webnovel

Berdiri Bersama

"Pak, kenapa kau bersikap seperti itu pada nona Tika?" Reiden melontarkan pertanyaan saat lift mulai merayap naik.

"Aku tidak tahu bahwa kau orang yang sangat ingin tahu, Rei," sinis Axel.

"Sedikit," Rei tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lagipula, kemarin kau bilang tertarik padanya," imbuh Rei.

"Perasaanku tidak penting yang penting aku sudah mendapatkan yang kuperlu, jadi dia tidak lagi berguna untukku," ketus Axel.

Reiden menggut-manggut. Reiden tahu, bukan itu alasan Axel yang sesungguhnya. Saat Reiden bersembunyi sementara mengawasi mereka, Reiden dapat menangkap sekelebat tatapan hangat Axel pada Tika. Meski sekelebat, itu sudah cukup bagi Reiden untuk menyimpulkan bahwa Axel memiliki perasaan tertentu untuk Tika bukan sekedar tertarik.

Axel sendiri sebenarnya tidak yakin dengan jawaban yang dia berikan pada Reiden. Hatinya sedikit nyeri saat mengatakan bahwa Tika sudah tidak berguna lagi untuknya. Sejujurnya, sejak makan malam itu, Axel mulai memiliki perasaan untuk Tika. Namun, dia tidak ingin Tika bernasib seperti Marie, mantan kekasihnya.

"Bagaimana soal CCTV yang kuminta?" tanya Axel setelah keduanya terdiam beberapa saat.

"Ah," Reiden menepuk dahinya.

Axel mengernyit, "Kau tidak lupa bukan?"

"Tidak, tentu tidak. Hanya saja CCTV yang mengarah ke tempat itu pada hari yang kau sebutkan sudah dihapus. Sepertinya orang yang memberikan payung itu pada nona Tika sengaja melakukannya," papar Reiden.

"Sial! Siapa sebenarnya musuh kita ini, Rei? Apa tujuannya memberikan payung pada gadis seperti Tika?" Axel merasa sangat gusar.

"Kurasa, dia ingin melemahkanmu," ujar Reiden.

"Melemahkanku?"

"Ya. Tika sangat mirip dengan mendiang Marie, jadi ---"

"Diam!" hardik Axel sebelum Reiden selesai bicara, "simpan penilaianmu itu. Kita tidak perlu lagi menghubungkan Tika atau Marie," imbuh Axel.

"Baik." Reiden menjawab singkat. Meski dalam hati dia ingin menertawakan Axel. Axel sangat lucu, dia yang mulai membahas Tika ataupun Marie tapi Axel justru menyalahkannya. Reiden semakin yakin, Axel menyukai Tika.

"Bagus. Sepertinya aku butuh berlibur sesaat, untuk menenangkan pikiran." Nada suara Axel sudah kembali datar.

"Aku setuju. Urusan di sini biar aku yang tangani."

"Kau memang selalu bisa ku andalkan, Rei," tutur Axel.

"Terima kasih," Reiden tersenyum, "lalu kau berencana berlibur kemana kali ini?" sambung Reiden.

"Aku ingin mendaki gunung tertinggi yang North Carolina miliki."

"Kedengarannya menyenangkan," Reiden berkomentar.

Axel tidak menjawab, dia kembali larut dalam pikirannya. Otaknya sedang berusaha keras menggabungkan puing-puing peristiwa yang terjadi.

********

[Laura, ayo kita bertemu di puncak gunung Michellin. Aku perlu berbicara denganmu]. Axel menuliskan sebuah pesan lalu mengirimkannya pada Laura.

[Rupanya kau cukup ahli sampai mendapatkan nomerku]. Laura membalas lima menit berikutnya.

[Aku akan lakukan apapun untuk membujukmu Laura. Aku tidak bersalah. Bertemulah denganku?]

[Go to hell]

Braaakkkk.... Axel membanting ponselnya. Laura kembali memblokir nomernya.

Suara bantingan itu cukup keras hingga mengagetkan Reiden dan Tika yang berada di luar ruangan. Saat itu, Tika hendak menemui Axel berkaitan dengan surat persetujuan pembatalan pemotongan gaji. Axel memang sudah berjanji untuk membatalkan pemotongan itu, tapi Axel belum memberikan instruksi apapun pada bagian keuangan, sehingga mereka menyarankan agar Tika mengurus surat persetujuan itu sendiri.

"Sepertinya pak Axel sedang tidak baik-baik saja," Tika bersuara setelah berhasil mengatasi keterkejutannya.

"Ya, sedang ada sedikit masalah."

"Artinya, aku tidak bisa menemuinya kali ini bukan?" Tika bertanya ragu. Dia belum siap bertemu dengan Axel, setelah apa yang Axel katakan tadi pagi. Tapi, dia membutuhkan Axel untuk gajinya. Awal bulan hanya tinggal dua hari lagi.

"Sepertinya begitu. Apakah itu cukup penting?" Reiden mengarahkan pandangannya pada dokumen yang Tika bawa.

