webnovel

Mimpi tentang Marie

Di lain sisi, Axel juga tengah memikirkan Tika. Sejak perbincangan waktu itu, bayangan Tika selalu muncul di pikirannya. Senyumnya, rambut panjangnya yang hitam legam, tubuh mungil namun berisi, juga suaranya. Bahkan malam itu, Axel hampir saja mengajak gadis itu ke kamarnya andai Reiden tidak datang menjemput.

'Sadarlah, Axel. Perasaan semacam itu tidak akan berhasil,' batin Axel menegur.

'Tapi, kalau hanya sekedar tidur, sepertinya tidak apa-apa bukan?' pikiran jahat Axel mulai bersuara.

'Tidak. Aku bukan lelaki seperti itu.'

"Axel, kau akan makan siang dimana?" suara Reiden mengembalikan pikirannya yng menerawang.

"Dimanapun yang dekat. Aku memiliki banyak pekerjaan."

"Ayo, aku tahu tempatnya." Reiden berjalan memimpin Axel.

Axel merapikan rambutnya yang sedikit berantakan lalu mengekori Reiden.

"Sepertinya nona Tika sedang makan di dalam bersama temannya," ucap Reiden sesampainya mereka ke restoran yang Reiden maksud.

Restoran itu bagian depannya terbuat dari cermin transparan, sehingga orang-orang yang sedang duduk makan di dalam restoran bisa terlihat dari luar.

Axel mengalihkan pandangannya ke dalam restoran setelah mendengar ucapan Reiden. Matanya terpaku menatap wanita yang sejak tadi terus muncul di pikirannya. Wanita itu bahkan lebih cantik saat ini. Jantung Axel berdetak kencang.

"Apa kita akan masuk?" Reiden bertanya lagi karena Axel tak kunjung menjawab, malah terpaku menatap ke dalam restoran.

"Jangan!" Axel menjawab tergesa-gesa, dia belum ingin bertemu wanita itu.

"Oke. Jadi kita kemana?"

"Kemana saja!"

Reiden tidak bertanya lagi, dia langsung melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.

******

Seorang pria berusia awal 20 tahun tengah membaringkan kepalanya dengan manja di pangkuan seorang gadis. Gadis itu memiliki rambut pirang sebahu dan mata biru yang sebening lautan juga senyum yang sangat manis.

"Axel, jangan memandangiku seperti itu?" Wajah si gadis yang putih mulus sudah berubah seperti kepiting rebus.

Axel merasa gemas melihat tingkah kekasihnya yang masih saja malu-malu. Padahal, mereka sudah menjalin hubungan cukup lama.

"Kamu sangat cantik, mataku seperti melekat padamu. Aku tidak bisa berpaling," Axel menggombal.

Wanita yang bernama Marie itu semakin salah tingkah. Dia memukul dada Axel.

"Aw!" Kau sangat ganas, Nona," Axel masih menggoda.

Marie akhirnya memilih berdiri. Tapi, tangan Axel menahannya. "Marie, aku kekasihmu, bukan?"

"Y--a," jawab Marie gugup.

"Kalau begitu, tidak perlu gugup, bukan?" pinta Axel.

"Ya, aku tau." Marie menjawab lesu.

"Aku juga tidak ingin gugup. Hanya saja, ---"

Mulut Axel menutup mulut Marie sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Ciuman itu berlangsung cukup lama, Marie hampir kehabisan napas tapi Axel tidak mau melepaskannya. Sampai akhirnya, Axel tidak sengaja menginjak ranting besar.

"Ah!" Axel berteriak. Ranting itu tidak melukainya, tapi cukup membuatnya terkejut dan menghentikan aktivitasnya.

"A--yo kita jalan-jalan," gagap Marie mengajak Axel berpindah dari situ.

"Hahaha, ayo. Kamu diselamatklan oleh ranting Marie," Axel berseloroh.

"Anggap saja begitu. Sekarang, kau tangkap aku," Marie berlari kencang mendahului Axel. Dia berpikir dengan berlari dia bisa mengurangi kegugupannya juga bayang-bayangan tautan bibir yang panas tadi.

"Tunggu saja, Marie. Akan ku tangkap kau dan kuulang kembali yang tadi," Axel berlari menyusul Marie.

Namun, sekuat apapun Axel berlari, dia tidak pernah bisa meraih Marie. Marie yang tadi dilihatnya sedang tertawa berubah menjadi Marie yang memandangnya dengan senyum sayu. Lalu, kilatan kejadian berputar dengan cepat.

Dirinya dan Marie ditangkap, Marie digagahi beberapa lelaki berbaju hitam, sedangkan dia disiksa. Lalu, dia melihat Marie mati. Matanya terbuka, tubuhnya penuh luka. Axel sampai tidak lagi mengenalinya. Axel berteriak.

"Arrgggghhhhhhhh!" teriakan Axel menggema di seluruh penjuru kamar apartemennya.

