webnovel

3. Rindu Papa

Aku butuh sosok seorang Ayah.

Kelak yang membimbingku mengarungi kerasnya kehidupan.

--Vidi Putra Haikal--

Ara masih terpaku terdiam menatap sosok pria dan wanita itu. Seketika lamunannya dibuyarkan oleh teriakan Dina dari lantai bawah.

"Bu.... Ibu....! "

"Pak, jangan masuk! Nanti Bu Ara bisa marah. " Dina berusaha menahan pintu agar Haikal dan istrinya tidak bisa masuk.

Ara turun ke bawah menapaki dua tangga sekaligus saking paniknya. Matanya terlihat melotot lebar dan rasanya ingin sekali memaki Haikal dan istrinya.

"Mau apa kalian ke sini? " bentak Ara pada mereka yang masih nekat berusaha masuk.

"Din, tutup pintunya! Sekarang! Cepat! " Ara tampak murka dan menunjuk ke arah Haikal.

Dina mencoba berusaha menutup tapi dia tidak kuat lagi untuk menahan pintu itu. Tubuh Haikal yang tinggi, besar dan kekar berbanding terbalik dengan Dina yang kurus dan pendek. Haikal terlalu kuat untuk dilawan Dina. Kekuatan pria lebih besar daripada wanita.

"B-bu... I-ibu, saya sudah tidak kuat lagi, " Dina terbata-bata, nafas tak teratur, keringat mengalir deras di wajahnya.

Akhirnya, Dina terkulai lemas di belakang pintu dan merintih kesakitan. Sontak saja Ara berlari membantu Dina.

"Kamu tidak apa-apa, kan? " tanyanya penuh khawatir dan cemas keadaan Dina.

Haikal berdiri di dekat pintu dengan napas yang memburu. Istrinya menyeka keringatnya dan mengelus dadanya perlahan.

Ara berdiri dan mendorong tubuh Haikal dengan kencang. Istrinya dengan sigap menghalau dari depan.

"Aduh, kamu kok kasar sekali sih, Mbak? " suara manja dan sexy keluar dari mulut Sonia--istri Haikal.

Ara menatap tajam ke arah Sonia dan bersiap menampar pipi mulusnya itu. Wajah yang ayu tapi hatinya seperti bunga yang layu. Sahabat dekat yang tega menggoda dan merebut Haikal dari pelukan Ara.

"Kamu! Jangan pernah menginjakkan kaki kotormu di rumahku ini! " Ara menunjuk hidung Sonia dengan jari telunjuknya.

Sonia dengan cepat menepis tangan Ara cukup keras membuat Haikal melongo melihatnya.

"Hai, jangan sentuh wajah saya! Saya gak ingin jerawatan seperti kamu! Najis !" Sonia membersihkan wajah dengan tangannya. Lirikan sinisnya membuat Ara semakin naik pitam.

"Mbak Sonia yang terhormat, wajah yang ayu harusnya diimbangi dengan hati yang ayu juga. Bukan hati yang busuk perebut suami orang! " Ara melirik ke mantan suaminya. Sindiran pedas keluar begitu saja dari mulutnya.

Haikal meremas rambutnya menyaksikan dua perempuan adu mulut tidak jelas baginya. Dia berlalu meninggalkan mereka dan lekas ke lantai atas. Saat ini Vidi yang terpenting.

Dina tidak sengaja melihat dan lari menghadang. Haikal membuang nafasnya lalu meremas rambut kembali.

"Kamu mau ke mana? " Ara bertanya ketus.

Sonia mengajak Haikal keluar dari rumah yang baginya terasa panas. Lekukan tubuhnya sengaja diperlihatkan di depan Ara. Lenggak lenggok dengan kaos yang lumayan ketat.

"Kamu kena tekanan batin, ya? " sindiran tawa kecil Ara terdengar panas di telinga Sonia.

Dina dan Haikal saling berpandangan heran melihat dua makhluk yang masih belum menyelesaikan perdebatan yang sama sekali tidak penting.

"Mbak, kalau punya mulut itu dijaga! Mulut kok tajam banget kayak pisau! " bentak Sonia pada Ara.

"Heh, Sonia Kartika! Kamu lihat, kan? Masih parah mulutmu itu, dulu kamu sering menghina dan merendahkanku! Kamu sahabat dekatku tapi tega berbuat seperti itu sama aku, " ucapan terluka dari hati seorang mantan istri.

