webnovel

Pair of Wings - Land of caged ukorian

Mika memang berbeda dari Ukorian, tapi Arrah berjanji bahwa dia akan bisa membaur. Perjalanannya bersama Arrah membawanya terpisah di negeri Ukora, Di Ukora para pemuda harus mengikuti seleksi untuk menentukan apakah mereka akan masuk ke Klan Aviator, Trainer, Magis atau yang paling menakutkan... klan Mentalis? Apakah Mika akan memilih untuk pulang saja ke dunia asalnya? karena tidak seharusnya dia terlibat terlalu jauh... tapi ada perasaan kuat yang menahannya untuk terus mencoba agar bisa terbang... Ya, terbang!!! anak manusia harus bisa terbang... di Ukora. ------------------------------------------------------------------------------------------- Sebuah cerita yang akan membawa kamu masuk ke petualangan fantasi, dengan alur cerita yang diluar dugaan. Ikuti terus kisah Mika di negeri yang terkurung, dan bagikan komentar serta dukungan kamu untuk penulis :)

Hendrawans · Fantasy
Not enough ratings
11 Chs

Dibalik tebing!

Arrah melangkahkan kaki menyusuri jalan yang ada di dalam tebing itu, keadaannya cukup gelap namun masih dapat dilihat dengan samar kemana arahnya

"Ikuti aku Mika..." Arrah masih menggandeng tangan Mika.

Arah jalan itu menuntun mereka ke dalam sebuah gua yang berdindingkan batu alam berwarna putih kebiruan, dengan warna ungu di dasar kaki-kaki nya dengan dasar air yang mengelilinginya.

Gua ini berbentuk abstrak dan tak beraturan, beberapa memiliki langit-langit yang runcing menghujam kebawah dan beberapa lainnya membentuk lorong yang berbeda ukuran serta bentuk.

"Ada apa di luar Ukora?" tanya Mika sembari mengalihkan pandangan ke tangan kanannya.

Arrah pun menyadari tangannya masih menggenggam erat Mika, lalu kemudian dia melepaskannya dengan agak sedikit malu-malu.

"Milo lah yang dahulu menciptakan seluruh keindahan, namun mereka mulai menghilang dan kini semuanya di luar Ukora berwarna kelabu"

"Milo?" Tanya Mika yang sudah sejak tadi menyimpan banyak pertanyaan. "Ya, kami semua hanya pandai membangun namun Milo yang memberikan sentuhan keindahan" Jawab Arrah menjentikkan perlahan ibu jari dan telunjukknya, mungkin dia menyukai momen dimana tangannya menggandeng Mika

Gua ini terlihat sangat indah meskipun memiliki banyak lorong yang gelap, yang begitu didekati oleh mereka berubah menjadi terang dan menampakkan corak yang sama dengan dinding gua lainnya.

"Teruslah di dekatku Mika, atau kau akan tersesat, karena masing-masing lorong ini akan membawamu ke tempat yang berbeda" Lanjut Arrah sembari terus melangkahkan kakinya menyusuri gua dengan dasar air setinggi mata kaki.

Mika pun berusaha menjaga ritme langkah kakinya agar selalu di dekat Arrah, mungkin Arrah menyadari bahwa Mika kehilangan fokus karena terpesona oleh keindahan gua itu.

Mika kemudian melihat jauh diujung sana ada sumber cahaya yang sangat terang yang semakin membesar seiring langkah kaki mereka menghampirinya. Sesampainya di ujung lorong, Mika mendapati dirinya berada di sebuah ruang yang... malah lebih terlihat seperti sebuah dunia yang terpisah dari dunia luar.

Ruang yang begitu besar ini dikelilingi oleh berbagai tanaman yang tumbuh dengan lebatnya namun proporsional, di tengahnya ada sebuah danau berwarna biru seperti air laut pada musim panas.

Makhluk-makhluk didalamnya cukup asing bagi Mika, karena jauh berbeda dengan yang ada di buku bacaan musim seminya. Namun diantara keseluruh makhluk-makhluk yang mengisi tempat itu ada satu yang menarik perhatiannya, dengan leher yang panjang dan mata yang besar dia berdiam di atas atas tebing yang tidak terlalu tinggi di seberang sana.

Arrah menyadari kekaguman Mika akan Vorus, memang sudah sewajarnya dia kagum, karena Vorus salah satu makhluk paling mencengangkan yang pernah ada di Douia, dunia mereka.

Makhluk itu beberapa kali menggoyang-goyangkan kepalanya yang berusaha meraih kaki belakangnya diiringi suara erangan yang terdengar lirih, dia terlihat gelisah.

