webnovel

4. Luka Lama

Luka hati bisa termaafkan.

Tapi tidak bisa untuk disembuhkan.

Goresan lukanya akan tetap membekas.

--Vidi Putra Haikal--

Malam semakin larut. Satu titik cahaya menerpa wajah Haikal. Membuatnya semakin terlihat pucat. Sonia memilih pisah ranjang untuk malam itu.

"Aku kangen kamu, Vidi. Ara, dulu kamu selalu menjagaku dan merawat ketika aku sakit, " keluhnya menahan badan semakin sakit dan terasa panas.

***

"Ma, aku gak bisa tidur, "melas Vidi pada Ara.

Ara melipat baju dengan helaan napas yang kasar. Matanya sembap dan kemerahan.

" Vid, kamu sama Kak Dina dulu, ya. Mama ingin sendiri dulu, " pinta Ara tanpa menatap wajah sendu putranya.

"I-iya Ma, " jawabnya pelan.

Ara mengambil tas ransel dan mengeluarkan sebuah map dari tasnya. Ara tampak sibuk sesekali mengecek kertas-kertas yang berserakan. Arabelle Agnia. Tidak asing di telinga mereka yang doyan membaca novel fiksi. Ara adalah seorang penulis yang cukup terkenal dan bekerja di salah satu penerbit di kota besar sebagai editor. Beban kerjanya tergolong sangat padat. Bahkan, waktu bersama putranya hampir tidak ada. Dalam hatinya sebenarnya sangat menikmati saat-saat seperti ini. Dengan bekerja tanpa mengenal waktu, selain mendapatkan penghasilan untuk hidup juga bisa melupakan kejadian masa lalu.

Sejak bercerai dari Haikal, dia banting tulang sendiri untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan Vidi. Dia tidak pernah minta uang dari mantan suaminya. Dia memilih mandiri karena lelah sering dihina oleh mantan suaminya. Sonia juga sering menghina dirinya. Semua ini tidak mudah dia lalui. Ia berharap suatu hari nanti akan ada kebahagiaan yang akan dia rasakan. Tiba-tiba suara ponsel berbunyi. Tanda panggilan masuk.

Kring.. kring!

Ara melirik ke ponsel yang cukup jauh dari tempatnya duduk. Terlihat sedikit huruf nama pertamanya.

"Ha? Haikal? " melihat jam di dinding pukul 23.30 dan Ara melanjutkan bekerja kembali.

Ponsel Ara terus berbunyi. Ingin rasanya membuang ponsel itu. Sebenarnya ponsel berwarna pink itu pemberian dari mantan suaminya. Ara ingin sekali menjualnya tetapi Vidi melarangnya.

Ara beranjak berdiri dan melempar ponselnya ke atas ranjang tidurnya, "Pasti Sonia, tidak salah lagi. Haikal tidak mungkin! " gumamnya.

Lagi-lagi ponsel itu terus berbunyi dan Ara mulai kesal. Suara ponsel itu membuat Ara susah fokus pada kerjaannya. Benar-benar sangat mengganggu.

"Halo? Apa? " jawabnya ketus nada tinggi.

"Ha-halo? Ara, ini aku. " Haikal terdengar gugup dan bergetar.

"Rupanya Haikal. Tapi kenapa dia telfon tengah malam kayak gini, ya?" gumamnya beberapa menit tanpa suara. Dalam hatinya heran pada mantan suaminya itu.

"Ara? kamu masih di sana? " Haikal gemetar menggigil merasakan seluruh tubuhnya dingin.

"O-oh iya. Ada Apa? "

Bibir Haikal terasa panas kering terkelupas. Lidahnya kaku untuk bicara. Matanya berkunang-kunang. Bicara sepatah kata saja membuat kepalanya nyeri.

"Aku sakit, sepertinya a-aku harus ke rumah sakit. "

Ara terdiam sejenak, "Dimana istrinya? Apa mereka berantem lagi? " batinnya menyipitkan mata. Mereka selalu saja seperti itu.

"Ara, bisa ka-kamu ke sini? " pinta Haikal memelas.

"Bentar deh, Kal. Istrimu di mana? " heran Ara mendengar permintaan mantan suaminya yang tak masuk akal.

Haikal memijit keningnya sembari menceritakan semuanya pada Ara. Ara senyum tipis dibalik cerita Haikal. Lalu Ara memulai percakapan lagi dengan Haikal.

