webnovel

Chapter 8

"Haha baiklah, kalau begitu bisa kita ke klinik ku? Luka mu akan segera infeksi jika tidak di tangani."

"Kamu punya klinik?" Ima menatap.

"Ada, di dekat sini."

"Tapi ini sudah larut."

"Tak apa, lagi pula yang punya klinik nya juga aku."

"(Eh... Dia punya klinik?)" Ima terdiam, tapi ia terkejut ketika lelaki itu akan menggendong nya di dada.

"A-apa yang kau lakukan!" Ima mendorong nya.

"Aku akan membawa mu, kaki mu pasti sakit."

".... Aku bisa jalan sendiri," Ima menatap dengan wajah malu.

". . . Hm... Baiklah kalau begitu, aku akan menuntun mu... (Aku mengerti situasi ini, aku juga tak akan berani memperlakukan nya seperti ini, padahal semua pasien aku anggap sama,)" lelaki itu terdiam.

Sesampainya di klinik. Ima duduk di kursi dan lelaki tadi berlutut mengobatinya.

"Akh... Hati-hati," Ima menatap kesakitan.

"Ya, aku mencoba hati-hati," lelaki itu membalas.

Ima terdiam menatap wajahnya. "(Dia tampak serius, sangat serius dan begitu tenang, apakah dia memang menjadi dokter?) Apa kamu dokter di sini?" Ima menatap. Lalu lelaki itu menengadah menatap.

"Ah, iya, aku dokter di sini. Setelah lulus dari SMP, aku melanjutkan pendidikan ku di SMA khusus kesehatan lalu kuliah singkat dan bisa memiliki klinik resmi begini," balas nya.

"(Hebat sekali, padahal dia lelaki, bisa memiliki pengetahuan semacam ini... Oh iya, aku belum tahu nama nya...) Um... Bisa katakan nama mu?" Ima menatap.

"Nama ku? Oh, apa kamu belum tahu, berarti di SMP, yang tahu di antara kita hanyalah aku yah... Haha..."

"E... Bukan begitu... Aku hanya kurang tidak mengenal alumni lalu dan sekarang di SMP, itu juga sudah lama, lagi pula kamu adalah senior," kata Ima.

"Tidak, kau boleh memanggil ku begitu, aku Hendar."

"Mas Hendar, senang bertemu dengan anda," Ima langsung tersenyum manis membuat lelaki bernama Hendar itu terdiam terpukau melihat itu.

Ima juga terdiam menatap ekspresi nya. "(Eh, kenapa diam.... Apa aku membuat wajah yang lucu?) Um... Mas Hendar?" Ima menatap.

"Hah.... A... Tidak.... (Kenapa aku tadi melihat bunga.... Dia sangat cantik,)" Hendar terdiam, ia lalu menggeleng kepala tersadar dan segera menutupi luka Ima hingga benar-benar selesai.

"Apakah ini masih sakit?" Hendar menatap.

"Ah, ini sudah lebih baik, aku benar-benar berterima kasih," Ima kembali tersenyum.

"(Akh.... Senyuman itu... Membuat hati ku berdegup...) Ehem... Bisa aku antar ke rumah mu?"

"Eh, mengantar ku?" Ima terdiam bingung.

"Ya, malam malam begini tidak baik untuk pulang sendirian, aku akan mengantar mu."

"Ah, baik," Ima mengangguk meskipun agak ragu.

Lalu mereka keluar dari klinik, sebelumnya Hendar mengunci klinik nya, Ima menatap langit yang sudah sangat malam dan sepi. "Hari ini... Pasti bus nya sudah tidak ada... (Aku jadi tidak bisa bertemu Mas Regis... Padahal aku ingin bertemu dengan nya, aku masih penasaran dengan nya apakah dia benar-benar kriminal yang di cari polisi itu dengan kasus di jalan Kor.)"

Lalu Hendar mendengar itu. "Bus? Kamu naik bus?" tatap nya.

"Ah, iya."

"Itu memang benar, ini sudah larut jam nya bus bekerja, bagaimana jika aku antar dengan kendaraan ku, rumah ku kebetulan dekat di sini. Tapi aku berjalan kaki karena rumah ku dekat juga."

"Eh, apa ini tidak apa-apa?" Ima menjadi tidak nyaman.

"Tidak apa-apa, aku khawatir dengan kondisi kaki mu itu, sebagai dokter, wajar jika mencemaskan luka pasien yang telah dia lihat," kata Hendar membuat Ima benar-benar terpukau.

