"Regis, Regis," panggil seseorang, Regis terbangun dari tidur duduknya di kursi tunggu rumah sakit. Rupanya ibu Ima yang membangunkan nya. "Astaga, kau pria yang baik, aku meninggalkan mu untuk ke rumah sangat lama dan kau masih menunggu Ima di sini hingga terantuk antuk begitu, apa kau lelah? Bagaimana dengan pekerjaan mu, kamu sudah di sini selama 6 jam," tatap ibu Ima dengan khawatir.
Lalu Regis bangun tegak dan memegang leher belakang nya, ia memutar kepala nya hingga bersuara sangat mantab membuat ibu Ima yang mendengar nya terdiam kaku, lalu Regis melihat ruang operasinya sudah selesai. Tak ada lampu menyala di ruangan operasi itu. "Hah, dimana Ima?! ibu?!" tatap nya dengan panik. Ia bahkan menatap ke ibu Ima dengan sangat panik.
"Dia sudah ada di ruangan nya, ayo, aku akan antar," kata ibu Ima lalu mereka masuk ke ruangan Ima dan melihat Ima berbaring di sana masih tertidur.
Regis yang melihat itu menjadi menghela napas panjang dan lega. "(Ima, syukurlah…)"
"Aku akan meninggalkan kalian dulu, jaga Ima ya," Ibu Ima memegang lengan Regis.
"Ibu akan kemana, aku akan mengantar."
"Tidak perlu, jagalah saja Ima," tambahnya lalu berjalan pergi.
Regis terdiam, ia lalu berjalan mendekat ke Ima dan memegang pipi Ima. "Ima, terima kasih untuk yang tadi," tatap Regis. Wajahnya penuh kekhawatiran.
Lalu dia menarik pelan kursi di samping ranjang rumah sakit dan duduk di samping Ima menunggunya, ia menatap wajah Ima yang masih tertidur.
"Suka padamu, adalah sesuatu yang harus di banggakan, aku siap menerima resikonya.... Dan aku yakin kita dapat melewati ini semua, bersama," kata Regis, lalu tersenyum kecil dan tertawa kecil, tapi senyumnya kembali sedih.
Kenapa senyum sedih, karena ia masih belum merasakan Ima bangun. "Ima... Bangunlah..." ia menundukkan kepalanya hingga akhirnya meletakan nya di ranjang.
Di saat itu juga, suara Ima menambah. "Karena itulah apa kau langsung memelukku untuk melindungi ku,"
Seketika Regis mendengar itu dan langsung mengangkat kepala nya menoleh dan terkejut berdiri. "Ima... Kau sudah bangun," tatap nya. Ima tampak membuka mata dengan senyumnya menatap Regis.
"Haiz, kau membuatku hampir mati memikirkan mu, tapi terima kasih, aku hargai keberanian mu Ima," kata Regis, ia mendekat memeluk Ima yang terbaring. Lalu mencium kening Ima.
"... Apa yang terjadi?" Ima menatap, meskipun begitu, dia masih terlihat lemas dan kesakitan.
"Jangan khawatir, kau baik-baik saja bukan, kau baru saja operasi," kata Regis.
"Operasi? Haha, aku mengalami operasi untuk pertama kalinya, hanya karena sebuah tembakan..."
"Yeah, dan aku yakin itu tembakan pertama mu," kata Regis.
". . . Yeah..." Ima langsung memasang wajah sedih nya.
Hal itu membuat Regis juga ikut sedih. "Ima... Jika saja kau membiarkan ku tertembak, aku tidak akan tumbang, aku baik dengan satu peluru saja..."
"Aku tidak percaya itu," Ima langsung membalas membuat Regis terendah kan. Seharusnya Ima tahu, tugas Regis lebih berbahaya dari apapun, dia juga belum melihat tubuh dari Regis.
"(Sudahlah, pasrah saja....) Soal Pria kurang ajar itu, dia benar-benar tidak minta maaf..."
"Yeah, biarkan saja, aku senang dia tidak melakukan apapun padamu," tambah Ima. Lalu Regis menatap dan mereka saling memasang senyuman itu.
"Ima, aku pernah mengatakan padamu bahwa aku tidak akan meninggalkan mu, dan kau akan menerimaku apa adanya, sekarang aku ingin itu dilakukan sekarang, dan juga aku ingin menambah. Jauhi orang itu, kita tak akan berurusan dengan nya lagi, apa kau lebih suka dia mati?" tatap Regis. Lalu Ima terdiam sebentar dan memegang pipi Regis dengan pelan.