"Aku cuma pengen ngomong satu hal sama kamu. Aku sudah bukan istrimu lagi. Jadi, tolong jangan bawa-bawa aku masuk dalam rumah tanggamu! " Ara menutup telepon dan melanjutkan bekerja.

Tanpa disadari Haikal, istrinya menguping pembicaraannya dengan mantan istrinya. Sonia emosi menggedor pintu kamar dengan keras.

"Mas, buka pintu! " teriak Sonia pada suaminya.

Haikal sontak kaget, "Apa Sonia mendengar omonganku tadi? Duh, gawat! " gumamnya memasukkan kepala dalam selimut.

"Mas, aku tadi dengar semua! Cepat buka pintu! Atau aku dobrak? "

"Diam kamu! Aku ngantuk mau tidur! "

Sonia geram tampak mukanya memerah menahan emosi yang sudah memuncak.

"Heh, dengar baik-baik dan ingat omonganku ini, aku paling tidak suka kalau kamu berbohong sama aku. Kalau kamu berani lagi menghubungi Ara, aku minta cerai, " ancaman Sonia membuat Haikal mengelus dada.

Sonia pergi ke kamar menutup pintu dengan kencang. Suaranya mendengung di telinga Haikal.

Kring... kring!

"Aduh, siapa lagi? "

"Sonia? Apa jangan-jangan terjadi sesuatu pada Haikal," batin Ara tidak bisa menampik kalau khawatir pada mantan suaminya.

"Ada apa? "

Desahan suara Sonia terdengar kasar dan cepat. Satu tangannya mengepal, "Mbak, gak punya malu atau gimana sih? Jangan jadi pelakor, Mbak! " ucapan Sonia seakan lupa kalau dirinya sendiri seorang pelakor.

Ara terkekeh lalu menekan tombol merah. Dina ikut senyum melihat tingkah majikannya.

Ara memegang perut kembali tertawa keras, "Din, ada apa? Sini masuk ke dalam!" suruh Ara dengan tawa kecil.

Dina masuk ke kamar duduk dekat Ara. Dia memainkan gelas berisi susu coklat hangat. Segelas susu untuk Vidi yang tidak bisa tidur. Vidi tidak bisa tidur tanpa minum susu. Dina sudah paham kebiasaan Vidi seperti apa.

"Bu, ada yang lucu? " Dina masih heran karena Ara masih tertawa.

"Aduh, perutku sampai sakit. Haha, Sonia itu gak punya kaca atau gimana, ya? " Ara mengernyitkan kening dan gak habis pikir dengan pelakor itu.

"Memangnya kenapa, Bu?"

"Dia tadi ngatain kalo aku ini pelakor, " Ara kembali terkekeh.

"Kok bisa, Bu? Padahal dia sendiri kan pelakor. " Dina tertawa cukup keras hingga Vidi mendengarnya. Dia pergi ke kamar Ara. Tapi, dia hanya di luar pintu. Dia takut jika Mamanya tahu.

"Haikal sakit dan minta tolong supaya aku membawanya ke rumah sakit. Istrinya sedang kacau. Mereka sering seperti itu, "

"Bu, saya sudah lama sekali tidak melihat Ibu tertawa kayak gini. Tawa yang lepas seperti tidak ada beban, " potong Dina.

Ara sekilas mengingat kembali perlakuan Haikal dan Sonia padanya. Orang yang sudah dianggap segalanya tega mematahkan hatinya menjadi kepingan yang sukar disatukan kembali. Kepercayaan itu kini sirna. Kebahagiaan seketika luntur menjadi kesedihan. Sama sekali tidak terpikirkan olehnya akan terjadi seperti ini.

Sonia yang sudah dianggap sebagai adik sendiri tega menancapkan pisau di punggung Ara secara bertubi-tubi. Bahkan dia menikahi mantan suami sahabatnya sendiri. Ara rasanya ingin mengakhiri hidup kala itu. Dia bahkan sempat menitipkan Vidi pada Dina. Lelah menjalani hidup dirasakannya. Hati yang terlalu rapuh untuk disakiti berulang kali. Perselingkuhan di belakang Ara membuatnya murka pada Haikal. Suami yang setia itu kini berlabuh pada hati wanita lain.

Kejadian satu tahun yang lalu itu membuat bongkahan luka baginya. Kehilangan suami yang dicintainya sekaligus sahabat baiknya. Goresan luka ini sulit untuk sembuh.

"Bu, Ibu? " Dina menggerakkan telapak tangan di depan wajah Ara.

