webnovel

Bab 6 Melarikan Diri

Reina dan teman-temannya berlari tunggang langgang tak tentu arah. Alih-alih keluar dari kebun karet, mereka malah semakin terjebak ke dalam hutan. Kejaran para pembunuh bayaran yang dikirim pak Theo terus menyudutkan mereka.

Napas mereka saling memburu dengan keringat yang tak berhenti mengalir. Membasahi seluruh tubuh mereka malam itu. Beberapa kali Shasi terjerembab. Kakinya tersangkut akar pohon dan menyebabkan beberapa goresan yang cukup dalam di kulitnya yang mulus. Cairan merah pekat dengan aroma amis mengalir seketika dari luka yang menganga itu. Dibalik tetesan air mata yang mulai mengaburkan pandangan, Shasi tak bisa menyembunyikan kesakitan serta ketakutannya.

"Terus berlari! Mereka masih mengejar kita!" desis Rico kepada ketiga temannya yang hampir berhenti kelelahan. Reina menarik tangan Shasi dan memaksa perempuan itu untuk terus melangkah cepat, menghindari kejaran para pembantai yang tidak memiliki belas kasih di belakang mereka.

"Bertahanlah, Shas!" ucap Reina dengan tatapan tegas dan terus membantu perempuan di sampingnya berlari meski dengan kondisi yang memprihatinkan.

"Aku nggak kuat, Re." Keluh Shasi dengan napas tersengal sembari terus berlari bersama ketiga temannya. Reina tidak perduli dengan sikap Shasi yang skeptis. Ia tetap menggenggam erat tangan perempuan itu dan menariknya untuk terus berlari tanpa arah yang jelas.

"Cari terus sampai dapat! Kalau perlu tembak kaki mereka!" raung salah satu pembunuh bayaran yang membawa revolver kepada para rekannya yang terselubung oleh pekatnya malam. Reina dan ketiga temannya terus menapak cepat tanpa menoleh kebelakang. Mereka tak bisa menapik bahwa mereka ketakutan. Para pemuda-pemudi itu, kecuali Shasi, bahkan tidak menyadari bahwa kaki dan tangan mereka telah berdarah karena luka gores. Ranting kayu yang tajam serta tumbuhan yang memiliki duri telah mengoyak kulit mereka.

DOORR!

Tembakan melayang kearah mereka. Menembus kesunyian malam. Dan berhasil menyerempet lengan kanan Reina. Shasi hampir berteriak ketika melihat Reina tersungkur dan berguling kesakitan di atas tanah. Namun Rico dengan gesit membekap mulut perempuan cantik itu. Adit bergegas menghampiri Reina. Ia merobek ujung bajunya dan dengan segera membalut luka di lengan perempuan berwajah melayu itu.

"Kamu masih kuat, kan, Re?" ucap Adit yang nampak penuh kecemasan. Reina mengangguk dengan penuh keyakinan, "lanjut!"

Mereka kembali berlari. Semakin jauh dan semakin masuk kedalam hutan belantara. Tanpa berhenti sedikitpun. Berjam-jam, hingga betis mereka kebas dan terjatuh bersamaan. Penampilan para personil LSM itu tak lagi normal. Tubuh mereka penuh luka. Wajah mereka pucat pasi dengan napas yang naik turun tak terkendali. Pakaian yang mereka kenakan sudah memiliki banyak sobekan di mana-mana.

"Tampaknya kita sudah menjauh dari kejaran mereka." Dengan perasaan waspada, Rico menginstruksikan para rekannya untuk beristirahat sejenak dibawah pohon beringin yang sangat besar. Mereka bersembunyi sejenak demi menstabilkan ritme jantung dan napas mereka yang sudah tidak beraturan. Rico bergumam tidak jelas dengan raut wajah yang pelik. Ia nampak geram dan sesekali mengumpat kesal.

"Sudah ku bilang jangan menyelidiki siapa dalang pencemaran lingkungan ini!" teriak Rico pada Sashi dengan wajah frustasi. "Inilah akibatnya jika kau bertindak ceroboh! Kau benar-benar berlagak jadi pahlawan kesiangan, Shas!" perempuan yang ia teriaki hanya menangis dengan tubuh gemetaran. Menyesali sikap sok heroiknya beberapa waktu lalu.

"Sudahlah, Co! Bukan waktunya untuk saling menyalahkan! Saat ini kita harus mencari jalan keluar. Hutan ini begitu luas dan para pembunuh bayaran itu pasti masih mencari kita!" ucap Adit menenangkan seraya menepuk pundak ketua mereka. Rico menggertakkan gigi sambil berdecih. Membuang wajah pada perempuan didepannya. Pria itu menarik napas dan pandangannya beralih kearah perempuan cuek dibelakang Adit, "hei, Reina! Kenapa hanya diam aja dari tadi?"

"Kau ingin aku seperti apa?" jawab Reina dengan tenang sambil terus waspada dengan keadaan sekitar, "apa kau berharap aku menangis ketakutan seperti Sashi?" perempuan berwajah melayu itu membalas kearoganan Rico dengan tatapan dingin. Suaranya gemetar karena pernapasan yang belum sepenuhnya stabil.

