"Leor mempertaruhkan nyawanya untuk membawa mereka kesini" Setibanya di luar Arrah menunjuk sesosok besar yang berdiam di bawah pohon.
"Arrah, apakah dia yang kau maksud?" Leor menyapanya dan menatap Mika dengan dingin.
"Tunggulah di sini" ujar Arrah kepada Mika tanpa menjawab pertanyaan Leor, kemudian Arrah berjalan ke arah lelaki tersebut.
"Leor, aku belum mengetahuinya dengan pasti. Namun aku menemukannya dari dalam danau Eok, dan dia mengenakan gelang itu" Arrah menatap Leor dengan sedikit mendongak.
Perbedaan tinggi mereka berdua cukup terlihat, tinggi Leor sekira dua meter lebih, dengan kakinya yang berotot dan besar diselimuti bulu-bulu indah berwarna putih keabuan. Leor adalah ras Tigras, manusia dengan tubuh menyerupai harimau yang berdiri tegak.
Kepalanya berbentuk harimau salju berwarna putih dengan bola mata yang hijau, dia mengenakan celana panjang dengan ikat pinggang berwarna hitam yang dihiasi dua garis putih disisi atas dan bawahnya, namun telapak kakinya dibiarkan telanjang tanpa alas kaki dengan jari-jari yang menyimpan kuku runcing layaknya kucing besar.
Kedua orang itu terus berbincang dengan suara yang terdengar samar oleh Mika yang masih berdiri mengamati mereka. Sesekali Arrah memutar pandangannya melihat Mika, sementara bibir Leor terus bergerak menandakan perbincangan mereka masih berlanjut.
"Arrah, kau tahu siapapun bisa saja terjatuh di danau itu dan..." Leor tidak melanjutkan ucapannya. Mereka berdua saling menatap, menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dari pemuda asing yang baru saja mereka temui, Mika terlihat kesulitan menjaga keseimbangannya.
"Sebenarnya apa sih yang membuat diriku begitu penting bagi mereka? Aku bahkan belum mengenal siapapun disini, ya kecuali wanita menyebalkan itu" namun belum sempat Mika melanjutkan lamunannya, Arrah terlihat bergegas menghampirinya..
Kemudian tiba-tiba saja Mika merasakan dadanya menjadi sesak dan tarikkan nafasnya memberat, pandangannya tampak berbayang dan menghilang terlihat samar Arrah yang semakin mendekat padanya.
Sesaat sebelum sempat hilang kesadaran, Arrah menangkap tubuh Mika yang hendak jatuh ketanah.
"Brughhhh..." Lagi-lagi Mika pingsan, kali ini tanpa ada yang memukulnya dengan balok kayu.
Bergegas Leor mendekati mereka, tanpa banyak bicara dia letakkan tangannya di dada Mika, dia menunggu beberapa saat hingga perlahan tarikan nafas Mika mulai teratur dan kesadarannya berangsur kembali.
"Sebaiknya kau bermalam disini, sebelum kami memutuskan langkah selanjutnya" Ucap Arrah seolah ia ingin segera menutup malam dan melanjutkan lembar berikutnya.
"Memutuskan langkah selanjutnya? mau apa mereka sebenarnya? apa yang baru saja terjadi?" Ditengah kesadarannya yang sedang pulih, Mika bisa mendengar dengan jelas pembicaraan disekelilingnya.
Milo yang baru tiba dari mengantar Mika ke tempatnya beristirahat malam itu, meninggalkan Arrah dan Leor yang melanjutkan pembicaraannya.
"Dia bukan berasal dari Ukora, dan energi yang kusalurkan padanya hanya bisa bertahan sebentar saja dan dia harus segera meninggalkan tempat ini" Leor memberikan kesimpulannya tentang Mika.
"Tapi bagaimana mengembalikan Mika kembali ke dunia asalnya? Apakah ada yang bisa kulakukan untuk menghapus ingatannya akan Lessa?" Keadaan mulai berbalik, kini Arrah yang meragukan Mika.