"(Uwak... Dia benar-benar perhatian sekali deh... Aku jadi malu,... Tapi, lelaki sebaik dia.... Pastinya sudah punya pacar...) Tunggu... Tunggu Mas Hendar!!" Ima mencegah nya.

"Kenapa? Ada apa Ima?"

"Um.... Jika kita naik kendaraan yang sama berdua, apakah pacar mu tidak marah?" Ima langsung mengatakan nya tanpa bertanya apakah Hendar benar-benar punya pacar atau tidak.

"Hm? Hahhahaha... Kau benar-benar lucu, aku sama sekali belum punya pacar," kata Hendar seketika Ima benar-benar terkejut.

"A-apa maksud mu?! Tapi kamu lelaki yang perhatian, baik dan yang lain nya, kamu juga ganteng, apa yang salah dengan mu?" Ima menatap heran.

"Oh, terima kasih pujian nya, sebenarnya, aku di kenal sebagai lelaki overprotective... Kau tahu kan maksud nya?" Hendar menatap.

"Memiliki kecemasan yang berlebihan akan sesuatu dan melarang seseorang agar menuruti keinginan nya bermaksud agar tidak melukai diri nya sendiri?"

"Ya, begitulah... Mereka tidak suka sifat ku yang seperti ini, mereka bilang itu terlalu mengganggu."

"(Jika di piker-pikir itu memang benar. Tadi ketika awal bertemu, dia sudah panik duluan ketika melihat ku terluka padahal di situasi saat itu kami belum bisa mengenal satu sama lain dan dia sudah memberikan kecemasan nya pada ku.)" Ima terdiam, ia lalu menghela napas panjang.

"Baiklah, mohon bantuan nya mengantar ku ke rumah," tatap nya. Lalu Hendar tersenyum kecil dan mengangguk.

Tapi tak lama kemudian, Ima terdiam kaku, ia melongoh ketika melihat mobil mahal di sebuah garasi besar dan rumah di sana juga besar.

"Baiklah, masuk saja Ima...." Hendar membukakan pintu bangku dekat supir untuk Ima.

"Um.... Mas Hendar, sepertinya ini agak berlebihan, aku tidak mengharap naik mobil yang begitu mahal ini, dan aku tak perlu duduk di samping supir..." Ima menatap ragu.

"Jangan khawatir Ima, aku sudah banyak membawa orang dengan mobilku, dan mereka selalu nyaman duduk di samping bangku supir, kamu juga akan bisa melihat ku mengendarai nanti," Hendar menatap dengan senyum nyaman nya membuat Ima terdiam dengan wajah agak sedikit merah.

Ia lalu menghela napas panjang dan pasrah. "Baiklah.... Mohon maafkan aku, permisi," Ima masuk dan duduk di bangku itu lalu Hendar menutup nya. Ia berjalan ke pintu supir dan membukanya, sekarang dia duduk di samping Ima.

"Baiklah, kamu siap?" dia menatap sambil menyalakan mobil lalu Ima memngangguk.

Di dalam mobil, Ima terdiam menatap depan. "(Astaga, aku masih harus kembali berpikir soal ini tadi... Bagaimana bisa aku bertemu dengan senior yang bahkan dulu sama sekali tidak aku kenal dalam kehidupan sekolah SMP dulu. Dulu aku itu benar-benar culun, tapi ya, tidak culun culun banget, aku juga pinter dalam mata pelajaran kok... Tapi masalahnya, apakah benar Mas Hendar ini selalu melihat ku ketika keluar kelas, ih.... Aku sama saja di lihatin dong...)" Ima panik sendiri di dalam pikiran nya.

Sementara Hendar fokus mengemudi, ia menoleh ke Ima yang dari tadi memasang wajah pucat, seketika wajah Hendar terkejut.

"Ima!" ia langsung memanggil membuat Ima terkejut dan menoleh. "Ya? Ada apa? Kenapa memanggil?"

"Ima... Ada apa? Kamu sakit?"

"Eh... Kenapa tanya begitu tiba-tiba?" Ima menatap bingung.

"Itu mungkin karena, kau terlihat pucat tadi? Apa kau sakit? Demam? Haruskah kita kembali ke klinik untuk mengambilkan mu obat?" Hendar menatap khawatir.

"Em... (Apakah aku terlihat se-pucat itu ketika memikirkan hal yang panik di sini?)" Ima terdiam, ia lalu menghela napas panjang.

"Ha... Tidak, jangan khawatir.... Aku tidak sakit kok," Ima langsung tersenyum.

"Ah begitu, syukurlah, jika kau sakit, bilang padaku... Apakah AC nya kebesaran?"

