webnovel

Chapter 21

"Ibu mu yang bilang. Kalian berdua adalah ayah dan putri yang sangat dekat. Ayah mu suka membelikan boneka seperti ini tapi dia pergi dan terakhir bilang pada ibumu soal pekerjaan tapi tak pernah kembali sejak saat itu... Apa aku benar?"

"Kau benar.... Dia tak pernah kembali.... Meskipun dia masih hidup ataupun mati sekalipun.... Dia tetap lah ayah ku... Aku hampir lupa kasih sayang yang di berikan ayah padaku," Ima membalas sambil menatap langit malam membuat nya perlahan menangis.

Regis yang melihat itu mendekat dan memeluk nya. "Kau tahu... Ada cara yang lebih baik mencurahkan isi hatimu pada ku Ima... Aku yakin kau akan bertemu dengan nya lagi."

"Lalu, apa kau tahu apa arti yang di katakan ibu tadi soal tidak boleh menyebutkan kata itu di depan nya?" Ima menatap.

"Secara yang aku lihat, ibu mu nampak sangat tertekan seperti mengingatkan sesuatu jika mendengar kata itu, dan aku tahu itu pasti berkaitan erat dengan ayah mu," kata Regis.

"Kau benar, aku bahkan tak tahu di mana dia sekarang. Yang aku ingat ayah adalah tipe pria yang sangat baik."

". . . Jika aku boleh tahu, apa dia memang pria brengsek?"

"Dia meninggal kan ibu dan aku, dan saat itu... Ini Agak aneh... Saat itu umur ku masih 10 tahun, kehidupan kami bisa di bilang sangat baik, Ayah merupakan Direktur di cabang gedung 57. Hubungan ku dengan nya sangat dekat, tapi saat itu aku pulang dari sekolah dan menunjukan hasil ujian ku yang sangat bernilai bagus di depan Ayah ku yang menjemput ku dengan mobil... Tapi yang aku lihat di dalam mobil itu... Adalah wanita dewasa yang lain... Sejak saat itu aku tidak pernah percaya Ayah bisa berbuat seperti itu bahkan dia tak malu melakukan itu di depan Putri nya sendiri," kata Ima yang mulai meneteskan air mata.

Regis yang mendengar itu menjadi terdiam mengerti. "(Aku sekarang mengerti kenapa Ima benar benar tak bisa memandang lelaki sebagai seorang yang harus di anggap, dia tak percaya pada lelaki maupun pria manapun. Dia hanya butuh sebuah kasih sayang yang harus di berikan oleh pendamping nya sendiri,)" ia lalu memeluk Ima membuat Ima terkejut membuka mata lebar.

"Aku akan memberikan yang terbaik untuk mu Ima," kata Regis dengan mengelus kepala Ima sambil masih memeluk nya.

"Terima kasih, Mas Regis," Ima menengadah menatap.

Hal itu membuat Regis terdiam. "(Sikap Ima yang seperti ini, aku sungguh sangat mengerti sekali... Dia trauma karena melihat dari kisah cinta milik orang tua nya. Karena Ayah nya pergi, mungkin itulah sebab nya sikap tak percaya pada lelaki lah yang membuat nya begini karena Ayah nya meninggalkan ibunya...) Aku pastikan, aku tak akan seperti itu," kata Regis.

"Eh.... Apa?"

"Saat aku mengatakan hal yang sia sia pada mu, tampar saja aku Ima... Dan beri aku banyak pelajaran," tatap Regis.

Malam ini dia terlihat sangat baik dan lembut membuat Ima tersenyum nyaman.

"Baiklah... Mas Regis," dia mengangguk. Regis menjadi tersenyum lembut dan mendekat ke kening ima untuk mengecup kening Ima membuat Ima terkejut berwajah merah.

Lalu mereka saling menatap dan tersenyum.

"Mas Regis kau benar-benar sangat tinggi," Ima menatap sambil mengangkat tangan nya memegang bibir Regis. Ia mengelus pelan dengan jari nya di bekas luka Regis.

Regis yang merasa Ima agak tak sampai, ia menjadi sedikit menundukkan tubuh nya. "Kau hanya tak terbiasa melihat pria tinggi dan besar sepertiku, kau sangat beruntung."

". . . Aku jadi penasaran.... Dengan bekas luka ini," kata Ima memegang pelan bibir Regis.

