webnovel

Bab 4 Mimpi

Begitu sampai di penginapan, Reina dan kedua teman perempuannya langsung merebahkan diri dengan nyaman di masing-masing tempat. Namun tidak dengan dua pria yang bersama dengan mereka.

"Dit, ikut aku yok! Tuh di dermaga lagi pada rame." Senggol Rico saat Adit hendak masuk ke dalam penginapan.

"Rame kenapa?" tanya Adit.

"Maka dari itu, ikutlah bersamaku! Biar kita bisa melihat langsung ada kejadian apa di sana." Jawab Rico sambil berdecak kesal. Adit merasa ragu namun rasa penasarannya sudah mulai terusik. Ia pun kembali memasang sepatunya dan mengikuti langkah Rico.

Shasi berseru lantang begitu melihat dua rekannya itu pergi meninggalkan mereka, "hei! Kalian mau kemana? Kita nggak boleh kemana-mana loh ya! Ingat pesan Kakek tadi!"

Rico dan Adit seperti tidak mendengar seruan Shasi. Mereka tetap melanjutkan langkah untuk memenuhi rasa keingintahuan mereka. "Sudah dibilangin jangan kemana-mana!" omel Shasi yang kemudian kembali duduk bersama Ria dan Reina didalam penginapan.

"Menyebalkan! Ada apa sih dengan tempat ini? Sumpah aku merasa nggak nyaman banget." Keluh Shasi, "baru aja datang sudah ada halangan begini. Mana Adit sama Rico malah ngeluyur, padahal sudah dilarang untuk keluar penginapan sama pakTatang tadi."

Ria berdecih sambil membuka laptop, "mulai aja belum, ngeluh mulu. Ngomel mulu. Ikat aja sekalian dua orang lelakian bengal itu!"

Shasi memanyunkan bibir kemudian mendekati Reina, "Re, hanya kamu yang ngerti aku." Perempuan berambut blonde itu memeluk tangan Reina dan bermanja kepadanya. Reina, gadis berwajah oval itu hanya tersenyum menanggapi celotehan kedua temannya. Hanya sesaat ketika ia kembali dalam diam.

Sebenarnya semenjak Kakek Upa menunjuk ke arah hutan Sri Molo tadi, ia sudah melihat beberapa kilasan aneh di pikirannya. Ada beberapa potongan gambar yang langsung muncul begitu dirinya memandang langsung ke arah hutan terlarang itu. Tidak begitu eksplisit. Sehingga Reina sendiri tidak yakin jika itu sebuah ilusi atau sekedar imajinasinya saja. Reina mengernyitkan alis sambil merebahkan diri di lantai. Ia terlihat sedikit lelah. Dalam beberapa menit kemudian, ia pun tertidur dengan pulas.

***

Reina kebingungan menatap sebuah lorong dengan pencahayaan yang minim. Ia memutar tubuhnya. Melihat sekitar seolah-oleh sedang mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu itu apa. Ia berjalan menyusuri jalur yang lurus itu tanpa tau arah tujuan. Namun di pertigaan lorong, ia mendengar suara seorang pria tengah berbicara. Reina hampir tidak bisa mendengar dengan jelas isi dari pembicaraan itu. Perlahan namun pasti, ia mendekat ke sumber suara.

Diujung penglihatannya, terdapat dua orang pria berpakaian kasual dengan kemeja dan celana panjang berwarna hitam. Sekilas mirip dengan busana pria pada jaman sekarang, hanya saja yang membuat pemandangan itu terlihat janggal adalah adanya beberapa prajurit yang berdiri di belakang mereka. Para abdi dua orang pria itu membawa tombak dan perisai di kedua tangan mereka, berjaga ketat dengan raut wajah yang bengis seakan-akan selalu siap untuk membunuh apabila mendapat perintah langsung dari salah satu pria tersebut.

"Apakah sudah kau bawa benda yang kuinginkan?" tanya pria bangsawan yang berperawakan tinggi dengan rambut merah panjang terikat ke atas.

Pria satunya dengan rambut abu-abu, menganggukkan kepala dan menyerahkan sebuah botol kaca yang berisi cairan berwarna hijau terang. Pria berambut merah menyeringai dan segera meraih botol itu ke dalam kepalan tangannya. Kedua orang itu bergegas melanjutkan langkah di iringi para prajurit yang masih setia mengawal mereka dari arah belakang.

Reina tidak tinggal diam. Rasa penasarannya terusik dan ia pun mengikuti rombongan itu dari jarak yang cukup jauh. Gerakan mereka terhenti tepat di depan ruangan yang cukup besar. Tempat itu berisikan seorang pria lain yang sedang terikat rantai besi dengan kondisi penuh luka. Wajah pria itu tak terlihat jelas. Ia menunduk dengan surai hitamnya yang panjang terikat dan acak.

"Bangunkan dia!" perintah pria berambut merah kepada salah satu prajurit. Sang prajurit menunduk hormat dan segera melecutkan sebuah cambuk kepada pria berambut hitam.

