webnovel

Chapter 9

Tak lama kemudian....

"Baiklah, di sini saja tolong," kata Ima menatap ke Hendar, Hendar bingung sambil menghentikan mobilnya melihat sekitar.

"Ima, dimana rumah mu? Aku tak melihat nya?" Hendar melihat sekitar, di sana mereka ada di pinggir jalan raya.

"Mas Hendar, rumah ku harus berjalan dari sini, jika tidak memakai montor bisa, kalau pakai mobil mungkin sampai sini saja," kata Ima.

"Oh begitu, kalau begitu aku juga akan turun mengantar."

"Ah tidak perlu!" Ima langsung menyela membuat suasana terdiam.

"E.... Maksudku... E... E... Tidak perlu, rumah ku dekat di sini, kamu bisa pulang," kata Ima.

"Tapi di sana gelap, bagaimana jika terjadi apa-apa? Bagaimana jika ada orang yang melukai mu? Jaman sekarang banyak yang begitu."

"Tapi, di kawasan rumah ku itu aman, jadi ini baik-baik saja kok, tenang saja," Ima menatap.

"Em.... Ba... Baiklah."

"Nah bagus.... Kalau begitu aku akan turun, sekali lagi terima kasih."

"Eh tunggu," Hendar menahan lengan Ima membuat Ima bergantian terdiam dan ia belum membuka pintunya.

"Ima, bisa aku minta nomor ponsel mu? Mungkin kita bisa menjadi dekat, itu sudah lama kita tidak bertemu dan aku tak bisa melihat mu lagi. Hari ini benar-benar keberuntungan bisa melihat mu," kata Hendar membuat Ima berwajah sedikit merah.

"Um... Um... Baiklah, boleh..." Ima memberikan ponsel nya. Setelah mereka bertukar nomor, ia keluar dari mobil.

"Baiklah, terima kasih untuk antaran nya, aku benar-benar sangat senang." Ima menatap, ia lalu menutup pintu.

"Ya, sampai jumpa," Hendar melambai, lalu menginjak gas perlahan dan berjalan pergi.

Setelah itu Ima menghela napas panjang. "Ha.... Seperti biasanya, kembali larut lagi hanya karena kaki terluka," gumam nya. Lalu berjalan dengan agak pincang.

Hingga sampai di rumah nya, ia membuka pintu. "Aku kembali."

"Selamat datang," Ibu nya langsung menyambutnya. "Mari makan," tambah nya.

Lalu Ima membalas sambil tersenyum. "Ya..."

Dan begitulah bagaimana malam akan selalu berlalu meskipun Ima akan menyembunyikan kaki nya.

"Aku benar-benar agak bosan," gumam Ima yang menatap diri nya sendiri di kaca kamar mandi.

Dia menatap wajah nya dengan ekspresi yang agak kecewa. "(Kenapa susah sekali mendapatkan teman perempuan yang baik... Sejauh ini hanya Naya yang jadi teman dekat ku, itu pun harus membuat nya sibuk karena dia benar-benar lebih memilih bersama pacar nya,)" pikirnya. Rupanya ia khawatir akan tak punya teman perempuan.

Tapi satu hal yang dia tahu mengapa dia berpikir begitu. "(. . . Mereka semua... Rata-rata benar-benar murahan... Begitu aku lewat ke daerah mereka, paling banyak mereka benar-benar mau di sentuh lelaki di depan umum. Pakaian mereka terbuka dan tertawa mereka juga sangat keras, aku benar-benar tidak tahu, apakah mereka benar-benar menikmati kehidupan mereka yang seperti itu?)" ia menatap bingung.

Tapi ada yang mengetuk pintu membuat Ima menoleh ke pintu. "Ima, ini sudah jam 7 kurang! Kamu tidak ke kampus?!" kata ibunya yang rupanya mengetuk.

Mendengar itu, Ima benar-benar terkejut dan langsung beranjak. "(Astaga, aku sepertinya harus mengurangi pikiran ku yang begitu, yang penting aku kuliah dan dapat melanjutkan pendidikan ku,)" ia langsung melakukan semuanya dengan buru-buru.

"Aku pergi dulu ibu!"

"Hei, kamu tidak sarapan dulu!"

"Tidak, maafkan aku! Aku hampir terlambat!" balas Ima yang berlari pergi begitu saja membuat ibu nya hanya terdiam menggeleng.