"Aku tidak akan peduli dia mati atau tidak, tapi aku mengkhawatirkan ibu juga, ini tidak bisa terjadi, dia tidak bisa mati, tapi jika tidak mati, dia akan mengganggu keluarga ku lagi, ibu juga akan termasuk dan kau juga akan terseret dalam masalah ini juga," tambah nya, tangan nya yang menyentuh pipi Regis menjadi turun dan menyentuh pelan bekas luka di bibir Regis.
"Ini sudah tugasku, mau terseret atau tidak, itu harus terjadi, jangan khawatir. Aku akan melindungi keluargamu, keluargamu juga keluarga ku sendiri, mulai sekarang lupakan masalah ini dan kita akan pindah, aku yang akan mengatakan langsung pada ibu, ketika kau pulang dari rumah sakit nanti, apartemen akan pindah," kata Regis, ia memegang tangan Ima dengan lembut.
"Mas Regis... Aku, ingin pelukan," tatapnya.
"Ah, haha… Kau jadi suka pelukan," Regis membelai kepalanya dan memeluknya perlahan membuat Ima tampak nyaman.
Mereka melakukan pelukan sangat lama dan siapa sangka, dengan tiba-tiba ada yang membuka pintu yang rupanya adalah Ibu Ima. "Ups..."
Mendengar pintu terbuka membuat Ima melihat dan melepas bibir Regis. Ia terkejut karena itu ibu. "Ibu????!!!" ia langsung mendorong Regis membuat Regis ikut menoleh.
"A... Ah, ibu," Regis ikut canggung.
"(Oh, ya ampun... Suasana anak muda memang selalu nyaman, aku jadi iri deh, tapi aku senang Ima dapat merasakan hal sehangat itu) Ahahaa... Jangan khawatir, lanjutkan saja.... Maaf mengganggu ya... Ibu akan di luar," Ibu Ima menutup pintu dan pergi dari sana membuat suasana terdiam.
Regis dan Ima saling menatap dan tertawa kecil sendiri. "Pf.... Haha, ekspresi mu benar-benar aneh," tatap Ima dengan tawa nya.
"Kamu juga sama," Regis menambah.
Lalu ia terdiam memasang wajah khawatir. "Ima... Kembalilah istirahat..." tatap Regis membelai kepala Ima.
"Apa kamu tetap di sini, Mas Regis?" Ima menahan tangan Regis.
"Ya... Aku akan tetap di sini, sampai kau membaik…" balas Regis.
"Bagaimana dengan pekerjaan mu? Apa Mas Regis tidak sibuk? Bagaimana jika sibuk nanti?"
"Tidak, aku tidak sibuk, aku si paling santai jika bersama pekerjaan kok, jadi jangan khawatir dan istirahat saja," kata Regis, dia mendekat mengecup kening Ima.
Ima tersenyum senang dan mengangguk.
Tak lama kemudian, Ima kembali tertidur dan Regis duduk di samping ranjang di kursi dengan menatap ponsel nya, ia lalu menoleh ke Ima dan baru sadar bahwa Ima sudah tidur.
"(Istirahat lah, aku ingin kau cepat sembuh Ima... Peluru itu tidak berbahaya... Jadi dia tidak merasakan rasa yang sangat sakit apalagi setelah operasi... Hm.... Pikiran ku hampir kacau.)"
Ia meletakan ponsel nya di meja dekat ranjang Ima, ia lalu berjalan pergi.
Di luar ruangan Ima, Regis menatap sekitar dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya, rupanya rokok. Ia menggigit satu batang rokok nya tapi tiba-tiba ada yang menepuk pundak nya dengan keras. "Hei!"
Membuat Regis terkejut menjatuhkan rokoknya. Ia menoleh dan rupanya itu ibu Ima.
"Hayo... Apa yang mau kamu lakukan? Mau merokok? Jangan merokok di sini," tatap nya.
"Ah, ibu.... Hehe... Aku tidak merokok di sini, aku... Aku akan ke ruangan khusus merokok, sampai jumpa," Regis mengambil batang rokok yang jatuh tadi dan langsung berjalan pergi membuat ibu Ima hanya menggeleng.
Sementara di dalam ruangan, Ima membuka mata, ia menoleh ke samping dan bangun duduk. "Aku tak bisa kembali tidur... Rasanya sakit..." ia memegang bawah pundak nya.
Ia bahkan mengingat wajah Ayah nya yang kasar itu membuat nya harus menahan kekesalan.
"(Astaga... Ingin sekali aku berteriak padanya... Aku ingin memukulnya, dia benar-benar tak ada rasa menyesal ketika meninggalkan ku dan ketika bertemu dengan ku malah bersikap begitu... Kenapa ini sangat aneh... Aku memiliki Ayah yang salah, terlebih lagi... Mas Regis tahu akan hal ini, tapi... Aku masih bertanya tanya, bagaimana Mas Regis tahu soal gedung 57? Apalagi kantor milik pria kasar itu? Dia langsung masuk... Apakah sebelumnya dia tahu?)" Ima terdiam bertanya tanya.