Pria yang tengah terikat itu melenguh. Ia menengadahkan wajah dan membuat Reina terhipnotis sesaat. Netra hijau yang dimilikinya begitu cantik sekaligus dingin dan tajam. Terlihat sepadan dengan bentuk parasnya yang rupawan. Rahangnya yang tegas membentuk struktur wajah simetris yang indah. Hidungnya yang lurus nan mancung tampak pas dengan tulang pipi yang tinggi. Bulu matanya begitu panjang seolah sengaja di ciptakan Tuhan untuk menjadi penyeimbang alis tebalnya yang seperti pedang.

Ya, semua pria yang di sana begitu tampan rupawan. Sangat berbeda dengan standar ketampanan yang pernah Reina lihat di sekitar bahkan di televisi sekalipun. Namun bagi Reina, para pria di sana tidak bisa mengalahkannya. Pria berambut hitam itu benar-benar berbeda. Meski keadaannya seperti itu, penuh luka, memar dan darah dengan tangan serta kaki yang terikat, tak juga bisa menyembunyikan betapa berbedanya ia dari para pria di sana.

"Buka mulutmu!" ucap pria bersurai merah itu kepada pria bermanik hijau dengan kasar. Tak ada pergerakan. Pria berambut hitam itu tak bergeming. Ia hanya menatap tajam ke arah pria berambut merah.

"Kau!" gigi pria berambut merah gemeletuk, wajah putihnya tampak menghitam.

"Catra, paksa dia membuka mulut!" raung pria berambut merah pada pria berambut abu-abu bernama Catra yang merupakan teman dekatnya.

"Tapi Radeeva, Maharaja tidak pernah memerintahkan kita untuk memberinya racun itu! Jika Danadyaksa sampai meminumnya, dia tidak akan ada bedanya dengan binatang! Dia akan hidup tanpa rasa belas kasih sepanjang usianya." Bantah Catra dengan keraguan yang kuat. "Bagaimanapun benda itu hilang bukan semata karena kesalahan Danadyaksa. Dia sudah menjaga benda itu sedemikian rupa bahkan melebihi nyawanya sendiri."

"Aku tidak peduli, sialan! Aku tidak butuh ceramahmu yang panjang lebar! Laksanakan saja perintahku atau justru kau yang harus meminum cairan beracun ini lebih dulu!" pria yang di panggil Radeeva itu memaki dengan keras hingga Catra gemetar. Wajahnya memucat. Dengan langkah lamban, ia menghampiri Bhirendra. Catra tampak tidak tega. Ia memejamkan mata dan dengan sigap memegang rahang Bhirendra. Dengan bantuan dua orang prajurit, mereka berhasil membuka mulut Bhirendra dan memasukkan cairan hijau terang tersebut ke dalam tenggorokan pria tak berdaya di tiang penyiksaan.

"Lepaskan ikatannya! Biarkan dia bebas merasakan rasa sakit yang hebat. Aku ingin melihatnya menggelinjang kesakitan." Seringai Radeeva dengan rasa puas. Catra seketika mundur begitu para prajurit melaksanakan perintah tuannya. Hanya dalam hitungan detik, Reina melihat pemandangan yang tidak bisa ia lupakan seumur hidupnya.

Bhirendra memuntahkan darah. Tubuhnya yang terbaring lemah mendadak kaku. Jemari pria itu mencengkram tanah hingga kuku-kukunya terbuka dan berdarah. Seolah tidak ingin menunjukkan rasa sakit, pria itu hanya menggelepar dengan erangan lirih. Semua orang yang berada di sana bergegas keluar dan kembali mengunci jeruji besi yang mengurung pria bernetra hijau di sana. Bhirendra berubah liar. Ia menyerang semua benda yang ada di sekitarnya dengan membabi-buta. Bahkan ia tidak sadar telah beberapa kali terbentur tembok hingga menyebabkan pendarahan hebat di pelipisnya.

Reina refleks menutup mulutnya. Ia takut akan berteriak. Ia hampir-hampir tidak bisa merasakan degup jantungnya yang semakin kuat. Lututnya gemetar. Ia tidak sanggup melihat Bhirendra yang berada diluar kontrol. Tanpa sadar Reina berlari mendekati kerumunan itu. Alih-alih tertangkap, Reina justru baru menyadari bahwa wujudnya kini tidak nyata. Tak seorang pun melihat kehadirannya. Ia dengan bebas bisa keluar masuk tempat itu dengan menembus tembok.

Kebingungan Reina terhenti ketika tawa Radeeva pecah. Seringainya pria itu begitu lebar. Ia berbalik dan mengajak seluruh rombongannya pergi meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Bhirendra seorang diri dengan perubahan yang mengerikan. Bhirendra tersungkur. Terjerembab ketanah dan tak sadarkan diri.

"Bhi-" suara Reina tak terdengar. Tangannya tembus begitu ia ingin menggapai tubuh Bhirendra. Ia semakin bingung. Frustasi. Reina merasa menjadi semacam orang yang tidak berguna. Hanya bisa menyaksikan kejadian mengerikan itu tanpa bisa berbuat apa-apa.

