru seorang pria paruh baya bertubuh tegap dengan kemeja biru serta kacamata tanpa frame di atas hidungnya yang sedikit bengkok. Mata pria itu beralih pada keempat orang asing di depannya, "mereka ini?"

"Oh, saya lupa mengatakan di pesan saya tadi malam bahwa saya juga mengajak para anggota LSM untuk menemani saya berkunjung ke rumah Pak Theo." Jelas pak Mahmud santai.

Meski tak kentara, Reina menyadari raut wajah Pak Theo sedikit berubah. Pria itu nampak kaget sekaligus kebingungan. Namun ekspresi itu hanya nampak per sekian detik dan tak ada yang menyadarinya selain Reina seorang. Pak Theo mempersilakan semua orang duduk dan menyantap minuman dan makanan yang sudah beliau siapkan. Pak Mahmud tidak menunda waktu. Ia segera mengatakan perihal kedatangan mereka ke tempat itu.

"Jadi begitulah Pak Theo. Jika diperkenankan bolehkah kami melihat aktifitas perusahaan hari ini?" tanya pak Mahmud dengan sangat sopan.

"Oh tentu saja! Tentu saja! Kebetulan saya juga ingin pergi ke perusahaan sore ini. Mari kita kesana bersama-sama." Jawab pak Theo sambil tertawa lebar.

Pak Mahmud dan pak Tatang nampak lega melihat respon pak Theo yang kooperatif. Namun lagi-lagi Reina memiliki kecurigaan kepada sikap ramah pak Theo yang terkesan terlalu terbuka dan menerima begitu saja semua yang mereka katakan tanpa bantahan yang berarti. Firasat Reina menjadi tidak nyaman! Pak Theo bercengkrama dengan sangat akrab. Ia bahkan tidak sungkan mengajak rombongan Reina mengelilingi seluruh pekarangan dan taman rumahnya yang luas. Saking asiknya, para tamu yang datang itu tidak merasa bahwa matahari sudah mulai condong ke barat.

Begitu sore, sekitar jam lima Waktu Indonesia Tengah, pak Theo mengajak mereka mengikutinya ke perusahaan Jaya Coal sesuai janjinya. Perjalanan itu sebenarnya tidaklah lama, jika didukung dengan akses jalan yang memadai. Tak ada semenisasi di tempat itu. Jalan yang harus mereka lewati berupa tanah yang penuh dengan lubang di mana-mana. Jika beruntung mereka akan menemukan bebatuan kecil yang melapisi bagian atas jalan. Sialnya jalan yang hampir tidak layak dilewati itu merupakan satu-satunya akses keluar masuk kedalam perusahaan.

"Aku mual, Re." Ucap Shasi dengan wajah yang pucat.

"Kalau mau muntah, ke jendela aja, Shas." Saran Reina sambil memberikan minyak kayu putih kepada Shasi. Begitu Reina selesai berucap, Shasi sudah menjulurkan kepalanya keluar dan memuntahkan semua isi perutnya. Berkali-kali.

"Seumur hidup pake mobil, baru kali ini aku mabuk begini." Keluh Shasi, "Jalan ini seperti ranjau. Mobil kita mirip odong-odong. Goyang mulu. Arwahku serasa mau terbang terus tertarik paksa begitu mobil ini masuk ke dalam lubang." Semua orang yang mendengar perkataan Shasi refleks tertawa. Bahkan pak Tatang yang biasanya kalem mendadak membuka mulutnya dengan lebar.

"Kenapa gak tinggal aja sama Ria tadi?" kekeh Adit.

"Jika aku tau bakalan di rodeo begini, dengan senang hati aku bakal tinggal, Dit!" balas Shasi yang kemudian kembali memuntahkan asam lambungnya ke jendela mobil. Rico semakin terpingkal-pingkal hingga ujung matanya mengeluarkan air, "payah kamu Shas. Lihat Reina tuh! Dia santai aja. Padahal dia sama gak terbiasa seperti kamu juga."

"Ini tidaklah seberapa. Kelak kalian akan merasakan hal yang lebih berat dari pada perjalanan kali ini." Celetuk Reina dengan bahasa formal dan tatapan ke arah hutan belantara di samping jalan. Semua orang mendadak terdiam. Mereka menatap Reina dengan pandangan aneh. Tak terkecuali pak Tatang yang melirik dari atas kaca spion mobil.

"Mbak? Mbak Reina baik-baik saja, kan?" tanya pak Mahmud dengan raut wajah khawatir. Air muka Shasi yang memang sudah pucat semakin bertambah ketika melihat gelagat Reina yang tidak lazim. Perempuan bertubuh ideal itu dengan sigap mendaratkan tepukan ke punggung Reina.

"Napa kamu, Re?" tanya Shasi ketika Reina terkesiap dan mengelus punggungnya sambil meringis, "jangan nakut-nakutin orang deh, gak lucu!"

Reina bermuka masam. Alisnya saling terpaut dan ia mendadak kesal, "apaan sih! Aku lagi asik ngeliatin pemandangan malah di gampar nggak jelas! Sakit tau!"

Shasi ingin mendebat namun ia mengurungkan niatnya ketika melihat isyarat gelengan kepala pak Mahmud. Semua orang terdiam. Mereka tak lagi terlihat santai. Satu sama lain seolah-olah saling memberi sinyal untuk memosisikan diri dengan benar. Bahkan Shasi tidak lagi merasakan rasa mabuk akibat perjalanan. Ia hanya memfokuskan diri dengan berdoa panjang lebar.