"Vorus biasanya dapat terbang bebas kemanapun yang dia suka, akan tetapi Milo yang menangkap dan membawanya kesini, dia khawatir makhluk yang hampir punah ini akan diburu oleh orang-orang Ukora untuk dijadikan kendaraan perang" Ujarnya yang tampak tidak diacuhkan oleh Mika

"Kau akan ikut denganku atau terus memandanginya seharian?" suara Arrah memecah keasyikan Mika memandangi Vorus.

"Hei, apakah kau rasa dia terlihat gelisah?" Tanya Mika

"Vorus hanya merasa tidak nyaman terkurung dalam tempat ini, tapi itu untuk kebaikannya juga" Balas Arrah

"Bolehkah kita mendekatinya? mungkin kita bisa menenangkannya" Tanya Mika kembali

"Mari aku ajak kau menemui Milo" Ucap Arrah tanpa menghiraukan pertanyaan Mika yang hanya bisa pasrah mengikuti langkah Arrah dari belakang.

"Sejak Raja Gorian menyegel negeri Ukora, ras-ras lain penghuni Douia mulai menarik diri satu sama lain" Arrah memulai pembicaraan

Dia menarik nafas sebentar lalu melanjutkan kalimatnya "Dahulu kami hidup berdampingan, meski berbeda namun kami menyadari bahwa kami saling membutuhkan, namun Raja Gorian berpikir lain. Dia merasa bahwa Ukorian harus menentukan nasibnya sendiri"

Mika mendengarkan sambil terus mengikuti langkah Arrah diatas rerumputan yang luas itu. Setiap kali menginjaknya, rerumputan itu berubah warna menjadi kecoklatan, dan kembali menghijau saat pijakannya berpindah, begitu seterusnya.

"Milo merasa bahwa suatu saat nanti akan tiba waktunya seseorang akan kembali mempersatukan kami, dan berharap saat itu dia dapat kembali membuat keindahan di seluruh Douia" Arrah menghentikan langkah kakinya.

Jalan itu berhenti tepat di bibir jurang. "Namun orang yang pernah kami harapkan itu kini telah lama tewas dalam peperangan di Austur" Arrah melompat sebentar dan mendaratkan kedua kakinya dengan menghentak. Dia terlihat melayang, namun gelombang udara bercampur dengan cahaya muncul beriringan menciptakan gambaran samar akan sebuah jembatan.

Jembatan itu berwarna kristal, polos dan hampir tak terlihat, menurun kebawah dan membentuk putaran.

"Mari kita lihat, apakah kau bisa menginjakkan kaki disini" Kali ini suara Arrah agak berat, seperti terdengar ada keraguan.

Arrah mulai menyebrangi jembatan itu, hingga beberapa langkah di depan dia kemudian berhenti dan membalikkan badannya.

"Berjalanlah kemari, dan raih tangganku" Arrah mengulurkan tangannya.

"Semoga kau tidak terjatuh" Lanjutnya.

"Apa? Terjatuh? Kenapa perjalanan ini harus selalu melibatkan ketinggian?" Pikir Mika dengan kesal.

Mika pun melangkahkan kakinya, diatas jembatan yang hampir tak terlihat itu. Ya! Mungkin ini terasa menegangkan, bayangkan berjalan dengan seseorang yang baru saja kau kenal di dunia yang aneh dan harus melewati jembatan diatas jurang yang sepertinya tidak memiliki dasar. Semua itu terlintas dibenak Mika menjadi satu seiring langkah kakinya yang pertama.

Dengan agak ragu dia menuruti perintah Arrah, kedua kakinya telah berpijak diatas jembatan dan kini mereka berdua terlihat seperti melayang di atas jurang.

Kedua manusia ini kembali berpegangan tangan, mungkin Arrah merasa khawatir jika Mika harus terjatuh setelah perjalanan jauh yag mereka lalui. Berpegangan dengan tangan yang begitu lembut diatas jurang yang bisa membunuh mu cukup menyenangkan sekaligus menegangkan bagi Mika.

"Tidak kusangka, wanita menyebalkan ini memiliki tangan yang begitu lembut" Mika tersenyum dalam lamunannya. Sekilas mereka berpandangan, dan Arrah segera membalikkan badannya.

Mereka pun kembali menyusuri sebuah jembatan yang semakin menurun yang membawa mereka memasuki kabut yang cukup tebal. Semakin kebawah mereka hampir tak bisa melihat satu sama lain karena kabut pekat yang menyelimuti sekeliling.

Jauh di bawah sana terlihat dengan samar sebuah bangunan yang terbuat dari bebatuan berwarna putih pasir, berbentuk persegi yang memanjang keatas dengan setiap sisinya dipenuhi jendela-jendela kecil, dindingnya pun diselimuti dedaunan yang menjalar.

