webnovel

Panggung Sandiwara

Sandra paling mengenal karakter ibu tirinya. Ibarat serigala licik yang menyamar sebagai domba, memanipulasi semua orang dengan senyum manisnya, menyembunyikan taringnya dengan berpura-pura menjadi sosok yang tidak berbahaya. Tidak akan ada seorangpun yang mengira wanita dengan senyum dan wajah selembut itu memiliki watak yang licik. Mungkin hanya Sandra satu-satunya yang tahu.

Baru saja kemarin, dengan air mata berlinang, Kalina meminta Sandra untuk merayu seorang pria tua yang merupakan seorang pebisnis kaya raya. Sandra tidak bisa menolaknya, karena jika begitu ia akan dipandang menjadi orang jahat yang tidak peduli dengan kepentingan keluarganya.

Namun kali ini, semua tidak berjalan sesuai rencana Kalina.

"Apa? Jadi beliau tidak pergi ke sana?", Kalina terkejut hingga cangkir yang dipegangnya terguncang dan menumpahkan cairan kopi panas ke pahanya. Ia memekik kesakitan: "Ah! Sudahlah lupakan! Kamu harus segera kembali kesini"

"Baiklah", Sandra mengangguk. Setelah telepon ditutup, ia menjauhkan piring yang ada di depannya.

"Aku harus mengurus sesuatu. Semua barang yang kamu pesan sudah ku beli dan ku letakkan di atas sofa", ujarnya dengan lesu menjelaskan sebentar sebelum ia keluar membawa tas.

Meskipun tak mengucapkan sepatah kata pun, Nico memandang kepergian Sandra dengan khawatir. Melihat dari raut mukanya ketika menerima telepon tadi, ia tahu bahwa gadis itu sedang dalam masalah. Hanya saja saat ini, Nico merasa tidak nyaman untuk mengambil tindakan. Dia menunggu saat yang tepat.

Setelah makan, Nico membawa pakaian barunya ke kamar mandi. Di bawah cahaya redup, ia melepas kemejanya, memperlihatkan dada yang lebar dan otot-otot tubuhnya. Air di pancuran mengalir dari atas kepalanya, jari-jarinya berlari melintasi tubuhnya, kepalanya menggeleng ringan, dan air memercik ke mana-mana.

........

Di kediaman keluarga Hartono...

Baru saja menginjakkan kaki ke dalam ruang tamu rumahnya, Sandra mendengar suara tangisan Kalina. Ah, panggung sandiwara dimulai lagi. Ibu tirinya itu sangat pandai dalam berpura-pura demi mendapatkan simpati semua orang. Ia bagaikan menyamar sebagai kelinci putih kecil yang lemah. Pada kenyataannya, dia adalah serigala besar yang jahat.

Sandra masuk ke dalam ruang keluarga, mendapati seluruh anggota keluarga Hartono tengah berada di sana. Ketika melihat kedatangan Sandra, Kalina setengah menyipitkan matanya dan melirik ke arah anak tirinya itu. Tangisannya berhenti dan raut wajahnya tiba-tiba berubah.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Dalam satu bulan, di mana kita bisa mendapatkan uang sebanyak itu?", isak Kalina.

Haris Hartono mengerutkan kening, dia menghela nafas panjang dengan frustasi. Sebagai presiden dari Hartono Group sekaligus kepala keluarga, dia merasa bersalah atas semua kesialan yang menimpa keluarganya.

"Bagaimana ini bisa terjadi? Perusahaan ini adalah kerja keras hidupmu, kamu harus mempertahankannya! ", Kalina menangis dengan penuh emosi.

Diana Hartono yang berdiri di samping Kalina terlihat lebih sedih dan meraih tangan ayahnya: "Ayah, biarkan aku pergi untuk berbicara dengan Presiden Atmaja Group. Lagi pula, adikku masih terlalu muda dan tidak bisa berbisnis. Jangan khawatir ayah, aku akan berusaha"

Haris Hartono memandang putri pertamanya dengan penuh kebanggaan.

Sandra mencibir. Ia benar-benar ingin bertepuk tangan menyaksikan drama yang hebat! Ibu dan anak ini sangat pandai berakting, bagaimana bisa semua ini seakan-akan menjadi kesalahannya? Konyol sekali!

"Semuanya, aku pulang", ujar Sandra memberi salam.

"Sandra anakku!"

Kalina segera menyeka air matanya, dan berlari untuk meraih tangan anak tirinya: "Tidak apa-apa kamu kembali tanpa hasil! Tidak apa-apa jika kamu gagal menemui Presiden Atmaja Group! Asalkan kamu kembali dengan selamat."

Sandra benar-benar ingin menyingkirkan tangan-tangan yang menjijikkan ini, tetapi dia tidak melakukannya. Sebaliknya, dia telah belajar banyak dari Kalina dan mulai mengasah kemampuannya dalam berpura-pura.