"Aku akan menemanimu mengantarnya kembali ke danau Eok, siapapun dia jelas ada sesuatu yang mengantarnya kesini" Leor memahami perkataan Arrah.
Keputusan sudah dibuat, Mika akan dikembalikan ke dunia manusia dan akan segera bertemu lagi dengan kehidupannya yang normal.
-------------------------------
Malam itu terasa sangat lama bagi Mika, kegelisahan membuatnya sangat sulit untuk memejamkan mata. Di dalam pikirannya mulai terbesit keinginan untuk tetap disini, mengenal banyak hal yang berbeda dari dunianya memancing rasa ingin tahu Mika.
Sambil membuka selimutnya, Mika mendorong sisi kiri badannya menuju tepi ranjang, begitu kedua kakinya menginjak lantai, dia berusaha untuk berdiri dan berjalan. Dengan sangat perlahan Mika melangkahkan kedua kakinya menuju sebuah jendela dari tempatnya tidur.
Malam di sini cukup dingin dan benar-benar sunyi, bahkan suara hembusan nafasmu dapat terdengar sangat jelas. Mika cukup hafal lorong-lorong di dalam bangunan ini, entah mengapa sepertinya dia mengenal setiap detailnya, meskipun dia belum pernah kesini sebelumnya.
Mika memutuskan untuk berkeliling sejenak sebelum besok dia harus kembali pulang. Setibanya di luar langit terlihat begitu gelap dan pekat tanpa dihiasi bintang maupun cahaya bulan. Mika memperhatikan bahwa bangunan itu letaknya tepat disebelah tebing tempat Vorus berdiam, makhluk itu tampak masih terjaga dan terus mengeleng-gelengkan kepala seperti sedang berusaha meraih kaki belakangnya lagi.
Dengan perlahan dia melangkah mendekati Vorus, dia sadar bahwa harus sangat berhati-hati mendekatinya. Kini Mika hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari Vorus.
"Hai..., kau tampak gelisah" Ucap Mika perlahan.
"Houuuuuuuuph" Vorus mengeluarkan suara diikuti dengan hembusan nafas yang hangat membentuk embun.
Vorus tampak tidak nyaman dengan kehadiran Mika, bergegas anak manusia itu membungkukkan badannya memberi isyarat bahwa dirinya bukanlah ancaman bagi Vorus. Setelah beberapa kali mencoba berinteraksi, Vorus pun terlihat mulai terbiasa dengan kehadiran Mika.
Mika mendekatinya dengan menunduk, meletakkan satu lengannya di depan sementara yang satunya sebagai penopang tubuhnya.
Mika memperhatikan beberapa kali Vorus berusaha menjulurkan kepalanya ke arah yang sama, hal ini menarik perhatian Mika untuk memeriksa ada apa dengan kakinya itu.
Dengan berhati-hati Mika mengusap lembut kaki Vorus, lalu membalikkannya dengan perlahan. Tampak sebuah duri tajam yang menusuk tepat di sudut jari-jari runcing pada kakinya yang besar itu.
"Baiklah Vorus, sepertinya aku tahu kenapa kau terlihat gelisah" Mika mencoba mengajaknya berbicara untuk membuat Vorus merasa lebih nyaman.
"Ini akan terasa sedikit sakit" Mika kemudian mulai menarik duri yang menancap cukup dalam tersebut.
Setelah ditarik, darah segar mengalir keluar dari telapak kaki makhluk itu. "bruuughhh" Vorus merebahkan leher panjang dan kepalanya di atas tanah, dia kini terlihat lebih tenang.
Mika menutupnya dengan dedaunan yang kemudian diikat dengan beberapa akar-akar tanaman yang halus. Hembusan nafas Vorus terasa hangat terbawa angin menerpa wajah Mika, kedua matanya mulai tertutup jatuh kedalam tidur. Mika lalu membantu membuatnya merasa nyaman dengan setelah mengusap punggungnya perlahan.
Setelah dirasa cukup, Mika pun meninggalkan Vorus sambil berharap kali ini dia bisa memejamkan kedua matanya.