Cukup membutuhkan waktu bagi mereka berdua untuk menyusuri jembatan yang menegangkan itu, perlahan mereka mencapai ujung jembatan, saat itulah kekhawatiran Arrah hilang dari wajah cantiknya.

"Apakah ini kali pertama kau menyeberanginya?" Mika Bertanya

Arrah menggelengkan kepalanya perlahan. "Kenapa kau tampak khawatir?" tanya Mika lagi

"Aku mengkhawatirkan dirimu, karena ini pertama kalinya kami mebawa orang lain masuk ke Lessa" Jawab Arrah

"Arraaaaaaaaah" Belum sempat Mika kembali bertanya, sesosok makhluk berbadan bulan dengan tinggi hanya lima puluh sentimeter berlari menghampiri mereka.

Suaranya nyaring, keluar dari mulut besarnya yang mengisi hampir seluruh badannya. Dia tidak memiliki kepala yang dipisahkan oleh leher, dia sangat bulat dengan tangan yang berbentuk elips tanpa jari jemari yang menghiasinya.

Kakinya berbentuk seperti dua buah jari yang besar tanpa kuku, seluruh tubuhnya berwarna kuning berkilau hampir terlihat seperti sebuah bola lampu besar yang dapat berbicara.

"Hai Milo" Arrah menundukkan badan dan bertumpu pada kedua lututnya

"Ini untukmu" Ucap Arrah seraya menyerahkan sebuah kantung untuk Milo

"Miloooooo" Milo berlari menghampiri saudaranya yang berbaring dibawah pohon kehidupan. Mengeluarkan isi kantong dan meminumkannya untuk Lily.

Begitu Lily meminum air danau Eok pemberian Arrah, Milo pun kembali menghampiri mereka berdua "Kau, siapa nama mu?" Milo mengelilingi Mika sambil melompat-lompat kecil, sementara matanya mengamati Mika dengan seksama. Sekali-kali pandangannya mendongak keatas.

"ehmmm, aku Mika..." Meski aneh tampaknya Mika cukup terhibur dengan tingkah pongah Milo yang berlompatan seperti anak kecil, dan Milo pun tampaknya menyukai anak itu.

"Pakaianmu, akan kuberikan yang lebih baik, indah... warna apa kesukaanmu?" Milo menghentikan lompatanya dan melayang tepat dihadapan Mika. "Hitam, aku suka warna hitam" Milo meketakkan tangannya ke dada Mika, dari ujungnya mengeluarkan bola cahaya berwarna putih kebiruan yang masuk kedalam dada Mika.

Bola cahayanya membesar hingga menutupi seluruh tubuh Mika yang mengikuti bentuk tubuhnya.

Setelah beberapa saat, tubuh Mika kembali terlihat seiring dengan menghilangnya cahaya tersebut, begitupun pakaian yang dikenakan Mika, telah berganti dengan warna Hitam pekat yang sangat bagus. Bahannya seperti kulit yang menempel ketat di badan namun elastis memanjang hingga kaki yang dihiasi garis-garis tegas mengikuti bentuk tubuhnya.

Pakaian itu ditutupi jubah dengan bentuk sederhana namun gagah, pada setiap sikutnya memiliki potongan yang runcing berwarna hijau gelap kehitaman, sepatunya setinggi mata kaki dengan bantalan yang elastis dan ringan.

"Sekarang pakaianmu sudah sesuai" Milo tersenyum.

"Eh, terima kasih... Milo" Mika tidak yakin apa dia menyukainya, karena pakaian itu tidak seperti pakaian yang umum di dunia nya, terlihat aneh meskipun dia pernah melihatnya sebelumnya... Ya! pakaian itu hampir sama seperti yang dipakai pasukan yang mengejarnya dipinggir danau semalam!

Dibalik punggungnya terdapat sepasang lubang segaris yang memanjang ke bawah disisi kanan dan kiri tepat di tulang belikat.

Sementara untuk alasnya, sebuah sepatu boots tinggi dengan tapak yang beralur, dihiasi dua lipatan runcing yang memanjang di masing-masing sisi kiri dan kanannya. Meski terlihat aneh, namun sepatu ini sangat nyaman buat Mika.

Setelahnya tanpa mengucapkan apapun Milo pun berbalik menghampiri Lily yang masih terbaring.

"Milo dan Lily sudah ada sejak masa penciptaan, dan mereka terpaksa melarikan diri karena diburu oleh Ukorian" Ujar Arrah sambil memandangi mereka di kejauhan.

"Sebaiknya kita tinggalkan Milo dan Lily untuk beristirahat" Ucap Arrah melangkahkan kakinya keluar.