Beberapa jam yang lalu, Shasi terbangun di tengah malam. Perempuan itu berniat ke kamar mandi dan tidak sengaja mendengar percakapan para penjaga yang berdiri di luar villa.

"Bos tampak kesal. Permasalahan lumpur itu benar-benar membuatnya marah."

"Loh, bukannya masalah lumpur itu sudah teratasi. Biaya kompensasi juga sudah dibayarkan."

"Ya belumlah. Kau kira uang yang diberikan sepadan? Bangkrutlah perusahaan! Lagi pula, Jika memang sudah teratasi kenapa para pejabat desa membawa empat anak muda itu ke sini?"

"Oh anak muda LSM itu, kan?"

"Apalah! Yang jelas Bos akan melenyapkan jejak agar tidak ada bukti yang bisa mereka dapatkan. Sekarang Bos sudah berjalan ke lokasi yang bersangkutan."

Shasi tidak jadi buang air kecil. Ia segera berbalik kearah kamar dan membangunkan Reina. Perempuan itu menceritakan apa yang telah ia dengar. Reina diam dan berpikir, "Kita nggak bisa bertindak gegabah. Sebaiknya kita laporan dulu kepada Rico dan Adit." Shasi membenarkan saran Reina. Tanpa ragu, ia menelepon kedua rekannya dikamar sebelah. Dengan penuh keseriusan, Shasi, wanita tercantik di kampus Reina itu menjelaskan duduk persoalan.

"Jangan coba-coba mencari tau tengah malam begini!" ancam Rico dari balik ponsel. Desisan suara pria itu membuat Shasi secara refleks menjauhkan telinganya dari sumber suara. "Awas saja kalau kamu sampai nekat!"

Shasi mengedikkan bahu dan menjawab dengan tegas, "masa bodoh. Ini kesempatan untuk kita mencari bukti. Jika kalian nggak mau, biar aku sendiri yang akan mencari tau!" sambungan telepon itu terputus. Membuat Rico mengumpat dengan penuh rasa jengkel. Sedangkan Shasi justru menarik tangan Reina untuk mengikutinya menyelinap dibalik jendela.

Entah bagaimana caranya kedua perempuan itu berhasil keluar dan pergi menjauh dari villa. Mereka berjalan dalam gelap di temani suara serangga dan pepohonan karet di sekelilingnya. Hanya hitungan menit, Rico dan Adit berhasil menyusul dua perempuan itu. Meski terlihat sangat sebal, Shasi tetap tidak memperdulikan raut wajah Rico tersebut. Ia cuek dan terus berjalan, mencari sosok pak Theo dengan penuh ketelitian.

"Perempuan gila! Jika ada apa-apa jangan minta pertanggungjawaban dariku!" omel Rico sembari masih mengikuti langkah dua rekan perempuannya.

"Tahan dulu omelanmu!" tukas Adit, "tuh! Orang yang kita cari sudah terlihat." Keempat rekan itu seketika menunduk dan bersembunyi di balik semak. Mereka memposisikan diri dengan menjaga jarak yang cukup jauh. Meskipun demikian, suara kemarahan pak Theo tetap terdengar jelas ditelinga mereka.

Pada awalnya semua berjalan lancar dan aman namun itu berubah ketika kerikil yang ditendang pak Theo mendarat tepat di wajah Shasi. Perempuan itu tidak sengaja membuat suara gesekan di semak-semak. Hingga membuat Pak Theo tersadar bahwa pembicaraannya sedang dicuri dengar oleh orang lain. Sebelum pak tua itu berinisiatif untuk membunuh mereka, Reina dan kawan-kawan telah lebih dulu melarikan diri. Mereka terus berusaha menyelamatkan diri dari jangkauan para pembunuh bayaran yang terus mengincar mereka.

"Sudahlah! Kalau kita sudah selamat barulah kita bikin perhitungan dengan Shasi." Potong Reina ketika melihat Rico hendak kembali memarahi perempuan blonde itu.

"Reina benar. Ayo kita lanjutkan pelarian ini! Kita harus bisa menjaga jarak sejauh mungkin." tambah Adit yang kemudian membantu Reina untuk berdiri. Keempat rekan itu tak lagi berselisih. Mereka berlari menyeruak kedalaman hutan tanpa henti. Hingga suatu waktu, mereka tertegun dengan apa yang mereka lihat saat itu. Sebuah fenomena aneh di tengah hutan terjadi tepat di depan mata mereka. Sebuah dinding tanpa ujung, membentuk selaput tipis, bening dengan riak menyerupai air telah terpampang jelas di depan mereka.

"Apa lagi ini?" gumam Rico dengan semua bentuk keheranannya.

"Tampaknya aku sangat kelelahan sehingga bisa berdelusi seperti ini." Kekeh Adit dengan tepukan di kepala. Shasi yang masih sesenggukan, menguraikan tangan seolah ingin menggapai wujud dinding aneh di depannya. Tanpa memperdulikan tanggapan Shasi, Rico menarik tubuh perempuan itu untuk menjauh dari fenomena alam absurd tersebut.