Axel terduduk dengan keringat mengucur di seluruh tubuhnya. Dia kembali mimpi buruk. Mimpi yang sama hampir di setiap malamnya sejak 10 tahun lalu. Mimpi yang membuatnya selalu merasa bersalah pada Marie. Mimpi yang membuatnya menutup hatinya terhadap wanita manapun. Sekalipun dia tidur dengan wanita, itu semua demi nafsu biologis. Bukan untuk mengisi hatinya yang telah lama mati.

Axel mencari ponselnya dan menelepon Reiden. "Reiden, mari minum."

"Mimpi buruk itu, masih menganggumu?" Reiden bertanya prihatin.

Mereka berdua bertemu di bar sepuluh menit setelah Axel menelepon Reiden.

Axel meneguk segelas wiski yang dipegangnya lalu mengangguk.

"Rasanya aku tidak akan pernah bebas." Sendu suaranya terdengar.

Reiden menepuk bahu Axel. 'Maafkan aku, Axel. Aku memanfaatkan situasimu.' Reiden hanya mengatakan itu dalam hatinya.

"Ku pikir, kau sudah tidak lagi bermimpi sejak bertemu nona Tika." Itulah yang akhirnya keluar dari mulut Reiden.

"Ya, memang beberapa malam setelah berbicara dengan Tika, aku tidak bermimpi,"aku Axel.

"Mungkin sebenarnya, kau butuh seseorang seperti nona Tika untuk mengobatimu?" Reiden mengusulkan.

"Tidak! Aku tidak ingin terlibat dengan siapapun lagi. Aku terlalu takut."

"Tapi, sekarang kau sudah lebih kuat, Ax."

"Justru itu, hubungan ini tidak akan berhasil. Terlalu rumit. Itu justru akan membahayakan Tika," ujar Axel.

"Artinya, kau mengakui?"

"Mengakui apa?"

"Kau tertarik dengan nona Tika," Reiden memancing.

"Sedikit. Tidak lebih dari itu."

Reiden tidak meneruskan. Dia mengangkat gelasnya lalu mengajak Axel bersulang.

******

Keesokan harinya, Axel tanpa sengaja bertemu dengan Tika saat sedang menunggu lift. Hari itu lift khusus pimpinan sedang diperbaiki, jadi Axel terpaksa menggunakan lift karyawan.

"Selamat pagi, pak Axel," sapa Tika ceria.

Axel membalas dengan anggukan tanpa menatap Tika. Namun, ekor matanya menangkap dengan jelas sosok gadis itu. Baju terusan berwarna hijau tua dengan panjang selutup tampak sangat pas di tubuh Tika. Axel menelan ludah lalu mengeraskan wajahnya.

"Bapak, baik-baik saja, bukan?" Tika bertanya dengan nada sedikit khawatir, wajah Axel kelihatan sedikit memerah. Tika khawatir, Axel tidak terbiasa berdiri lama.

Axel melonggarkan dasinya dan lagi-lagi tidak menanggapi perkataan Tika. Dia memilih mengambil ponselnya untuk menghubungi Reiden.

"Rei, kau dimana?" Nada gusar Axel langsung terdengar begitu telepon tersambung.

Reiden sebenarnya tidak berada jauh dari situ, dia sedang mengamati Axel dan Tika diam-diam.

"Aku akan segera kesana," sahut Reiden lalu mematikan ponselnya.

"Kamu, tidak nyaman, ya?" Tika bertanya lagi. Hatinya mulai kalut karena sejak tadi Axel mengabaikannya. Padahal Tika berharap, Axel mau sedikit saja memberinya senyuman hangat seperti malam itu.

Axel bergeming. Meskipun, dalam hati dia ingin sekali menyapa gadis ayu di hadapannya. Bahkan, dia ingin melumat bibir yang sejak tadi terus saja mengajaknya bicara. Axel mengepalkan tangannya demi menahan perasaannya.

'Apa Axel tidak menyukai penampilanku ya?' Tika bertanya dalam hati.

"Selamat pagi, nona Tika,"suara Reiden memecah kecanggungan antara bos dan karyawan itu.

"Selamat pagi, pak Rei," balas Tika.

"Wah, sepertinya kau semakin cantik," puji Reiden.

Axel sedikit merengut. Dia tidak percaya Reiden berani memuji wanita itu terang-terangan di hadapannya. Dia berjanji akan memberi Reiden satu pukulan.

"Terima kasih, Pak." Tika tersenyum tulus.

"Ayo masuk, Rei!" perintah Axel saat lift terbuka.

Tika hendak masuk juga, tapi Axel menatapnya tajam.

"Rei, kurasa tidak pantas seorang karyawan biasa berada satu lift dengan bosnya," Axel menegur Reiden dengan tujuan menyindir Tika.

Kata-kata Axel bagai palu yang memukul hancur hatinya, dia memandang sedih ke arah Axel lalu melangkah ke luar dari lift.

"Maafkan aku, Nona. Sampai bertemu lagi," pamit Reiden seraya menutup pintu lift.

*******