Sonia mendekat pada Ara. Tatapannya menghujam tajam ke bola mata Ara. Ara membalas dengan menampar pipi Sonia.

Plakk!

"Mbak! Kamu berani nampar aku? " Sonia memegang pipinya melirik Haikal yang sedari memperhatikannya.

"Mas, Mbak Ara nampar pipiku. " Sonia merajuk manja di pelukan Haikal.

Ara membuang muka dan menahan air mata yang sudah memenuhi netranya. Dadanya terasa sesak dan ingin rasanya meluapkannya saat itu juga.

Haikal mendekati Ara, "Jadi perempuan jangan kasar! Mau jadi apa anak kita, kalau kamu kayak preman pasar! "

Satu tetes air jernih turun perlahan di pipi Ara. Hatinya tercabik-cabik mendengar hinaan Haikal yang begitu menusuk.

"Maksud Anda apa? Harusnya Anda bisa ngasih tahu ke wanita yang sok sempurna ini untuk berhenti cari gara-gara dengan saya!"

Ara masuk ke dalam kamar Vidi dan mengunci pintunya. Tangisan Ara terdengar sampai bawah.

Vidi duduk pucat melihat wanita yang begitu rapuh di depan matanya. Dia tidak mengerti kenapa Mamanya menangis.

"Ma, kenapa menangis? " Anak sekecil itu seakan ikut merasakan apa yang Mamanya rasakan.

"Kamu sudah bangun? Ayo, minum obat dulu! " lirihnya berusaha berdiri dan menyeka air mata dengan kaos panjangnya.

Vidi terdiam mendengar sayup-sayup di lantai bawah. Suara itu terdengar tidak asing.

"Ma, Papa di sini,ya?"

Netra Ara terpejam merasakan air mata yang semakin banyak tertimbun. Helaan napas sangat berat saat itu.

"Kamu salah dengar. Kamu sudah minum obat, sekarang tidurlah! " Ara memakaikan selimut bermotif mobil favorit putranya.

Vidi merasa sangat iba melihat wanita yang melahirkannya seperti sudah tidak kuat menjalani pahitnya hidup ini. Disisi lain, dia sangat merindukan sosok Ayah saat ini. Berusaha sebisa mungkin tidak membahas Ayahnya di depan Mamanya.

"Ma, aku ingin dipeluk Mama. Apa boleh, Ma? " Wajah memelas Vidi pada Ara.

Ara memandang wajah putranya begitu lama. Seketika berlalu dari samping putranya. Ara tidak luluh sedikit pun saat itu.

Ara terkejut melihat Haikal dan istrinya berdiri di luar pintu. Tangannya mengepal ingin rasanya menonjok mantan suaminya itu.

"Keluar! Saya bilang keluar dari kamar anak saya!" bentaknya keras.

"Papa? "

"Iya, Nak! "

Vidi loncat turun dari ranjangnya. Ekspresi bahagia dan haru terlihat jelas dari rautnya.

"Papa......! " teriakan Vidi menggema di dalam rumah.

Pemandangan romantis antara ayah dan anak terjadi saat itu. Pelukan yang erat tidak ingin untuk dilepas. Tangisan dan kebahagiaan menyatu bersamaan.

"Nak, ayo ikut Papa! Vidi mau minta apa? Mainan? makanan? " rayu Haikal pada putranya.

"A-aku... " Vidi tertunduk melirik ke Ara.

Ara meninggalkan kamar itu tanpa berkata sedikit pun. Mulutnya terkunci dan lidah terasa kaku.

Sonia menariknya kasar, "Mbak, jadi orang jangan egois! Mas Haikal itu juga Ayahnya Vidi. Halah, jangan mentang-mentang kamu ibunya terus bisa melarang seperti itu!" mulut tajam Sonia membentak Ara yang saat itu menahan tangisnya.

Ara balik lagi dan menarik tangan Haikal. Vidi diam melihat orang dewasa tidak akur di depannya. Dia ingin orang tuanya tidak bertengkar terus.

"Mas, aku sudah terlalu sakit! Tolong, jangan tambah rasa sakitku ini! " tangisan Ara pecah dan luapan emosinya membuat Vidi menangis.

"Mama....! "

"Biarkan aku tenang hidup berdua dengan putraku. Aku sudah ikhlas dengan pilihanmu. Jadi, aku minta jangan usik kehidupan kami!" Ara memeluk Vidi. Pelukan yang sudah begitu lama ia rindukan dari Mamanya.