"Bhi, bangun! Banguuun!" Reina berteriak sekuat tenaga hingga ia terkesiap dan terbangun dengan napas yang memburu. Tubuhnya basah dengan keringat. Semua rekan setimnya sudah berada disekelilingnya. Tidak hanya keempat rekannya, bahkan pak camat, petinggi dan ketua adat desa pun sudah berdiri memandanginya.

"Reina! Akhirnya kamu sadar juga." Tangis Shasi sambil memeluk tubuh Reina dengan penuh ketakutan. Reina kebingungan, "ada apa ini? Kenapa pada ngumpul di sini?"

"Kamu gak papa, Re? Kamu pingsan dua hari dua malam!" tanya Adit dengan wajah pucat.

"Pingsan? Aku hanya tidur, Dit!" bantah Reina dengan wajah tanpa dosa.

"Serius, Re? Mana ada orang tidur selama itu!" tukas Rico dengan garang. Ria melirik tajam ke arah Rico, "tutup mulutmu! Kondisi Reina belum stabil."

"Sudah-sudah. Yang penting mbak Reina sudah siuman. Sebaiknya kita keluar dari kamarnya." Bujuk pak Mahmud sambil mengajak semua orang ke ruang tamu penginapan.

"Biarkan Kakek Upa dan Reina di dalam sana untuk sementara waktu." Ucap pak Tatang yang melirik aneh kearah ketua adat mereka.

Dalam sekejap kamar itu menjadi lengang, hanya tersisa Reina dan kakek Upa. Reina perlahan duduk dan mengambil segelas air yang di sodorkan kakek Upa kepadanya. "Minumlah. Kau masih terbawa suasana di sana." Senyum kakek Upa ketika Reina terlihat sedikit ragu. Reina tidak menyanggah. Ia meminum air itu sampai habis dan ajaibnya ia menjadi tenang seketika. Pikirannya juga menjadi lebih fokus dan stabil. "Air apa ini, Kek?"

"Air biasa. Hanya dibacakan doa-doa saja." Jawab kakek Upa dengan intonasi yang tenang. Suasana itu kembali senyap. Bola mata Reina saling bermain, beralih ke satu sisi ke sisi lainnya. Ia merasa canggung tatkala kakek Upa terus memandanginya.

"Ng, ada apa ya, Kek? Kenapa Kakek melihat saya seperti itu?" Reina memberanikan diri untuk bertanya.

"Apa saja yang sudah mbak Reina lihat di sana?" alih-alih menjawab, kakek Upa justru melemparkan pertanyaan aneh kepada Reina.

"Maksudnya apa, ya, Kek?"

Kakek Upa tidak melepaskan pandangannya, "jiwa mbak Reina berpindah alam. Mbak tidak sadar sudah masuk ke alam lain. Dunia gaib yang ada dibalik hutan Sri Molo. Negeri Matahari terbenam atau yang kami kenal sebagai Kerajaan Swastamita."

"Alam lain? Dunia gaib? Kerajaan Swastamita?" ulang Reina dengan perasaan linglung.

"Benar, " jawab kakek Upa, "Dunia yang hampir sama seperti dunia yang saat ini kita tinggali hanya saja berbeda dimensi dan waktu. Namun saling terhubung." Reina benar-benar tidak faham. Otaknya menyampaikan semua informasi dari Kakek Upa dengan sangat lambat.

"Apa saja yang sudah mbak Reina alami dalam perjalanan ini?" tanya kakek yang masih berusaha mengorek keterangan dari Reina. Perempuan berambut hitam panjang dengan potongan wolf cut itu memijat keningnya. Ia bingung harus bagaimana menceritakannya. Ia menarik napas dan memperbaiki posisi duduknya kemudian mulai bercerita. Kakek Upa diam mendengarkan. Pria sepuh itu sesekali mengangguk tanpa menjeda Reina sedikitpun.

"Begitulah, Kek." Tutur Reina ketika ceritanya telah berakhir. Sang kakek tidak memberikan respon apapun. Ia hanya bangkit dan berjalan keluar. Menghampiri semua orang yang masih berkumpul diruang tengah penginapan.

"Bagaimana?" tanya Pak Tatang langsung bangkit dari tempat duduknya begitu melihat siluet kakek Upa. Semua orang ikut berdiri. Shasi dan Ria pun menjauhkan diri dan memilih untuk pergi ke kamar Reina. Kakek itu menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah cemas, "sebaiknya cepat selesaikan permasalah ini. Nampaknya dunia sana sudah mengambil andil."

Rico dan Adit saling bertukar pandang. Mereka tidak mengerti perkataan kakek Upa yang ambigu. Namun pak Mahmud tidak peduli, "kalau begitu besok pagi saya akan mengajak tim LSM untuk berkunjung ke perusahaan Jaya Coal. "

"Lebih cepat lebih baik. Mereka harus bertanggungjawab atas semua permasalahan ini." Tambah pak Tatang.

Pak Mahmud menepuk pundak Rico, "malam ini beristirahatlah lebih awal. Besok pagi kita akan ke perusahaan Jaya Coal bersama-sama."

"Baik, Pak. Kami akan mempersiapkan segala sesuatunya." Jawab Rico dengan banyak pertanyaan di kepalanya.