webnovel

Chapter 2

Setelah itu pria itu mengembalikan headset Ima dan beranjak pergi turun di halte yang membuat bus berhenti. Dia bahkan tak mengucapkan sepatah kata apapun pada Ima.

Ima terdiam sambil melepas kaca matanya yang masih ia pakai. Ia melihat dari jendela bus yang mulai berjalan. Pria itu hanya memberi isyarat terima kasih dengan tangannya karena wajahnya tertutup masker. Itu seperti bahasa isyarat yang akurat dengan jari kelingking nya yang menyentuh bibir nya lalu di arahkan ke depan.

"(Aku.... Membantunya?)" Ima terdiam kaku.

Di jalan akan ke rumah, dia menjadi terdiam sambil mengamati kaca mata hitam pria tadi di tangan nya.

"Bisa jadi disini ada kamera... Berniat memata matai ku huh," dia mengotak atik kaca mata itu lalu tak menemukan apa-apa.

"Haiz.... Ini merepotkan.... Mungkin kita tak akan bertemu lagi... Jadi.... Aku hanya akan menyimpan nya nanti," Ima memasukkan kaca mata itu di dalam tas kecilnya dan membuka ponselnya sambil berjalan pulang di tempat gelap itu, rumahnya sepertinya agak jauh dari jalan raya.

"Tak ada apa-apa.... Hm.... Mungkin aku harus kembali memikirkan cowok idamanku itu hehe..." dia terdiam ngalamun memikirkan lelaki buta supermarket tadi.

Hingga sampai di rumah, ia membuka pintu dengan kata. "Aku pulang."

"Selamat datang," teriak seseorang dari dapur. "Bagaimana harimu?" tambahnya, dari suaranya, sepertinya itu adalah ibu Ima.

"Aku baik-baik saja, aku akan segera ke kamar," balas Ima. Ia lalu berjalan ke kamar dan meletakan tasnya, tapi sebelumnya ia mengeluarkan kaca mata hitam tadi dan menyimpan nya di rak.

"(Kira-kira, dia akan mencari kaca matanya kembali tidak ya?)" ia bingung, lalu pikiran nya tak bisa lepas membuatnya mengambil kembali kaca mata itu. "(Jika di piker-pikir, model seperti ini sangatlah bagus)" pikirnya sambil terus mengamati kaca mata hitam itu. Tapi ia baru sadar ada ukuran tulisan yang samar di sana, berwarna sama yakni hitam. Ima tak bisa melihatnya dengan jelas bahkan sampai merasakan nya dengan jarinya. "(R-E-G- aduh ini apa lanjutan nya?)"

Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka membuat nya terkejut menoleh, rupanya Ibunya.

"I-ibu... ketuk pintu dulu!!"

"Oh maaf, ibu lupa.... Kenapa kau tidak turun dan makan, ibu sudah menunggumu dari tadi," tatap ibunya.

"Ah baik... Aku turun sekarang, bagaimana dengan ayah?" Ima menatap tapi anehnya ibunya hanya terdiam dan Ima juga ikut terdiam.

"Begitu yah..."

"Ima... maaf-

"Tak apa ibu... Aku tahu kok... Ayah sedang bekerja... maaf... aku memang lupa hehe.... jadi, ayo ibu kita makan Bersama," kata Ima yang berjalan duluan, di saat itu juga ekspresi ibunya menjadi kecewa dan agak sedih. Lalu mereka makan bersama.

"Bagaimana dengan hari mu, apa kau mendapatkan sesuatu yang baik, seperti... pacar" lirik ibunya seketika Ima terkejut.

"I-ibu... Apa maksudmu, aku tidak menarik di depan lelaki, jadi jangan bahas itu."

"Eh~ tapi sikapmu tadi, soal ibu harus mengetuk pintu... bukankah seperti menyimpan sesuatu hm...?"

". . . Ibu, berhenti provokasi aku, aku jadi tidak bisa makan."

"Haha... Maaf, Besok kau mulai ke kampus kan?" tanya ibunya.

"Ya... begitulah.... Oh, ngomong-ngomong apa aku boleh bekerja di kafe kecil?"

