webnovel

Lelaki Kejam

Hari itu, setelah Axel berkata begitu kejam dan meninggalkan Tika di depan lift, dia berdiri mematung selama beberapa saat. Perkataan Axel dan tatapan dinginnya membuat hati Tika terluka. Dia hampir saja menangis, andai ponselnya tidak berbunyi. Panggilan dari Rose, tapi Tika mengabaikannya. Gegas, Tika mengambil ikat rambut yang selama ini disimpannya dalam tas kerjanya, mengikat rambutnya asal, lalu berlari menuju ruangannya menggunakan tangga darurat.

"Tika, sudah berapa kali kamu terlambat?" Suara madam Cleo sama sekali tidak terdengar ramah.

Tika tidak langsung menjawab. Napasnya masih tersengal karena menaiki tangga sambil berlari.

"Maaf Bu." Hanya itu yang mampu Tika katakan. Dia kekurangan oksigen.

Madam Cleo yang masih kesal dengan sikap Tika yang tidak disiplin, mengambil setumpuk dokumen dari mejanya lalu memberikannya ke Tika. "Ini! Kamu harus selesaikan hari ini!"

Tika terbelalak, pekerjaan itu cukup banyak. Namun, dia tidak punya pilihan selain mengerjakannya atau madam Cleo akan semakin marah. Toh, lebih baik dia dihukum seperti ini agar tidak terus memikirkan sikap Axel pagi ini.

Tika menarik nafas, "Baik, Madam. Akan saya kerjakan sebaik mungkin."

Tika lalu berlalu menuju mejanya. Madam Cleo lumayan terkejut dengan reaksi Tika. Biasanya wanita itu akan sedikit mengeluh jika diberi pekerjaan sebanyak itu, tapi hari ini dia menerimanya begitu saja. Madam Cleo berpikir bahwa dia telah berhasil mendidik Tika, sehingga tidak sengaja dia tersenyum senang.

"Madam, anda baik-baik saja?" tegur salah seorang rekan Tika.

"Aku baik-baik saja, Sophia. Aku selalu baik jika karyawanku menurut dan mengerjakan tugasku dengan baik," ucap madam Cleo seraya memandang ke arah Tika.

Rose yang mengamati dari mejanya, membuat gerakan tanpa suara -- apa yang terjadi dengan madam Cleo?-- yang ditunjukan kepada Tika dan dijawab dengan gelengan kepala.

Setelah, madam Cleo berlalu sembari bersenandung, Rose baru berani menghampiri meja Tika.

"Aku tidak mengerti, kenapa madam bisa tersenyum dan bahkan bernyanyi setelah menghukum orang dengan banyak pekerjaan. Apakah dia berdarah dingin?" cerocos Rose.

"Mungkin," Tika menjawab singkat. Tangan dan matanya sibuk memilah dan mengelompokkan berjilid-jilid laporan yang harus dia ringkas, perbaiki, dan buat presentasinya.

"Tika, look at me," Rose merengek karena merasa diabaikan.

Tika sedang dalam suasana hati kurang baik, tapi dia juga tidak ingin melimpahkannya pada Rose. Oleh karena itu, Tika berdiri lalu mencubit pipi Rose dengan gemas, "Rose, please. Aku masih banyak pekerjaan. Nanti, ya, kita bicara."

Saat Tika mencubitnya, Rose baru memperhatikan Tika, wajahnya tampak sedih. Rambutnya juga tampak berantakan. Rose yakin telah terjadi sesuatu yang buruk pada Tika sebelumnya. Sehingga, dia memilih untuk mengalah dan membiarkan Tika sendiri dulu.

Sayangnya, niat Tika untuk menghindari Axel kembali pupus, bagian keuangan memintanya untuk meminta tanda tangan Axel secara langsung terkait pembatalan pemotongan gaji.

Tika berjalan gontai menuju ruangan Axel. Di depan ruangan Axel, dia bertemu Reiden.

“Hallo, pak Rei,” sapa Tika.

“Hai, Nona. Ada perlu apa sampai kesini?” Rei bertanya dengan ramah.

“Ada sedikit kerperluan dengan pak Axel,” jawab Tika pelan.

“Baiklah mari menunggu bersamaku di sini,” ucap Reiden.

Lalu yang terjadi ialah, Tika dan Reiden mendengar Axel memukul meja dengan keras. Tika merasa semakin tidak ingin bertemu Axel saat itu, beruntungnya Reiden menawarkan bantuan untuk menyampaikan dokumennya.

Sekembalinya dari sana, Tika kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Dia bahkan melupakan rasa lapar dan tidak makan siang. Namun, Rose, teman yang paling pengertian itu membelikannya roti panggang dan es milo untuk makan siang.

"Makasih, ya, Rose. Kamu memang yang terbaik," puji Tika tulus.

Rose mengangguk lalu segera meninggalkan Tika sendiri lagi. Dia tidak mau mengganggu Tika.