"Gimana, Dit? Kira-kira aman nggak kalau kita menerobos ke dalam?" tanya Rico kepada Adit yang penuh pertimbangan.

"Aku nggak yakin! Sumpah! Ini benar-benar abnormalitas alam pertama yang ku jumpai seumur hidupku!" jawab Adit dengan ketidakyakinannya.

Reina masih stagnan dalam kebisuan. Membatu dengan pandangan kosong nan jauh. Ketiga temannya yang merasakan perubahan Reina pun saling bertukar pandang. Mereka tau ada yang tidak beres pada diri perempuan itu. Adit menggertakkan gigi dan menggenggam tulang humerus gadis itu. Ia berniat menggoncangkan raga di depannya agar kesadaran perempuan itu kembali dengan segera.

Namun sialnya, belum sempat mereka berpikir banyak, para pembunuh bayaran kembali melayangkan tembakan. Membuat keempat pemuda-pemudi itu terperanjat dan tanpa berpikir panjang menerobos ke dalam dinding berselaput bening itu dengan sekali lompatan. Kesialan itu tidak berakhir begitu saja. Reina dan kawan-kawan harus kembali menelan pil pahit dengan rasa syok hebat begitu menyadari bahwa mereka kini berada di situasi yang lebih pelik. Situasi yang sama sekali tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Mereka berada di medan perang!

Ya, tempat pertempuran penuh darah yang sering mereka saksikan di film-film jaman kerajaan kuno. Peperangan dua kerajaan dengan penunggang kuda berbaju zirah yang bersenjatakan tombak, pedang, serta perisai besi disalah satu tangannya. Bendera kerajaan saling tertancap di antara tumpukan mayat dan raungan kesakitan. Membuat keempat orang itu bergetar hebat dan saling mendekatkan diri satu sama lain. Mereka ketakutan! Ringkikan kuda selaras dengan tebasan pedang dan panah tajam, menancap, menyobek kulit dan daging manusia di depan mereka. Pemandangan itu membuat euforia mengerikan dengan semburan merah di antara debu yang terus berterbangan memenuhi cakrawala.

"Aaaarrrggh!" Shasi berteriak histeris. Menutup mata dan telinganya dengan penuh kepanikan. Perempuan itu menggeliat, memberontak dengan penuh ketakutan. Wajahnya hampir sama putihnya dengan mayat yang bergelimpangan di sekitar mereka.

"Shas, tenang! Tenang!" rengkuh Reina. Perempuan itu berusaha menenangkan Shasi dengan mengunci gerakannya.

"Dimana ini? Aku takut, Re?" rintih Shasi dengan tubuh yang gemetaran. Air matanya tak bisa berhenti mengalir. Reina tak menjawab. Ia menarik tubuh Shasi untuk menunduk begitu sebuah panah melesat di atas kepala mereka.

"Kembali! Kita harus kembali!" raung Rico yang semakin tak tahan dengan situasi. Pemuda itu membalikkan diri ke sisi belakang di iringi gerak refleks dari ketiga rekannya. Nahas! Dinding tipis yang tak lazim itu tak lagi ada. Mereka terjebak. Alam bawah sadar mereka mengatakan bahwa mereka telah memasuki kawasan terlarang yang pernah Kakek Upa peringatkan.

"Dinding itu adalah portal." Gumam Reina tanpa sadar.

"Kita terperangkap dalam hutan Sri Molo. Kita telah masuk ke dalam dunia lain yang dimaksud Kakek Upa saat itu." Tambah Adit dengan wajah seputih kapas.

"Amankan keempat orang asing itu!" teriakan lantang seorang pria dibalik baju zirah menggema di atmosfer yang mencekam. Reina refleks melayangkan pandangan kepada pria tersebut. Dadanya mendadak naik turun dengan detak jantung yang bergemuruh. Suara itu begitu akrab di telinganya, begitu mirip dengan pria misterius yang ada di dalam mimpinya.

Hanya berselang detik empat orang prajurit berkuda menarik Reina dan kawan-kawan. Dalam sekejap mereka telah berada di atas kuda dan melesap pergi meninggalkan situasi kritis itu. Meski hanya melihat sepintas rupa pria tersebut, namun Reina menyaksikan sosok tegap yang berteriak tadi kembali membantai setiap musuh yang berada disekitarnya tanpa pandang bulu. Aura predatornya begitu menakutkan dan mengintimidasi. Membunuh tanpa ragu dengan pandangan mata yang menikmati. Pria itu benar-benar tidak perduli teriakan kesakitan dari darah yang menyembur di setiap sabetan pedang di tangannya. Ia tidak gemetar bahkan cenderung menghayati dengan penuh kesenangan di balik zirah kokoh yang dipakainya. Sungguh tampak kejam dan berhati dingin. Membuat Reina menahan napas dengan tenggorokan yang tercekat serta bulu kuduk yang berdiri.

Pria yang sangat berbahaya. Jika dia memang benar-benar sosok dalam mimpiku itu, lebih baik aku tidak bertemu kembali dengannya. Batin Reina dengan penuh kesungguhan.