Tapi siapa sangka, di jalan, ketika dia berlari buru-buru. Ia terkejut dan langsung menghentikan berlari nya karena melihat seseorang.

Seorang lelaki dengan pakaian rapi berdiri menatap depan, ia ada di depan gerbang kampus Ima.

"(Astaga! Tunggu! Itu bukan nya!)" Ima langsung ingat.

Dia adalah lelaki yang saat itu di tabrak Ima dan kotak berharga nya jatuh, harga kotak itu mahal karena itu kado untuk ibu nya dan sekarang Ima benar-benar di hantui rasa ganti rugi itu.

"(Akh... Kenapa dia ada di depan kampus ku, aku benar-benar harus mencari cara agar bisa pergi... Bagaimana ini.... 15 menit lagi kelas di mulai,)" Ima panik.

Tapi tiba-tiba saja lelaki itu malah menoleh padanya membuat Ima terkejut.

"Ah, hei kamu," ia langsung kenal Ima membuat Ima tambah terkejut, apalagi dia berjalan mendekat.

"(Astaga... Apa yang harus aku lakukan.... Aku takut dia akan menagih ganti rugi padaku... Apa yang harus aku lakukan...)" Ima benar-benar gemetar tidak karuan.

"Hei, akhirnya kita bertemu lagi yah... Aku dari tadi benar-benar menunggu mu sangat lama di sana," tatap lelaki itu membuat Ima masih membisu.

"Hei, aku bicara padamu, ingat aku bukan... Jangan sampai kau pura-pura lupa, aku bahkan sudah memberikan kartu nama ku padamu, siapa aku?" dia menatap.

"Um... Um.... Maafkan aku, aku lupa membaca kartu nama mu," Ima membalas dengan gemetar.

"Ha... Cepat baca kartu ku, kau membawa nya kan?" lelaki itu menyilang tangan menatap.

"Ya.... Aku... Aku bawa," Ima merogoh saku nya, tas nya pun juga hingga akhirnya menemukan nya.

"Baca nama depan ku saja, jangan nama belakang sekalian," tambah lelaki itu.

"Um... Argani... Direktur eksekutif.... Hah.... Direktur eksekutif.... (Pantas saja.... Dia membeli kotak mahal itu... Sepertinya aku punya masalah sekarang,)" Ima mulai terpucat.

"Apa kau masih ingat dengan perkataan mu yang ingin ganti rugi soal kotak itu?" lelaki yang bernama Argani itu menatap.

"Um... Um... Iya, jika kamu ingin ganti rugi, aku akan melakukan nya tapi beri aku waktu... Itu uang yang sangat banyak, dan tolong berikan keringanan."

"Hmp... Keringanan? Masih tak kasih waktu dan masih di beri keringanan, itu sama saja enak..."

"Um... Lalu anda mau apa?" Ima menatap, dia antara takut dan yang lain nya.

"Begini saja, ibu ku itu... Karena hadiah nya tak jadi aku berikan karena kau menghancurkan nya dan dia ingin sesuatu... Yakni pacar untuk ku," kata Argani membuat Ima terdiam kaku.

"Jadi kau sudah tahu apa yang akan kau lakukan bukan setelah mendengar ku?"

"Um... um... Aku... Aku tidak tahu."

"Ha.... Jadilah pacar ku," kata Argani membuat Ima benar-benar terkejut.

"Apa yang kamu lakukan! Aku belum pernah punya pacar sebelumnya! Carilah wanita lain!" Ima menatap marah.

"Belum pernah pacaran sebelum nya? Jangan khawatir. Tugas mu sangat mudah, kau tidak mau di sentuh lelaki pastinya, benar kan?" Argani menatap. Lalu Ima mengangguk dengan pelan.

"Aku tidak akan menyentuh mu, hanya bilang saja bahwa kau adalah pacar ku di depan ibu ku. Aku akan bilang instruksinya nanti," kata Argani.

"Um... Baiklah... Baiklah... Aku harus pergi sekarang, aku buru-buru," Ima langsung melewatinya membuat Argani terdiam lalu menghela napas panjang. "(Semoga kau bisa melewati rintangan oleh ibu ku, agar dia juga senang,)" pikirnya.

Ima sudah masuk gerbang kampus, ia menghela napas panjang dengan napas ternegah engah. Tapi ada pesan masuk di ponsel nya membuat nya menatap ponsel.