"Eh.... Um.... Ya begitulah... Sebenarnya aku jarang menaiki mobil ber ac tinggi jadi agak dingin."

"Ah baik-baik, aku akan menurunkan nya, kamu tidak mabuk kan?" Hendar kembali memastikan membuat Ima tidak nyaman dengan pertanyaan yang begitu membuat nya agak terganggu.

"Um..." ia sekarang memasang wajah tidak nyaman dan di saat itu juga, Hendar terkejut sendiri dan langsung diam.

"Maafkan aku Ima..." ia tiba-tiba meminta maaf.

"Eh, kenapa meminta maaf?" Ima menatap bingung.

"Kau pasti sedang terganggu dengan sifat ku ini... Apakah aku begitu berlebihan?" sekarang Hendar menganggap bahwa dia sedang overprotective dari tadi.

"(Ah... Aku mengerti sekarang, dari tadi dia bersikap overprotective, sepertinya dia tahu kalau dia sendiri melakukan sikap overprotective tadi, dan dia benar-benar menyadari nya, kenapa jika dia menyadarinya, dia masih melakukan sikap itu, apakah dia benar-benar telah mengalami hal hal yang begitu rumit karena kebiasaan nya itu?)" Ima terdiam.

Lalu ia menatap ke Hendar yang tadi menghentikan mobilnya karena di saat itu lampu sedang merah.

"Mas Hendar," tatap nya membuat Hendar menoleh.

"Sebenarnya jika kau memiliki sikap yang begitu berlebihan, aku yakin lama kelamaan kamu bisa mengurangi nya, dan apakah sikap ini membuat mu mengalami sesuatu juga sehingga kau sadar sesuatu soal seperti ini," Ima menatap.

"… Sebenarnya... Sudah kesekian kalinya perempuan perempuan yang meninggalkan ku karena sikap ku ini, aku sudah bilang bukan bahwa banyak orang tidak suka aku karena sikap ku ini."

"Eh mengapa begitu, padahal di luar sana ada banyak orang-orang yang menginginkan lelaki yang begitu peka seperti mu."

"Kamu tidak mengerti, itu karena sikap ku terlalu berlebihan, orang-orang memang menginginkan sikap yang lebih peka agar mereka juga nyaman, tapi sikap berlebihan belum tentu baik," kata Hendar. Sepertinya ia masih kecewa dan malah curhat dengan masalah sikap nya.

"Um Mas Hendar, tidak perlu kecewa dengan sikap mu, pastinya sifat orang lain berbeda,"

"Semua nya memang berbeda, tapi sifat ku lebih dari berbeda dan begitu aneh," Hendar langsung menambah.

"(Ha.... Dia terus menambahkan dengan kalimat Logis...) Aku yakin, orang-orang pastinya ada juga yang suka sikap mu, sikap mu dapat melindungi orang-orang dan mencegah sesuatu agar mereka tidak terluka.... Sikap ini begitu penting di butuhkan pastinya, jadi jangan berkecil hati begitu, belum tentu orang sama memiliki sifat overprotective seperti itu," kata Ima.

Lalu Hendar terdiam dan menghela napas panjang, dia tersenyum kecil. "Kalimat mu sangat bagus, itu langsung di dengarkan oleh telinga ku dan hati ku mau menerima nya, dari mana kamu belajar?" tatap nya.

"Eh, benarkah begitu... Ehehe, aku hanya mempelajari nya dari ibu ku."

"Ibu mu? Aku pikir kamu tinggal bersama ayah mu atau kakak? Adik begitu?" Hendar menatap.

"Ah, soal itu, aku memang masih bersama ibu ku, aku anak tunggal jadi tidak punya kakak maupun adik, lagipula ayah ku juga pergi."

"Oh, maafkan aku.... Aku benar benar tidak tahu..."

"Tak apa, lagi pula ayah tidak meninggal, dia masih ada di dunia ini dan hanya belum berani kembali," kata Ima, ia agak memasang wajah sedih nya.

"Maaf Ima, aku benar-benar tidak tahu."

"Ya, aku mengerti, karena itulah kamu harus tetap sabar jika ingin mencari pasangan, kamu harus menjadi lelaki yang baik dan setia pada satu pasangan saja mengerti," Ima menatap, dia malah menasehati.

"Ah aku mengerti, junior ku sendiri menasehati ku dan memberikan saran yang bagus, aku benar-benar senang," tatap Hendar dengan senyum nya membuat Ima terkejut berwajah merah.

Ia langsung membuang muka. "(Astaga kenapa aku bisa salting hanya dengan mendengar kalimat nya dan senyuman nya itu?!)" Ima menggeleng geleng kepala sendiri.