"(Ketika dia bilang dia tidak membutuhkan ku, aku tidak di inginkan dan dia membenciku, kenapa ketika melihat Mas Regis memeluk ku, dia malah ikut marah dan malah memperingati Mas Regis menjauhlah dari putrinya... Memang nya aku putri nya? Tapi sifat nya aneh... Antara tak mau aku di sentuh orang lain atau ingin aku di siksa oleh nya terus...)" ia masih berpikir hal itu yang membuat nya tidak tenang.
Tapi ia melihat di kursi tak ada Regis. "(Dimana Mas Regis, apa dia meninggalkan ku, tapi dia janji akan menjaga ku? Apa dia benar-benar pergi...)" Ima kecewa, tapi ketika ia menoleh ke meja, ia melihat ponsel milik Regis.
"Eh itu?" ia menatap. "(Ah aku mengerti, dia tidak meninggalkan ku... Mungkin dia hanya pergi sebentar karena tidak mungkin dia meninggalkan ponsel nya di sini...)" Ima menjadi lega.
Tapi tiba-tiba ponsel Regis itu berbunyi membuat nya terkejut. Ia melihat sekitar. "(Aduh... Gimana ini.... Ponsel itu berbunyi panggilan, apa yang harus aku lakukan... Mungkin aku akan melihat dari siapa,)" Ima mengulur tangan dan mengambil ponsel itu, tapi siapa sangka, ketika ia sudah mendapatkan ponsel itu, panggilan nya berhenti.
"(Eh... Sudah berhenti?)" ia bingung, tapi kemudian muncul pesan di layar kunci ponsel itu.
Pesan itu terus datang berurutan.
== Regis!! ==
== Regis, kau sialan!! ==
== Kenapa tidak mengangkat panggilan ku tadi!!? ==
== Biasanya panggilan pertama langsung di angkat!! ==
== Kau tidak mungkin tidur kan?! Kau tak pernah tidur?! ==
== Pergilah ke sini sekarang, kau harus menerima tugas ==
== Awas kau jika menyisakan satu orang lagi, aku akan meneriaki telinga mu!! ==
Ima yang membaca itu menjadi terkaku, untung nya ia hanya membaca pesan nya dari layar ponsel yang terkunci. Dan pesan itu benar-benar mengatakan untuk Regis segera bertugas.
"(Mas Regis.... Dia rupanya sibuk... Kenapa dia tidak bilang kalau sibuk? Apa dia sengaja ingin menemani ku? dan... Kenapa pesan ini bilang Mas Regis tidak pernah tidur? Apa benar Mas Regis tidak pernah tidur... Mungkin karena sebuah pekerjaan nya yang sibuk,)" Ima menatap khawatir pada ponsel itu.
Sementara itu, di balkon atap rumah sakit yang terang dan angin yang bersepoi. Regis merokok sambil bersender di dinding tangga balkon itu, ia mengeluarkan asap nya sambil menghela napas panjang yang menandakan dia putus asa.
Ia mengeluarkan asap nya ke atas bukan ke bawah menandakan dia sedang banyak pikiran dan masalah yang bertumpuk tumpuk.
"Ha.... Ini saja baru urusan Ima... Apalagi aku harus menyelesaikan pekerjaan ku..."
"(Jika di pikir-pikir... Ini semua mulai membebani pikiran ku, tapi... Ini impian ku dari dulu, aku ingin sekali merawat seorang gadis dan sekarang, Ima aku anggap sebagai seseorang yang ingin aku rawat dan aku berikan sebuah rasa suka yang akan selalu cukup untuk nya, aku akan melakukan apapun demi kehidupan nya yang akan damai, aku ingin cepat cepat tinggal bersama gadis itu, ingin cepat cepat menunjukan rumah ku, pekerjaan ku, dan riwayat hidup ku agar dia semakin percaya padaku... Tapi mau bagaimana lagi, yang harus aku pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku membuat Sheniok hilang dari ini semua, dendam ku harus terpenuhi, aku ingin membunuh Sheniok, tapi Ima bilang... Ibu nya adalah resiko terbesar jika aku membunuh Sheniok, bisa jadi beliau masih suka pada Sheniok, ha....) Intinya ini harus segera di selesaikan, Sheniok harus sadar diri," gumam nya dengan serius, ia melempar rokoknya ke bawah dan menginjak nya dengan berjalan pergi dari balkon itu.