"A--h tidak juga, hanya saja,...." Tika menggantung ucapannya, ragu untuk menyampaikan maksudnya.

Reiden diam, menunggu Tika menjelaskan.

"Besok, aku akan kembali besok," putus Tika akhirnya. Tika berpikir untuk menyelesaikannya besok saat dirinya sudah siap.

"Aku permisi, pak Rei," Tika berpamitan.

"Tunggu!" Reiden menghentikan langkah Tika.

"Ya, Pak. Ada apa?" Tika bertanya dengan heran.

"Bukankah lebih baik kau titipkan padaku dokumennya?" Reiden bertanya dengan maksud menawarkan.

Tika berpikir sesaat. Rasanya cukup bagus jika dia menitipkannya pada Reiden. Dia tidak perlu bertemu Axel.

Tika mengulurkan dokumennya pada Reiden, "Silahkan, Pak Rei."

Reiden menerima dokumen yang diberikan Tika lalu tersenyum. "Akan ku pastikan dia menandatanganinya," tutur Reiden.

"Iya, Pak. Terima kasih." Tika tersenyum lalu berlalu pergi.

Selepas itu, Reiden menghampiri Axel dalam ruangannya. Lelaki itu tengah menghirup cerutu seraya memandang ke luar jendela.

"Ada masalah?" Reiden mensejajari Axel.

"Rei, apakah aku tidak pantas menjadi pemimpin?" Ada kegetiran dalam nada suaranya.

"Apa maksudmu?"

"Kau tahu, Rei, menjadi pemimpin sebuah organisasi bawah tanah bukan hal yang mudah. Aku harus membunuh perasaanku sendiri dan menjadi berdarah dingin agar dapat bertahan. Aku tidak terlahir berdarah dingin sejak awal, Rei."

"Kau bahkan tahu, aku dulu anak yang sangat lembut bahkan sampai aku remaja. Sampai mereka merebut Marie dariku."

"Ayahku juga sangat kejam, aku membencinya. Namun, banyak anggota organisasi yang bergantung pada organisasi untuk menghidupi keluarga mereka. Jadi, aku tidak bisa menyerah, Rei. Meski begitu keinginanku, satu-persatu masalah yang datang seakan tidak menginginkan niatku menjadi nyata, Rei."

Reiden tidak menyela sedikitpun saat Axel berbicara. Dia hanya mendengarkan. Baru setelah Axel mengakhiri curahan hatinya, Reiden membuka suara, "Jadi, kau merasa tidak pantas karena itu?"

Axel menjawab dengan anggukan.

"Kau salah jika merasa begitu, Ax. Semua organisasi pasti menemui masalah entah siapapun pemimpinnya. Berdirilah yang tegar dan kuat, Ax. Ini akan berlalu nantinya," Reiden menyemangati.

"Aku berharap ucapanmu benar," Axel tersenyum.

"Kau memiliki aku di sisimu, Ax."

"Yap. Tetaplah berdiri bersamaku, Rei. Kalau kita berhasil meluluhkan Laura, akan ada imbalan besar untukmu."

"Tidak perlu. Aku hanya perlu menjagamu dan memastikan diriku tetap di sisimu."

"Dasar kau," senyum Axel mulai cerah. Dia merasa bersyukur memiliki seorang seperti Reiden di sisinya. Lelaki itu selalu melakukan apapun yang menjadi keinginannya. Reiden lebih daripada seorang tangan kanan. Bagi Axel, Reiden seperti rekan sehidup semati.

"Oh ya, nona Tika menitipkan ini padaku," Reiden menunjukkan dokumen yang dia terima dari Tika.

"Kau! Aku kan sudah bilang untuk tidak membahas lagi wanita itu." Axel kembali kesal.

"Tapi, sepertinya ini terkait janjimu untuk membatalkan pemotongan gaji." Reiden sudah membaca sekilas isi dokumen tersebut.

"Huh, rupanya masalah uang. Baiklah berikan padaku!" perintah Axel.

"Nona Tika pasti sangat senang, kau langsung menandatanganinya." Reiden berkomentar.

"Tentu saja. Setelah ini, jangan biarkan hal seperti ini terjadi lagi." Axel menunjuk dokumen yang dia tanda tangani.

"Semua harus melewati tahapan dan hirearki. Karyawan biasa tidak bisa meminta tanda tangan begitu saja dengan mudah," lanjut Axel.

"Baik, Pak. Akan saya sampaikan ke semua bagian," Reiden menjawab diplomatis.

*******

"Sepertinya tidak akan berhasil, Axel menjauhi Tika," ucap sebuah suara bernada berat.

"Hahahaha, kau terlalu cepat mengambil kesimpulan," suara lain terdengar ceria dan optimis.

"Apa yang membuatmu begitu optimis?"

"Seseorang memberitahuku pagi ini, Axel menatap wanita itu dengan hangat." Dia bercerita dengan semangat.

"Benarkah? Baiklah, semoga kita berhasil."

"Tentu, aku tidak pernah gagal." Orang itu berbicara dengan nada yang sangat arogan.