16 Chapter 15

Designer muda asal Indonesia bernama Dinarian Dinata sukses merancang busana para artis papan atas, seperti Anne Hathaway di acara Golden Globe, Aishwarya Ray di Cannes film festival 2007, Halle Berry di acara Guild Awards 2004 dan juga Jodie Foster dalam acara megah Oscar 2002. Perempuan berusia 30 tahun itu tengah mengadakan acara megah pelelangan gaun-gaun rancangannya, dengan tamu undangan kalangan sosialita maupun artis-artis international. Di bawah langit malam kota Paris ini, sang designer muda itu menggelar pesta mewahnya. Memilih kota mode itu sebagai saksi betapa indahnya rancangan gaun-gaun yang nantinya akan dipakai oleh model-model terkenal di seluruh Dunia.

Event pelelangan yang juga menggandeng majalah mode Vanity Fair untuk ikut bekerjasama ini merupakan acara amal untuk Indonesian Museum Art. Setidaknya walaupun Dinar sudah tidak pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran kakeknya, dia bisa menyumbangkan sesuatu yang berguna bagi bangsa Indonesia. Kemegahan pesta ini dapat dilihat dari hiasan lampu-lampu, digelarnya red carpet untuk menyambut tamu undangan, puluhan blitz camera yang tak hentinya memotret moment di malam ini. Para sosialita dengan gaun rancangan designer papan atas, para entrepreneur dan juga kalangan artis dunia teman-teman sang adik. Danishwara Dinata, seorang model International. Mereka semua datang ke pesta ini dengan berbagai tujuan yang berbeda-beda.

"Aku mau bersenang-senang dulu. Bidadariku pasti sudah menungguku. Bye! Kalian juga harus bersenang-senang," oceh Dino menepuk pundak kedua sahabatnya.

Sedetik setelah itu Dino sudah lenyap dari pandangan mereka berdua. Tenggelam dalam kerumunan penikmat pesta amal malam ini. Tenggelam dengan dunianya sendiri, dunia yang penuh dengan kaum hawa.

Ck..

Pria itu memang brengsek.

Tidak pernah bisa mengacuhkan barang yang berlabel sexy.

"Dasar, playboy cap bangau," cibir Danish menatap kepergian Si Cassanova. Pria itu kemudian menoleh ke samping, ke arah sahabatnya yang hanya berdiri dengan gelas sampange di tangan kanan serta tangan kiri dimasukan ke dalam saku celana. Pria itu terlihat tidak tertarik dengan acara ini. "Hei, Vi. Aku tahu kalau kau terpaksa datang ke acara ini karena sungkan pada kakakku, tapi bisa tidak kau pura-pura menikmati pesta ini. Aku muak melihat tampangmu yang menyebalkanmu itu. Kau tidak ingin mengencani salah satu wanita yang ada disini? Kau yakin masih mempertahankan prinsip bodohmu itu, saat melihat puluhan bidadari bertebaran di sekitarmu?" Pria itu sibuk mengomel.

Pria bernama Vian itu hanya tersenyum tipis, tak mengacuhkan omelan dari Danish. Memilih untuk mengedarkan pandangannya ke tempat lain dan bukan tampang kesal sahabatnya. Fokusnya langsung berhenti pada satu tujuan di antara ribuan orang yang berada di dalam ruangan ini. Menatap penuh minat pada sosok perempuan yang berdiri di tengah ruangan, mengabaikan puluhan pasang mata kaum hawa yang sedari tadi menatap pria itu penuh minat.

"Aku ingin perempuan itu," ujar Vian tanpa mengalihkan tatapannya pada perempuan yang mengenakan gaun berwarna merah cerah dengan potongan punggung yang terbuka dan panjangnya hanya sebatas lutut.

"Hei. Bung! Kau fikir kami menjual perempuan! Ini acara lelang gaun dan bukannya lelang perempuan. Kalau kau memang menginginkan dia, itu berarti kau harus memenangkan acara lelangnya," sahut Danish, selaku adik dari si penggelar acara yang berarti tuan rumah juga.