"Eh, iya? Maaf, tadi kamu tanya apa? " lamunan Ara buyar seketika.

Dina melihat pipi Ara basah karena lamunannya. Dia menyeka pipinya dengan perlahan.

"I-ini tadi pasti kelilipan, " Ara cepat-cepat mengusap air matanya.

Dina memeluk Ara dengan pilu. Seakan dia merasakan hatinya ikut terkoyak dengan masa lalu pahit yang Ara rasakan. Dia salah satu saksi kekejaman haikal dan Sonia pada Ara saat itu. Dan Vidi yang menjadi korban dari perceraian itu

"Bu, jangan terikat pada masa lalu. Biarkan masa lalu menjadi masa lalu. Ibu berhak untuk bahagia. Saya yakin, Pak Haikal pasti akan menyesal, " bisik Dina pada Ara.

"Batu permata secantik Bu Ara digantikan dengan batu kerikil kali. Pemilik batu itu akan menyesal, " lanjut Dina. Senyum tipisnya membuat Ara seperti terkena hembusan angin yang membuatnya segar kembali.

Vidi berlari ke kamar. Rasa takut dan cemas jika Kak Dina dan Ara tahu jika dia dari tadi menguping. Anak sekecil itu sudah dipaksa untuk mengerti masalah orang dewasa.

"Ma, aku janji akan ada terus buat Mama. Vidi tidak akan meninggalkan Mama, " ucap seorang anak yang masih berumur 6 tahun. Dia begitu menyayangi wanita yang seorang diri merawatnya. Bekerja tanpa kenal lelah.

Krekk!

Vidi lekas merebahkan badan di kasur mendengar suara pintu. Di balik selimutnya dia berpura-pura memejamkan mata. Kak Dina menyibak selimutnya pelan.

"Baby, diminum dulu susunya. Mumpung masih hangat, " lirihnya bisik pelan ke telinga Vidi.

Mata sipit terbuka perlahan. Duduk sembari menyeruput susu. Kak Dina memegang dagu bocah kecil itu. Vidi mulai panik.

"Nak, kamu belum tidur, ya? "

Vidi terbelalak lebar dan menelan saliva perlahan. Anak kecil itu tertunduk lemas. Netranya tidak mampu menatap Kak Dina. Senyuman manis Kak Dina mengisyaratkan sesuatu yang dia tahu.

"A-aku belum ngantuk. Tadi aku ke kamarnya Mama. " Vidi tidak berani bohong. Sejak kecil dia diajari untuk tidak berbohong pada siapa pun. Karena bohong itu perbuatan dosa. Lebih baik jujur apa adanya daripada berbohong.

"Emm, tadi kamu dengar obrolanku sama Mamamu? "

"I-iya."

Kak Dina mengelus rambut hitam legam anak itu, "Kasihan sekali anak ini, dia terlalu kecil untuk mengerti semua ini, " batinnya dalam hati.

Vidi melihat ke langit-langit tanpa berkedip. Rasanya ingin mengeluarkan suara tapi tertahan oleh air mata yang siap untuk menetes.

"Nak, kamu terlalu kecil untuk paham masalah orang dewasa. Yang harus kamu tahu, Mama dan Papa sayang sama kamu melebihi apa pun, " jelasnya pada malaikat kecilnya.

"Iya, " jawabnya singkat.

"Sekarang tidurlah! Ini udah larut malam, "

Vidi merebahkan diri dan mata mulai terpejam. Susu hangat membuatnya nyaman dan mulai terhanyut dalam mimpi. Dina meninggalkan Vidi yang mulai terlelap. Pintu ditutup perlahan dan ia kembali ke kamar Ara.

"Bu, saya boleh masuk? " Dina mengetuk pintu bercat putih itu.

"Iya, Din! masuk saja! Vidi sudah tidur? " Ara bertanya sembari merapikan kertas yang berserakan di meja kerjanya.

Dina duduk di sebelah Ara yang masih terlihat sibuk. Matanya terfokus pada sebuah foto yang tergeletak di atas lantai.

"Bu, ini 'kan?" Dina mengambil fotonya dan merasa heran.

Ara menoleh sebentar lalu melanjutkan merapikan kertas kembali.

"Bu, ini Bu Sonia, 'kan? "

Ara bergegas mendekati Dina lalu dalam sekejap foto itu pindah tangan ke Ara. Mereka berpandangan dan baru menyadari sesuatu.