Sampai semburat jingga milik sang senja menaungi bumi, Tika baru menyelesaikan tiga perempat dari pekerjaannya. 'Sepertinya aku akan pulang malam,' batin Tika.

“Tika, kamu lembur?” tanya Rose yang telah siap pulang.

“Sepertinya begitu,” jawab Tika seraya berjalan menuju dapur kecil milik divisinya. Dia ingin minum kopi.

“Mau aku temani?”

“Tidak usah, Rose. Aku bisa sendiri, lebih baik kau pulang.”

“Benarkah?”

Tika menuang air panas ke dalam gelas kopinya menghirupnya sesaat, “Iya.”

“Baiklah. Kabari aku jika butuh bantuan, ya, Tik?”

“Siap, Sayang.” Tika kembali duduk di mejanya.

“Oke, bye.” Rose berpamitan lalu berlalu pergi. Begitupula rekan yang lain, bahkan madam Cleo.

“Taruh yang sudah final di meja saya besok pagi, ya,” kata madam Cleo sebelum berlalu pergi.

Sekarang, Tika benar-benar sendiri. Kesunyian membuatnya mengingat kembali suara gebrakan meja serta nada suara Axel yang penuh kemarahan tadi pagi. ‘Apa yang membuatnya semarah itu?’ Tika bertanya dalam hatinya, ‘ah, itu bahkan bukan hakku untuk tahu,’ sambungnya lagi.

“Fokus. Fokus. Fokus,” gumam Tika menyemangati dirinya. Dia menarik napas panjang lalu kembali memandang setumpuk laporan dengan semangat. Tidak ada waktu baginya memikirkan hal lain, dia harus tetap fokus agar pekerjaannya selesai dan bisa segera pulang. Tubuh dan jiwanya terasa sangat lelah.

*****

“Divisi mana yang karyawannya belum pulang, Rei” tanya Axel pada Rei ketika melewati koridor di lantai tempat divisi Tika berada. Saat itu, Axel memang tengah berkeliling untuk mengamati detil perusahaan milik Laura yang saat ini dia pimpin.

“Kalau tidak salah, itu divisinya nona Tika,” jawab Reiden.

“Benarkah?”

“Ya. Kau bisa melihat dari rekaman CCTV.”

“Siapa yang bekerja lembur?”

Reiden menghadapkan tabletnya pada Axel, “Sepertinya nona Tika.”

Axel memperhatikan rekaman CCTV yang diakses Reiden dari tabletnya. Tika tampak sedang serius mengetik sesuatu di layar komputernya seraya sesekali membaca laporan di hadapannya. “Dia cukup tekun,” ujar Axel kemudian.

“Beberapa rekannya mengatakan seperti itu, Ax,” timpal Reiden.

Mata Axel membulat, “Kau cukup tahu banyak soal Tika, ya?” Ada sedikit nada cemburu dalam suaranya.

“Bukan begitu, Ax. Aku melakukannya saat kau memintaku tentang latar belakangnya.” Reiden menjawab dengan kikuk.

“Ayo, pulang!” ajak Axel tanpa menanggapi perkataan Reiden.

“Baik. Nona Tika, bagaimana?”

“Jangan pedulikan karyawan biasa.”

Reiden tidak bertanya lagi. Dia mengikuti Axel dengan patuh.

Sebaliknya, Axel yang tadi bersikap sok ketus pada Tika di depan Reiden, diam-diam menghubungi layanan taksi eksklusif.

“Tolong jemput seorang wanita muda di depan kantor Meidenbourgh Corporation, dia memakai baju terusan warna hijau, rambutnya hitam panjang dengan kucir kuda. Namanya Tika.”Axel mendeskripsikan ciri-ciri Tika pada sopir taksi yang diteleponnya. “Juga belikan dia minuman milo hangat sebelum menjemputnya,” imbuh Axel lagi.

Sang sopir tersenyum meski Axel tidak melihatnya, “Baik, Pak. Akan kupastikan kekasihmu aman.”

“Dia bukan kekasihku!”

“Ya, siapapun itu.”

“Oke.” Axel mengakhiri sambungan telepon.

‘Gadis bodoh. Apa yang kau lakukan sampai harus bekerja lembur,’ bisik Axel dalam hati.

Axel berbaring, dia ingin tertidur, tapi matanya tak mau tertutup. Dia mencemaskan Tika.

Sementara itu, gadis yang dia cemaskan tengah duduk dalam taksi eksklusif dengan perasaan bingung. Sopir tidak memberinya jawaban ketika dia bertanya mengenai orang yang sudah memesan layanan antar itu untuknya.

‘Apa mungkin Axel,' batinnya bertanya.

‘Aku rasa tidak mungin, dia sangat dingin padaku tadi pagi. Tapi, lalu siapa?’

Meski akhirnya dia memilih mengalah dan menerima saja. Lagipula, dia hanya ingin segera sampai apartemen dan tidur.