Itu dari pesan grup kelas, pesan itu dari dosen dan dosen mengatakan.

== Maaf, kita mulai kelas jam 9 saja ==

Seketika Ima terkaku dan gemetar. "(Akhhh.... Ini benar-benar menjengkelkan....)" Ia mulai kesal.

Ima berjalan ke kampus, dia menatap ke jam tangan. "(Um.... Hari ini dosen bilang kelas akan di mulai dari jam 9, aku masih punya ada waktu beberapa jam, apa yang harus aku lakukan, kupikir aku terlambat, dosen juga bilang nya mendadak sekali... Ha...)" ia menghela napas panjang pasrah.

Lalu terpikirkan sesuatu. "Ah.... Aku ingin ke perpustakaan saja..." ia menjadi senang lalu kembali berjalan.

Untuk ke perpustakaan, dia harus menaiki lift karena ada di lantai paling atas. Ketika berjalan ke lorong, ia tak sengaja melihat seseorang yang ia kenal.

Yakni Lio Zheng, dia berdiri di samping dinding lorong.

"(Itu! Lio Zheng!!)" Ima terkejut tak percaya lalu segera berjalan ke sana.

"(Akhirnya aku bisa bertemu dengan nya, aku benar-benar senang... Kebetulan kelas ku di mulai jam 9 aku masih punya waktu, dan aku ingin mengobrol lebih dalam dengan dia ehehe....)" Ima sudah kelewatan senang.

Tapi siapa sangka, ketika dia benar-benar keluar dari lorong, rupanya ada wanita yang tak kelihatan di lorong tadi.

Wanita itu sedang ada di depan Lio Zheng yang mendengarkan nya bicara. Lio Zheng tampak menggunakan nada ramah dan senyum nyaman nya membalas perkataan wanita itu yang sangat cantik di mata Ima. Wanita itu juga mengobrol akrab dan mereka tertawa bersama.

"(Apa... Siapa.... Siapa itu... Kenapa dia bisa tertawa dan tersenyum begitu hanya bicara pada wanita itu, selama ini, dia tidak memasang wajah secara begitu,)"

Ima terdiam tak percaya, ia menurunkan senyum nya dan mundur perlahan. Ia menggigit bibirnya sendiri lalu berlari pergi dari sana, dia masuk ke kamar mandi wanita dan bernapas cepat menatap dirinya di kaca wastafel.

"Ha.... Kenapa... Kenapa aku harus bersikap begini," ia tampak kecewa. "(Apa yang sebenar nya terjadi, apa hanya karena aku melihat nya bersama wanita aku harus merasa begini, ini bukan nya aku cemburu karena aku tak bisa mengakui bahwa aku suka Lio Zheng. . .)" ia terdiam, lalu menghela napas panjang lagi dan menggeleng.

Lalu pintu lift terbuka dan Ima berjalan masuk duluan, ia menatap Lio Zheng dan mengulurkan tongkat nya membantunya masuk. Ima tak memperdulikan itu, ia menekan angka 10 di lift itu lalu berdiri di samping Lio Zheng.

Lio Zheng yang sudah ada di posisi, mengulurkan tangan nya perlahan ke angka lift, ia meraba pelan seperti menghitung dari atas hingga di angka 10, ia menekan nya membuat Ima terdiam membuka mata lebar.

Karena di tekan dua kali, angka itu jadi mati. Karena Ima tadi sudah menekan tombol 10 tadi. Ima terdiam, ia harus menekan angka 10 itu agar lift bisa tertutup. "(Haiz.... Sepertinya pemberhentian kita sama.)"

Ia lalu perlahan mengulurkan tangan nya dan di saat itu juga Lio Zheng merasakan sesuatu membuat kepala nya menoleh pelan tanpa pandangan nya itu.

Ima menekan tombol 10 lagi dan di saat itu juga lift tertutup.

"(Huf... Itu hampir saja, semoga keberadaan ku tidak di ketahui oleh nya, tidak mungkin dia mengetahui ku karena dia buta, lihat saja ini... Aku akan membuat mu menyesal...)" Ima kesal.

Tapi siapa sangka, Lio Zheng mengatakan sesuatu. "Ima... Kau kah itu?"

Seketika Ima benar-benar terkejut tidak karuan. "(Astaga, jadi dia sadar akan keberadaan ku... Apa yang harus aku lakukan....)" Ima menutup mulutnya panik.