Haikal menyeka air mata Vidi, "Nak, kamu rindu Papa, kan? "

Vidi kembali memeluk erat Papanya. Ara masih tertunduk lemas menangis di atas lantai. Senyum Sonia merekah melihat rivalnya tidak berdaya dalam hidupnya.

"Pa, aku rindu sama Papa, " lirihnya berusaha menahan butiran air mata yang terus menetes.

"Nah, ayo ikut Papa! Papa juga rindu banget sama kamu, Nak! Mama sudah terbiasa sendiri, jadi pasti tidak masalah. Iya kan, Ara? "

Ara berusaha berdiri mendekat pada mantan suaminya. Tatapan kosongnya menandakan dia sangat terluka atas apa yang dikatakan Haikal.

"Mas, coba tanya sama Vidi! Dia mau ikut sama kamu atau tidak. " Senyum Ara sinis tanda kemarahan yang tertahan lama di dada.

"Vidi, kamu mau ikut Papa, 'kan? "

Vidi melihat wajah Mamanya penuh dengan kepasrahan. Senyum tipis dan kedipan mata seakan isyarat untuk melepas dirinya ke pelukan Papanya.

"Maaf, Pa? Aku milih tinggal sama Mama. " Vidi lari ke arah Ara.

"Aku kangen banget sama Papa. Tapi, aku gak mau meninggalkan Mama sendirian. Kata Kak Dina, Mama itu lagi butuh teman. Dan teman Mama cuma aku. Iya kan, Ma? " lanjut Vidi.

Bibir Ara bergetar kencang. Air mata tidak berhenti menetes dari netra indahnya. Kini keluar suara dari tangisannya. Dina sedari tadi melihat semuanya. Dia tak kuasa menahan tangis dan memeluk Ara.

Kaki Haikal terasa lemas. Matanya berkunang-kunang. Sonia diajaknya keluar dari rumah mantan istrinya.

***

Mas, kamu kenapa gak berani melawan mbak Ara waktu sore tadi? " menyeruput teh hangat rasa lemon.

"Aku tidak ingin terlihat buruk dimata anakku. " Haikal memegang dahinya yang terasa panas.

Haikal merasakan panas dingin yang sebelumnya belum pernah dirasakan. Nafas pendek dan terkadang batuk. Wajahnya tampak putih pucat.

"Sayang, bisa buatkan teh? " pinta Haikal pada istrinya.

Sonia masih sibuk dengan ponselnya. Terkadang terlihat senyum lebar dari bibirnya.

"Sayang, aku sepertinya tidak enak badan. "

"Iya, sebentar! " teriakan Sonia masih terpaku pada ponsel.

"Sonia! Jarak kita cuma beberapa langkah, teriakanmu seakan kita beda pulau. Buatkan teh sekarang juga! " bentaknya pada Sonia.

"Apa gak bisa sih buat teh sendiri. Emangnya aku pembantu? " keluhan pelan di belakang Haikal.

Haikal menghentikan langkahnya dan balik badan mendengar yang dikatakan istrinya.

" Kamu merasa seperti pembantu? Apa tidak salah? Justru kamu mirip ratu selama ini! "

Sonia sontak berdiri membanting cangkir yang masih tersisa setengah teh.

Prang!

"Sonia, kamu ini apa-apaan! Setiap kali kita ada masalah, kamu selalu membanting apa pun! " Nada suara Haikal meninggi.

"Heh, kamu selayaknya memperlakukan aku seperti ratu! Aku ini istrimu, Mas. " Sonia membela diri mulai manja pada Haikal.

"Dulu Ara tidak pernah seperti kamu. " Sekilas mengingat saat dulu sakit, Ara selalu sigap merawatnya.

"Aku sudah muak! Ara... Ara... Ara lagi! " Sonia naik pitam.

Sonia mengunci dirinya di kamar. Hampir setiap hari mereka selalu bertengkar. Haikal yang selalu membandingkan mantan istrinya dan dia.

"Aku sangat membenci Ara. Lihat saja, semua ini belum berakhir. Kamu harus lebih sengsara lagi," Mas, ini semua baru permulaan. Kakakku menderita karena ulah mantan istrimu, " gumamnya meremas tangan.

"Lihat saja nanti! Apa yang terjadi pada Ara. Kakakku satu-satunya meninggalkanku. Aku hidup sebatang kara karena ulah mantan istrimu, " lanjut Sonia.