". . . Maksudmu... Kau mencari uang untukmu sendiri?"

"Ya begitulah.... Ti-tidak maksudku... Jika lebih aku juga akan memberikan nya pada ibu, aku juga tak perlu meminta sesuatu lagi dari ibu, ibu juga tak perlu khawatir," tatap Ima dengan senyum manisnya.

Ibunya terkaku dan terdiam ketika mendengar kalimat dari Ima tadi, ia juga tersenyum kecil.

"(Ima sudah besar....) Apa kau yakin Ima, bekerja paruh waktu tentunya akan sangat melelahkan untuk mu apalagi di tambah kuliah yang sangat melelahkan dan banyak berpikir, ibu tak butuh kau begini," tatap ibunya.

Lalu Ima memegang tangan nya pelan. "Ibu, ibu sudah merawat ku hingga sebesar ini, umurku sudah 19 tahun dan ini saat nya aku mengembalikan apa yang diberikan ibu selama berjuang membesarkan ku sendiri tanpa seorang ayah untuk ku, aku tahu ayah sedang bersenang senang di luar sana, ibu jangan khawatir. Meskipun tak ada ayah, kita akan tetap bahagia, kita akan tunjukan bahwa kita bisa hidup tanpa dia yang sama sekali tidak bertanggung jawab," kata Ima.

". . . Kau tidak mengatakan hal buruk pada ayah mu, dia sudah hilang dari tanggung jawabnya, kau tidak pantas menyebut nya ayah... Panggil saja dia pria buruk sesuka mu"

"Bagaimana pun juga, dia ayah ku, dia yang membuatku di dunia ini, jika tidak, aku tidak akan dilahirkan sebagai seseorang yang menemani ibu, bayangkan saja jika aku tidak ada ketika ayah sudah meninggalkan ibu," tatap Ima. Lalu ibunya menatap sedih dan membayangkan betapa kacaunya dia nanti ketika tidak ada Ima menemaninya.

"Ibu akan depresi, tapi kau selalu tersenyum, membuat kesalahan kecil saja bahkan bisa membuat ibu tertawa, waktu kau bayi, kau sangat imut dan manis, berbeda dari bayi yang lain nya, kau tidak selalu manja dan itu meringankan ibu, di sanalah ibu tahu bahwa kau dilahirkan untuk menjadi wanita yang anggun... Ima, terima kasih telah menemani ibu yang tua ini," tatap ibunya.

"Ibu tidak tua, umur ibu saja belum ada 40 tahun kok, jadi jangan anggap ibu sendiri tua, ingat, aku masih bersama ibu dan akan selalu bersama ibu, aku akan menjaga harga diriku dan tidak akan mau berakhir seperti ibu dan tidak akan mencari lelaki seperti ayah. Tapi, meskipun aku tidak berakhir seperti itu, aku akan selalu ada di dekat ibu dan juga, seharusnya aku yang berterima kasih pada ibu..." kata Ima, ia menggenggam erat tangan ibunya yang tersenyum haru.

"Ya, itu benar, carilah lelaki baik, bukan seperti pria brengsek seperti ayah mu."

"Ya, aku akan berusaha mencari… Oh ya ibu... Besok mungkin aku mulai bekerja, jadi aku akan pulang agak malam, aku tak bisa makan malam bersama ibu juga mungkin."

"Tak apa... Ibu akan menunggu."

"Eh... tapi... ibu-

"Jangan khawatir, hanya fokus kan dirimu pada kehidupan muda mu Ima," tatap ibunya.

"Haiz... baiklah."

"Oh, ibu... Aku ingin kembali teringatkan pada ibu yang selalu mengajariku untuk menjaga harga diri wanita ku, apa ibu tak ingin mengingatkan nya sekali lagi," tatap Ima.

"Eh ~ bukankah kau sendiri bilang bahwa kau tidak butuh kalimat itu lagi hm~"

"Yah, akhir-akhir ini ada lelaki yang aku temui dan juga sangat aneh, untuk tidak kepincut mereka, apa yang harus aku lakukan, aku benar-benar takut aku akan dimanfaatkan lalu di buang begitu saja," tatap Ima.