"Jadi dia salah satu model yang akan memperagakan gaun rancangan Kak Dinar. Kalau begitu apa yang akan aku dapatkan, kalau aku berhasil memenangkan gaun tersebut?" tanya Vian mulai tertarik.

"Gaun itu beserta si pemakainya. Kau bis―"

"Shit, kau bilang tadi tidak menjual perempuan. Lalu penjelasanmu ini apa?" decak Vian tak habis fikir. Pria itu melotot pada sahabatnya.

"Brengsek, cuci dulu otakmu dan jangan berfikir hanya dengan penismu saja. Aku belum selesai bicara, bodoh! Kak Dinar hanya akan mengijinkanmu untuk makan malam dan berdansa saja. Kalau kau melakukan hal lebih dari itu, aku jamin kau tidak akan pernah bisa kembali ke tanah kelahiranmu dengan selamat. Kau pasti akan mati ditangan Kak Dinar," jelas Danish panjang lebar.

"Tapi bagaimana kalau dia sendiri yang memintaku untuk menjamahnya? Itu sudah di luar kewenangan kalian, 'kan," ujar Vian dengan percaya diri.

"Tentu. Kalau perempuan lain, mungkin aku akan langsung percaya dengan kemampuanmu dalam menakhlukan kaum hawa. Tapi sayangnya orang yang kau inginkan saat ini adalah Keandra Vi. Model papan atas yang sifat serta sikapnya sedingin kutub utara, aku tidak yakin kalau kemampuanmu bisa mencapai level seorang Keandra," ledek Danish seraya meminum cocktail-nya.

"Jadi dia terkenal dingin, bukankah ini semakin menarik. Kau mau taruhan?" tawar Vian menatap sahabatnya itu.

"Taruhan? Bukannya kau tidak pernah tertarik dengan taruhan apapun. Kenapa sekarang malah menantangku?" sahut Danish menatap heran sahabatnya itu.

"Menurutku ini menarik."

"Jadi, maksudmu tawaran kami sebelumnya tidak menarik," sembur Danish kesal, melirik Dio yang sedang merayu perempuan di sudut pesta.

"Akan aku pastikan kalau nanti setelah acara ini berakhir, perempuan bernama Kea itu akan satu mobil denganku dan bahkan satu ranjang. Call?" tawar Vian tersenyum percaya diri.

Apa taruhannya?

"Pulau baruku di Thailand."

"Dan kau ingin?"

"Pulaumu di Yunani."

"Sial, kau sudah mengincar pulauku, 'kan? Kau sengaja memancingku dengan taruhanmu ini!" maki Danish merasa tertipu, pria itu mengumpat seraya melayangkan tinjuannya di lengan Vian.

"So?" ujar Vian tersenyum miring.

"Baiklah, aku setuju. Lagipula, aku yakin kalau kau tidak mampu membuat Kea satu mobil apalagi satu ranjang denganmu," ucap Danish menyetujui taruhan itu.

"Kita lihat saja nanti." Seringaian sinis kini menghiasi wajah tampan Vian.

*****

"200 juta $," ujar Vian dengan tenang. Membuat puluhan pasang mata yang berada di dalam pesta itu melongo kaget.

Pria itu berhasil memenangkan gaun rancangan Dinarian yang kini dipakai oleh Kea dengan telak. Setelah sebelumnya beberapa penawar mulai menyebutkan angka nominal dan angka 90 juta $ merupakan angka tertingi. Vian dengan sekali sebut, langsung mengucapkan angka fantastis itu. Kini gaun itu dan juga Kea secara resmi menjadi milik Vian. Hanya untuk malam ini saja tentunya, itu pun hanya makan malam dan juga berdansa.

"Good night, Mademoiselle Keandra," sapa Vian.

"Good night, Monsieur Kalvian."

"Silahkan duduk," ujar Vian dengan sopan mempersilahkan perempuan bernama Kea itu untuk duduk. Setelahnya pria itu berjalan menuju kursinya sendiri.