"Maaf, ayah, ibu. Aku gagal dalam menyelesaikan tugas. Aku anak yang tidak berguna dalam keluarga ini. Silahkan, pukul aku, marahi aku. Aku menerimanya"

Dengan suara keras, Sandra berlutut tepat di depan orang tuanya. Haris Hartono yang awalnya sangat marah, menjadi melunak setelah melihat putrinya berlutut dan menyalahkan diri sendiri. Selain itu, kejadian ini sendiri bukan kesalahan Sandra.

"Bangun cepat. Jangan salahkan dirimu sendiri", ujar sang kepala keluarga Hartono. Melihat suaminya menaruh simpati pada Sandra, Kalina mengambil inisiatif dan menarik tangan anak tirinya itu.

"Sandra, kita semua adalah keluarga, bagaimana kita bisa menyalahkanmu!", Kalina membantu Sandra berdiri dan mengajaknya duduk di sofa. Memperlakukannya dengan penuh kasih.

"Ayah jangan khawatir, aku berjuang demi keluarga ini. Aku yakin pasti akan ada jalan", Sandra memandang ayahnya dengan cemas, benar-benar tidak tega melihatnya terus bekerja keras sendirian.

Tidak bisa berkata apa-apa, Haris Hartono menghela napas dalam-dalam dan bergegas meninggalkan ruangan. Apabila benar ada jalan keluar, mengapa dirinya masih membiarkan keluarganya dalam keadaan terpuruk hingga saat ini?

Melihat kepergian ayahnya, Sandra merasa tidak ada gunanya ia tetap disini. Ia pun memutuskan untuk kembali ke apartemennya yang kecil.

"Ibu, aku akan kembali pulang"

"Kenapa terburu-buru? Jarang-jarang kamu pulang ke rumah ini. Setidaknya makanlah dulu sebelum pergi. Biar aku minta koki untuk memasak kepiting kesukaanmu", Kalina berusaha meraih tangan Sandra.

Gadis itu tahu bahwa ini semua adalah sandiwara. Jika ia lengah dan percaya dengan kata-kata manis Kalina, ia pasti akan menderita pada akhirnya.

"Maaf, masih ada banyak tugas yang harus ku kerjakan"

Sandra meraih tasnya dan bergegas meninggalkan rumah keluarga Hartono.

......

Setelah selesai mandi, Nico mengenakan piyama yang dibeli Sandra untuknya. Baru beberapa detik piyama itu melekat di tubuhnya, ia merasa begitu menyesal. Ada sedikit bau aneh pada pakaiannya, selain itu tekstur dari kain piyama ini sangat kasar. Meskipun modelnya sesuai dengan yang diharapkan, tetapi sepertinya ada yang salah. Dia yakin, barang-barang yang dibeli Sandra pasti barang palsu. Gadis itu pasti membelinya di toko barang imitasi!

Nico sangat tidak menyukainya dan bahkan ingin membakar pakaian itu. Tetapi ia masih mendengarkan akal sehatnya. Jika ia benar-benar membakar pakaian ini, maka ia tidak akan memiliki kain sehelai pun untuk menutupi tubuhnya.

Dia berusaha menahan amarahnya dan tetap mengenakan piyama imitasi itu meskipun merasa tidak nyaman. Ia kemudian mengambil ponselnya untuk menelepon Pak Bram dan menanyakan tentang situasi perusahaan.

Setelah selesai berbicara di telepon, Nico meletakkan ponselnya dan berjalan ke kamar mandi. Sepanjang jalan ia terus menggaruk sekujur tubuhnya. Mengapa dia merasa sangat gatal? Bukankah dia baru saja mandi?

Sesampainya di kamar mandi, ia menghadap ke arah cermin dan menurunkan celananya. Terlihat jelas bintik-bintik merah muncul di pahanya, tidak, bahkan hampir di sekujur tubuhnya. Raut mukanya berubah masam karena amarah yang tak terkira. Ia menggertakkan gigi dan terus menggaruk di tubuhnya. Semakin kukunya menggaruk bintik-bintik merah itu, tubuhnya menjadi semakin gatal. Merasa frustasi, Nico berteriak seperti sedang kerasukan.

"Astaga, dimana gadis itu membeli barang-barang murahan busuk ini?!"

Sementara itu dalam perjalanan pulang, Sandra melihat sebuah kafe di tepi jalan yang searah dengan lokasi rumahnya. Ia memutuskan untuk berhenti dan membeli kopi untuk bosnya. Siapa tahu, mungkin bosnya akan senang dan memberinya kenaikan gaji? Untuk uang, Sandra benar-benar rela melakukan apapun.

Setelah sampai di depan pintu rumah, Sandra yang membawa segelas kopi berusaha mengetuk pintu. Mendengar ketukan pintu, Nico segera berlari ke depan dan membukakan pintu. Ketika melihat bahwa itu adalah Sandra, tanpa basa-basi ia menarik lengan gadis itu dan menyeretnya ke dalam ruangan dengan kasar.

"Hei! Apa-apaan ini?! Kamu gila ya?"

......

Next chapter