". . . Ima, ibu selalu berpesan. Tak peduli berapa umurmu, tak peduli berapa orang terdekat yang kau punya, berteman lah dengan mereka, sayangi mereka dengan baik dan jangan bercanda terlalu buruk, perempuan sepertimu harus bisa menjaga keutuhan dan anggun nya seorang wanita. Kau boleh suka pada laki-laki tapi ingat, jangan terlalu suka dan kau yang mengutarakan perasaan mu, selama 19 tahun ini, ibu mengajarimu untuk tetap menjaga sikap di depan laki-laki dan jangan bertindak murahan."

"Tapi, bagaimana jika aku memang suka pada lelaki dan aku mengutarakan perasaan ku?"

"Yang paling penting jangan mengutarakan perasaan, seorang wanita yang memiliki harga diri, tidak akan mengutarakan perasaan duluan. Kau hanya harus melihat kepribadian lelaki yang kau sukai nanti, apakah dia memang tertarik padamu ketika kamu mendekatinya, tapi jika di sisi lain dia bersama wanita lain, kau akan beruntung karena dia tidak tahu bahwa kau suka padanya dan yang paling beruntung, tidak akan ada yang tahu kau suka dia dan kau tidak akan di anggap sebagai wanita yang murahan."

". . . Bagaimana jika lelaki nya yang mengutarakan dulu?"

"Terima dia."

"Apa?! tapi Ibu bilang..."

"Seorang lelaki sejati pasti akan mengajakmu menikah, bukan pacaran. Ingat ya, jika ada yang mengutarakan pada mu, maka kamu harus balik bertanya. 'Aku lebih suka kata kata itu diganti menikah, apa kau mau?' jika dia bilang belum siap, maka tinggalkan dia," kata ibunya.

"Tinggalkan dia?"

"Ya, tinggalkan lelaki yang begitu, jika dia suka padamu dan tak ada niatan menikah maka dia bermaksud hanya memanfaatkan mu, tak apa jika kau tak punya pengalaman dalam cinta yang penting rumah tangga mu tak akan hancur dengan lelaki brengsek, ingat itu," kata ibunya.

"Bagaimana jika lelaki itu tidak sesuai karena aku belum tahu sifatnya ketika langsung menikah nanti,"

"Itu tinggal dirimu, lelaki yang siap pastinya akan punya pengalaman tersendiri, dan itu tinggal kamu Ima, selama ini ibu melihat mu sangat rajin, kau sudah siap kok menjadi wanita rumahan," tambah ibunya, Lalu Ima menjadi tersenyum mengerti dan mengangguk.

Selesai makan Ima berjalan di kamar, ia melihat jam dinding. "(Oh astaga, aku benar-benar tidak sabar untuk besok.... Tapi bagaimana jika aku tidak bisa bergaul nantinya, bagaimana jika besok aku di bully karena aku tidak bisa bergaul seperti mereka yang sangat gampang mencari pasangan, aduh...)" ia menjadi berekspektasi buruk.

Lalu ia teringat lelaki supermarket buta itu dan hal itu membuat nya tersenyum senyum sendiri.

"Ehehe.... Lelaki ganteng banget sih... Aku penasaran banget dia buta dan ganteng, kenapa bisa bekerja di sana... Ih... Seperti nya aku naksir deh, mungkin aku akan menjalani apa yang di bilang Naya soal naksir lelaki," dia menjadi salting.

Tapi ia tak sengaja melihat ke kaca mata hitam itu di mejanya.

"Aku juga penasaran, kenapa kaca mata hitam seperti ini sangat bagus, modelnya kuat dan kaca ini seperti lentur, ini seperti yang digunakan banyak agen yang aku baca di novel maupun film yang ku tonton, tidak mungkin lah. Pria ber masker itu pasti seorang pembunuh di jalan Kor itu, aku yakin, dia hanya memanfaatkan ku, paling kita tak akan bertemu lagi, aku harap begitu karena aku tidak mengharapkan bertemu pria pembunuh sepertinya, semoga saja...."