Dua jam kemudian mereka sampai di depan gerbang perusahaan yang dijaga banyak satpam serta ajudan yang silih berganti, berpatroli di sekitar tempat itu. Seluruh anggota keamanan itu dipersenjatai dengan revolver berlaras panjang serta pistol yang terselip di pinggang mereka. Bahkan beberapa orang satpam juga dilengkapi dengan clurit dan samurai di pos penjagaan mereka. Para anggota keamanan itu langsung menunduk dan membuka gerbang begitu melihat mobil pak Theo melintas. Begitu mobil di depan Reina berlalu, mobil rombongan mereka pun dipersilakan masuk setelah melalui tahap pemeriksaan yang cukup ketat.

"Sebaiknya kita beristirahat dulu malam ini di sini. Besok pagi baru saya akan mengajak kalian semua berkeliling perusahaan." Tutur pak Theo ketika mereka telah sampai pada sebuah villa tunggal di tengah hutan kawasan perusahaan.

Rombongan Reina tak memberi bantahan. Mereka memang cukup kelelahan. Perjalanan tadi membuat fisik dua orang paruh baya di depan Reina terlihat menurun. Pak Mahmud dan pak Tatang nampak menguap beberapa kali sembari menahan rasa kantuk yang begitu dahsyat.

Pak Theo memerintahkan dua orang ajudan berbadan tegap, besar dan kekar, untuk mengarahkan rombongan itu ke kamar mereka masing-masing. Dengan sigap, tangan kanan pak Theo itu pun mematuhi instruksi. Pak Mahmud dan pak Tatang langsung berpamitan. Kedua orang tua itu bergegas masuk kedalam kamar untuk beristirahat. Mata mereka terlihat begitu berat untuk bertahan barang lima menit saja. Begitupun Rico dan Adit. Seakan satu frekuensi dengan kedua pejabat penting desa Penyinggahan itu. Mereka masuk ke dalam kamar tanpa berniat untuk duduk santai di ruang tamu.

Shasi menarik lengan Reina dan membawa perempuan itu masuk ke dalam kamar mereka. Satu kasur dengan ukuran nomor satu telah berada di sana. Shasi tidak mau menunggu, ia segera merebahkan diri keatas tempat tidur tersebut. Reina pun demikian. Tanpa memperdulikan apapun, ia memejamkan mata dan menyusul napas Shasi yang sudah teratur di alam mimpi.

***

"Apa mereka sudah tertidur pulas?" tanya pak Theo pada dua ajudannya yang berdiri tegak di sampingnya. Kedua pria kekar dan sangar itu menganggukkan kepala dengan penuh keyakinan.

"Tak percuma obat tidur dosis tinggi itu kuberikan." Kekeh pak Theo sambil memainkan handphonenya. Pria itu tak lagi terlihat ramah. Wajahnya berubah sinis dan penuh kearoganan. Sebenarnya ia sengaja memasukkan obat tidur dalam minuman terakhir rombongan desa itu. Pak Theo memang tidak menyukai inisiatif pihak desa untuk meminta mereka menghentikan proses pembukaan lokasi tambang yang baru.

Pria berkacamata itu, telah berdiri di tengah jalan setapak yang diapit deretan pohon karet di kedua sisi jalan. Di ujung matanya, tepat di posisinya berpijak saat ini, tampaklah perusahaan besar yang selalu menjadi kebanggaannya. Handphonenya bergetar. Pria paruh baya itu dengan segera menjawab panggilan.

"Ya, Bos. Sampai saat ini situasi aman terkendali." Jawab pak Theo dengan penuh kesopanan. Intonasi suaranya begitu lembut seolah sedang berbicara dengan sosok yang sangat penting di seberang sana. "Mereka tak akan pernah bisa menghentikan kita. Bos besar tidak perlu khawatir. Jika perlu saya bisa mengerahkan para pembunuh bayaran untuk melenyapkan para pengganggu itu."

Pak Theo menjeda sesaat, "memang benar ada anggota LSM yang namanya Bos sebutkan barusan."

"Baik. Kalau begitu jika saya berhasil menangkap mereka, maka perempuan itu saja yang tidak akan saya bunuh." Percakapan itu terputus. Pak Theo kembali bertanya pada dua ajudannya, "apakah lokasi baru masih mengeluarkan lumpur hitam?"

"Masih Bos." Jawab ajudan yang memiliki codet di pipi kirinya, "malah semakin lama semakin banyak dan meluap. Kami kewalahan. Tempat penampungan tidak lagi bisa menampung limbah tersebut. Jadi terpaksa kami alirkan ke anak sungai Keliran ."

"Kami sudah mencari batu yang dikatakan ketua adat Penyinggahan, namun sampai saat ini kami tidak juga menemukannya." Tambah ajudan lain yang bersuara serak.

"Memang bangsat!" umpat pak Theo dengan penuh kekesalan. "Mana ku tau jika lokasi baru itu terdapat pasak desa. Manusia kampung yang tolol, jaman sudah modern masih saja percaya takhayul. Mana mungkin sebuah batu bisa memberikan kestabilan pada beberapa desa sekaligus. Lagi pula mana ku tau bentuk batu sialan itu seperti apa! Sungguh merepotkan!" pak Theo menendang kerikil ke sembarang arah dengan berbagai umpatan kasar yang keluar beruntun dari mulutnya.

"Siapa itu?" teriak pak Theo ketika terdengar bunyi 'krosak!' bersamaan dengan terlemparnya kerikil ke arah kebun karet yang gelap.

"Tangkap mereka!" perintah pak Theo kepada kedua ajudan di sampingnya, "kerahkan semua pembunuh bayaran yang ada! Aku ingin mereka hidup-hidup!"