Seorang pelayan datang membawakan jamuan yang sedari awal sudah dipesan oleh Vian. Dua maincourse dengan menu steak vegetarian dan juga satu botol anggur dengan merk mahal dan langka. Keduanyapun makan malam dengan suasana yang tenang, tanpa suara, menikmati hidangan yang sudah disiapkan sang koki di pesta malam ini.

"Sepertinnya kekayaanmu begitu besar hingga kau bermain-main dengan angka fantastis seperti tadi," ucap Kea untuk pertama kalinya setelah keheningan saat makan malam tadi.

"Begitulah." Vian mengangkat bahu tak acuh. "Kalau kau belum mengenalku, aku ini ad-"

"Kalvian Sakya Adhyasta. Aku mengenalmu, Tuan Vian. Boleh aku memanggilmu Vian saja?"

"Tentu saja, Kea."

Kea tersenyum saat mendengar Vian memanggil namanya. "Jadi apa?" tanyanya kemudian membuat Vian mengerutkan keningnya heran. Tidak mengerti dengan arah pertanyaan perempuan di hadapannya itu.

"Maksudmu?" tanya Vian dengan tenang. Kea tersenyum sinis saat menyadari bahwa pria di hadapannya itu bukanlah pria biasa.

"Taruhanmu dengan sahabatmu." Jawaban dari Kea sukses membuat Vian tersedak air liurnya sendiri. Namun dengan cepat pria itu menutupi kekagetannya dengan menampilkan wajah tenangnya.

Pria itu tersenyum miring sebelum menjawab pertanyaan Kea. "Sebuah pulau indah yang ada di Yunani," sahut Vian jujur. Menghadapai seseorang yang pintar seperti Kea harus butuh perhitungan yang matang.

"Waw. Hanya untuk makan malam dan berdansa denganku, kau bahkan meng-."

"Jangan salah paham, Nona Kea. Taruhan itu bukan untuk hal yang mudah seperti yang kau ucapkan barusan. Tapi untuk membawamu ke mobilku dan juga ranjangku." Lagi-lagi Vian menjawab jujur.

Kea tersentak kaget dengan jawaban dari Vian barusan. Namun dia berusaha untuk tidak terpengaruh dengan kalimat tersebut. Bersikap setenang mungkin. "Jadi kau akan mengajakku ke mobil dan juga ranjangmu?" tanya Kea lagi, tersenyum sinis sebelum mengambil gelas wine di hadapannya lalu menegak minuman itu sampai habis. "Dan kalau kau kalah?"

"Pulauku di Thailand akan jadi milik sahabatku," jawab Vian tenang.

"Taruhan yang sangat fantastis, tapi sayangnya aku sama sekali tidak tertarik dengan taruhan kalian. Tidak dengan pulau kalian atau bahkan dengan tubuhmu."

Ucapan sinis dari Kea sedikit memberi efek pada Vian. Namun lagi-lagi berhasil ditutupi dengan tampang dinginnya, juga sikap tenangnya. "Tidak tertarik bukan berarti tidak ingin," bisik Vian. "Aku akan membuatmu menginginkanku, Nona Kea dan itu berlangsung selama pesta ini berjalan, jadi nikmati saja keangkuhanmu saat ini,"cibir Vian lalu meneguk winenya.

Kea hanya mengangkat gelas winenya ke udara, lalu tersenyum ke arah Vian.

"Apa kau punya kekasih?" tanya Vian tiba-tiba.

Pria ini benar-benar tak terduga, semenit sebelumnya ngotot beradu argumen dengan Kea dan menit berikutnya dengan santai mengajaknya mengobrol, seolah-olah perdebatan tadi tidak pernah terjadi. Dari awal pertemuan hingga detik ini, Kea tidak pernah tau orang seperti apa Vian ini. Mencoba menebak-nebak dan memahami isi fikiran seorang Vian, namun pada akhirnya sifat Vian tetap tak pernah terdeteksi.

"Tidak ada. Aku tidak ingin punya kekasih atau lebih tepatnya ikatan yang membosankan seperti 'Relationship'," sahut Kea menjawab pertanyaan dari Vian. Perempuan itu sekarang bersikap kooperatif dengan sikap baik yang ditujukan oleh Vian.