Seketika Regis terdiam mendengar itu. Mereka berdua saling menatap dengan tubuh Regis yang masih sedikit menunduk.

"Aku akan memberitahu mu nanti, ketika kita sudah sangat dekat dalam tahu segala nya soal kita sendiri. Ngomong-ngomong, apa kau memutuskan untuk menjadi milik ku, Ima?" tatap Regis. Mereka masih ada di pinggir jalan duduk bersama di halte bus sambil melihat banyak kendaraan lewat. Mereka memutuskan untuk di luar semalaman dulu menikmati waktu berdua.

"Um.... Yah, jika memang takdir, aku akan memutuskan menjadi milikmu," kata Ima.

"Bagus, kau harus mengatakan itu ketika kita bertunangan nanti, soal itu, jangan khawatir. Aku akan menunggumu lulus kuliah."

"Eh, itu masih 3 tahun lagi, kau mau menungguku selama itu?"

"Tak apa, yang penting kau akan siap menjadi milikku," kata Regis sambil tersenyum lalu Ima ikut tersenyum.

"Oh, tunggulah sebentar, aku akan membeli sesuatu," kata Regis sambil berdiri.

"Eh, membeli apa?" Ima menatap.

"Aku hanya sebentar," balas Regis, lalu ia berjalan pergi meninggalkan Ima sendirian di halte bus itu.

Regis rupanya membeli roti hangat pada penjual di sekitar sana. Selagi menunggu, ponsel nya berbunyi, ketika ia melihat, di sana tertulis nama Lio Zheng yang menghubunginya.

"(Ada apa?)" Regis mengangkatnya dengan jarak agak jauh dari orang-orang sekitar.

"Regis, kemana kamu... Kita akan segera menangkap target, kau harus cepat hari ini," kata suara dari ponsel itu, sepertinya Lio Zheng meminta Regis untuk datang dan menangkap target yang akan mereka tangkap.

Regis terdiam sebentar, ia melihat ke langit langit dan membalas. "Aku tidak bisa datang," balasnya. Seketika Lio Zheng terkejut. "Hah, kenapa?! Ini tugas penting."

"Tugas itu bisa kita kerjakan besok, jika kau mau, kita akan mengerjakan nya besok. Malam ini aku benar-benar tidak bisa."

". . . Aku harus tahu alasan mu."

". . . Yah, kau tahu aku sedang lelah bukan, jadi aku ingin tidur lebih awal hari ini."

"Apa kau yakin, kau Regis... (Regis = Tanpa tidur.)"

". . . Itu hanya panggilan saja, memangnya apa aku tidak boleh sekali kali tidur huh?" Regis mulai bernada kesal.

"Baiklah, aku harus memastikan apakah kau akan datang besok."

"Iya iya," balas Regis, ia lalu menutup ponsel dan menerima roti yang ia beli tadi lalu kembali ke tempat Ima.

Ima menoleh ke Regis yang membawa dua roti yang sangat hangat, Regis memberikan satu pada Ima yang menerimanya dan duduk di sampingnya.

"Terima kasih," tatap Ima. Regis hanya membalas dengan senyuman nya dan menggigit besar roti miliknya.

"Mas Regis... Apa kau tidak ada pekerjaan hari ini?" tanya Ima sambil mengigit pelan roti miliknya. Mendengar itu, Regis menjadi terdiam dan menghela napas panjang. "Soal itu, kau tidak perlu bertanya, pekerjaan ku tidak perlu kau pikirkan," kata Regis.

"Apa kau yakin, bagaimana jika kau sibuk pada saat aku ingin bertemu dengan mu?"

"Aku tidak akan sibuk ketika kau memanggilku," balas Regis. Dia mengatakan nya tampak seperti gampang untuk dilakukan.

--

"Ima, bisa aku tahu soal Ayah mu, apa kau tahu sekarang dia dimana?" tanya Regis.

". . . Soal itu, dia adalah Direktur perusahaan, tapi tak mau sama sekali membantu Ibu ku, jadi ya, begitulah dia menikmati kehidupan nya sendiri," balas Ima.

". . . Jangan khawatir, kau harus tetap bersyukur soal itu, mungkin di sisi lain ada banyak yang lebih buruk dari mu."

"Yah, karena itulah Mas Regis harus bisa menepati janjimu, kau tidak boleh seperti Ayah ku."