"Kalau begitu kita satu pemikiran. Apa kau menutupi sikap tidak tertarikmu itu dengan memasang tampang dingin pada kaum adam?" lanjut Vian dengan pertanyaan yang lain.

"Hahaha." Kea tertawa anggun. "Bagaimana menurutmu? Apa aku ini perempuan yang dingin seperti yang orang-orang bilang?"

"Tidak, tapi kau sedikit angkuh. Aku jadi penasaran, apa yang membuatmu berkata kalau kau tidak tertarik padaku. Apa aku terliat begitu membosankan?"

"Ck, kau terdengar seperti pria yang memohon-mohon pada perempuan yang di cintainya. Aku tahu kalau itu bukan dirimu," cibir Kea menjawab pertanyaan lelucon dari Vian. Ya. Perempuan itu tahu kalau Vian sedang bercanda.

"Memangnya aku ini seperti apa? Di mata seorang Keandra Vi," tanya Vian menatap lekat mata biru gelap milik Kea, menilai apa jawaban dari perempuan tersebut walaupun sebenarnya dia sudah tahu apa jawaban dari pertanyaannya barusan.

"Kita ini jenis orang yang sama Vian. Apa yang aku fikirkan tentangmu akan sama dengan apa yang kau fikirkan tentangku? Benar, 'kan?" jawaban Kea membuat senyum tipis terbit di wajah tampan Vian.

"Jujur saja aku tertarik padamu, terlepas dari taruhan itu ada atau tidak. Aku ingin mendapat kepercayaan darimu, Kea dan untuk itu aku rela melepas pulauku dan rela mengalah pada taruhan pertamaku kali ini. Senang bertemu denganmu," sahut Vian pamit pada Kea.

"Kau sangat pintar berakting Vian, tapi jangan terlalu mamaksakan diri begini. Kau fikir aku ini perempuan bodoh yang percaya dengan kalimat bullsyit-mu itu. Adegan tarik ulur? Huh!" cibir Kea, perempuan itu rupanya tahu tentang rencana dari Vian.

Haish, ini memalukan!

Vian semakin merasa kalau perempuan bernama Kea ini sangatlah menarik.

"Tapi aku tidak bohong kalau aku bilang 'aku tertarik padamu'. Bagaimana kalau kita buat permainan ini menjadi semakin menarik? Satu ranjang bukan berarti kita harus bercinta, 'kan? Kau bisa mendapatkan pulau milik temanmu tanpa harus menjamah tubuhku," ujar Kea memberi penawaran. "Aku melakukan ini bukan karena aku ini perempuan virgin. Aku tidak munafik kalau aku bilang 'aku sudah tidak perawan lagi, tapi aku paling tidak suka One Night Stand dengan pria asing yang baru pertama kali aku temui."

"Lalu apa yang kau inginkan dariku?" tanya Vian, dia tahu kalau tawaran ini harus menguntungkan bagi kedua belah pihak.

"Aku ingin kita berpacaran, bukan, lebih tepatnya menjalin sebuah kommitmen. Karena aku mulai tertarik padamu, suatu saat aku pasti akan menginginkan tubuhmu juga. Kita tidak suka 'relationship' yang membosankan, jadi anggap saja ini 'simbiosis mutualisme'. Kau juga tertarik dengan tubuhku, 'kan?" ucap Kea penuh percaya diri. Tanpa menunggu waktu lama Vian pun mengikuti permainan Kea. Dia memang menginginkan Kea untuk memenuhi kebutuhannya.

Tawaran yang cukup bagus untuk dua orang yang tidak ingin terikat status, aturan, perasaan ataupun waktu. Mereka bisa melakukan skinship tanpa sebuah ikatan bodoh bernama 'pacaran'. Mereka tidak memerlukan aturan berpacaran seperti pasangan yang lain. Mereka tidak perlu melibatkan perasaan mereka. Dan yang paling penting, mereka bisa mengakhiri hubungan ini kapanpun yang mereka inginkan.

avataravatar
Next chapter