"Aku tidak akan sepertinya, sejak bertemu dengan mu, kau selalu bilang hal hal yang dilarang dan hal hal yang sudah aku lakukan, di saat itu juga aku sadar aku banyak melakukan hal yang salah dan bertemu dengan mu aku yakin ini adalah jalan pertama ku untuk merubah semuanya."

"Apa maksud Mas Regis, apa Mas Regis dulu melakukan sesuatu?"

". . . Hanya hal yang umum dilakukan oleh banyak pria berpangkat sepertiku, tapi sekarang sudah tidak..."

"(Aku kurang yakin dengan kata kata itu, aku juga tak tahu hal apa yang akan terjadi nantinya, mempercayai pria seperti Mas Regis mungkin juga akan membutuhkan waktu,)" Ima menjadi memasang wajah ragu sambil menundukan wajahnya. Tapi tangan Regis memegang tangan Ima membuat Ima terkejut menatapnya. Regis bahkan menatap sangat dekat.

"Ima, ikutlah dengan ku," kata Regis.

"Eh, kemana?"

"Ayo, ikut saja," Regis menarik tangan Ima.

Mereka berdua berjalan ke sebuah toko perhiasan yang buka di sana.

"Mas Regis, apa yang akan kita lakukan di sini?" tatap Ima dengan bingung.

Lalu mereka berjalan menuju ke seorang wanita yang menunggu. "Halo, selamat malam, apa ada yang bisa saya bantu di meja ini," dia menatap sambil menunjukkan meja kaca penuh cincin cantik di sana.

"Ima, kau suka yang apa?" tatap Regis.

"Eh, cincin? Apa maksud nya?" Ima masih belum mengerti.

"Aku ingin kita memiliki cincin pertunangan sekarang."

"Eh, sekarang?! Kenapa?" Ima menjadi terkejut.

"Yah kau tahu, seorang gadis harus mendapat kepercayaan cinta pada pria nya, jika kau tak bisa memilih, aku yang akan meminta," tatap Regis. Lalu ia menatap ke wanita tadi.

"Bisa tunjukan cincin pertunangan terbaik."

"Oh, tentu, silahkan tunggu sebentar," balas wanita itu, lalu ia kebelakang untuk mengambil.

"Mas Regis, apa kau yakin, aku benar benar tidak bisa menerima ini, cincin cincin ini terlalu mahal bahkan untuk satu orang sekaligus."

"Haha, Ima... Apa kau pikir aku tidak bisa membeli satu, jangan kan satu pasang, toko ini juga akan aku beli, tapi aku sadar, dengan uang sebanyak itu tak akan bisa mengambil hati milikmu, jadi aku akan melakukan apapun untuk mu agar bisa mendapat kan hati milikmu," kata Regis.

Lalu Ima tersenyum dan menjadi terharu bersamaan dengan wanita tadi yang kembali membawa kotak kecil.

"Ini dia, sepasang cincin lelaki dan wanita, sementara saya akan menunjukan modelnya dan pengukuran jarinya bisa dilakukan nanti," kata dia memberikan kotak itu pada Regis yang membukanya.

"Lihat, ini terlihat sangat cantik, Ima berikan tangan mu."

"Mas Regis, apa kau yakin?" Ima menatap. Lalu ia melihat senyum yakin Regis dan memberikan tangan nya.

"Oh, ini terlalu besar," tatap Regis.

"Kalau begitu saya akan mencari ukuran lain, bagaimana dengan ukuran anda tuan," Wanita itu memberikan cincin untuk pasangan lelaki.

"Ini.... Terlalu kecil."

"Sepertinya tangan mu besar dari ukuran pria," lirik Ima.

"He, tangan mu juga kecil seperti punya anak kecil," Regis membalas.

"Apa...?!"

"Haha, bercanda... Kau imut saat marah begitu," kata Regis. Seketika Ima benar-benar berwajah sangat merah.

Kemudian, wanita tadi kembali. "Mohon maaf Tuan, ukuran kalian sepertinya tidak ada, bagaimana jika besok saja kembali ke sini, kami pastikan ukuran kalian sesuai," tatap nya.

". . . Toko macam apa ini? Menyediakan ukuran kami saja tak ada," Regis menatap kesal.

"Mas Regis, sudahlah," Ima mencoba menenangkan dengan menahan dada nya. "Ayo kita keluar saja," tambah nya.

"Mohon maaf sekali lagi," Wanita itu hanya bisa menundukan badan nya beberapa kali.