Selama ini Kamilia tidak pernah tahu, siapa sebenarnya Hendra. Wanita itu hanya tahu, dia seorang pengusaha muda yang sukses. Uangnya banyak. Menjadi incaran para kupu-kupu di tempat Tante Melly.
Tidak terkecuali Calista. Sejak mengenal Hendra, sesungguhnya dirinya sudah jatuh cinta. Namun, dia malu untuk mengungkapkan. Tiba-tiba datanglah Kamilia yang merebut segala harapannya.
Kamila yang polos tidak tahu jika Calista berharap banyak kepada Hendra. Kamila setuju saja saat dirinya dijadikan gendak. Dirinya hanyalah seorang hina yang tidak boleh punya kehendak.
Setelah bertemu dengan Bagas, perlahan-lahan mata Kamilia terbuka. Ternyata selama ini dia tidak peduli siapa Hendra. Kini, dia ingin sekali tahu siapa sebenarnya Hendra.
"Sepertinya Bagas tahu sesuatu tentang Hendra," pikir Kamilia. "Setelah kembali ke Jakarta, aku harus mengorek keterangan dari Bagas."
Sementara itu, dari tempat duduknya Hendra melihat ombak. Seperti melihat sebuah film layar lebar. Dia menyaksikan dirinya tengah berada di suatu tempat.
****
Sejak pagi Hendra sudah standby di posisi yang sudah disepakati. Dia memperhatikan orang-orang dengan ciri-ciri yang dikatakan oleh Freza. Bersikap waspada karena bukan tidak mungkin dia termasuk target polisi.
Hendra melihat seseorang berjalan tergesa-gesa ke arahnya. Bersiap menerima barang. Pemuda itu beranjak dari duduknya, tapi tunggu ... ada keanehan tertangkap oleh mata Hendra yang sudah terlatih. Hendra seperti menangkap gerakan mencurigakan di belakang orang itu.
Kurir itu rupanya ada yang mengintai. Tak ingin dirinya ikut tertangkap, Hendra sengaja berpindah dari tempat yang dijanjikan. Dia memperhatikan dari kejauhan. Tampak sang Kurir celingukan mencari Hendra, tapi ia tak dapat menemukan sosok Hendra.
Saat kurir bersiap meninggalkan tempat. Pengintai yang dari tadi mengikutinya, tak mau kehilangan jejak. Mereka cepat bertindak meringkusnya. Tanpa perlawanan yang berarti, kurir itu dapat dilumpuhkan.
Dengan banyaknya bukti di tangan, kurir itu tak bisa mengelak lagi. Sementara Hendra. Demi melihat semua itu, cepat-cepat dia menyelinap dan kabur dari tempat tersebut.
Hendra bersyukur dapat lolos, kalau tidak, entah berapa tahun dia harus mendekam di balik jeruji besi. Hendra memperhatikan dari kejauhan. Kurir itu dibawa pakai mobil hitam. Hendra harus secepatnya memberikan laporan kepada Freza. Tugasnya kali ini gagal.
"Ah … Freza, mengapa kau tidak mau melepaskanku!" rutuk Hendra.
Niat Hendra untuk meninggalkan dunia yang sudah sejak lama digelutinya tidaklah mudah. Freza --bos besar narkoba, selalu menghadang jalannya. Ada saja alasan lelaki itu untuk membuat Hendra tak berdaya menolak perintahnya. Seperti hari ini, dia disuruh mengambil barang laknat itu di sini.
Suatu tempat yang rawan karena sudah menjadi incaran polisi. Polisi tahu, banyak transaksi ilegal yang dilakukan di sana. Maka dari itu mereka selalu mengawasi setiap gerak-gerik yang sekiranya mencurigakan. Hendra harus extra hati-hati, kalau tidak mau berakhir konyol mendekam di penjara.
Kini dirinya harus mempersembahkan kegagalan ini ke hadapan Freza. Entah kemarahan atau bukan yang akan diterimanya. Lelaki itu terlalu misterius bagi Hendra.
Mungkin saja Freza malah bersyukur dirinya tidak ikut tertangkap. Jikalau dia tertangkap Freza pasti akan terlibat juga.
Untungnya kurir yang tertangkap itu tidak tahu identitas diri Hendra. Ia belum sempat mengetahui sosok Hendra yang sebenarnya. Seandainya ia ngoceh di kantor polisi pun, kurir itu tidak dapat menyebutkan ciri-ciri fisik Hendra.
Bergegas Hendra memacu motornya menuju kediaman Freza. Secepatnya menghindari tempat itu. Apalagi tadi Freza sudah menelepon, menanyakan misinya kali ini. Tadi Hendra hanya bilang kalau dia belum bertemu dengan kurirnya.
Freza yang menunggu kabar dari Hendra, rupanya tak sabar juga ingin segera mendapatkan berita. Berhasil atau tidak.
Setelah sampai, segera Hendra menghadap Freza.
"Bos," sapa Hendra.
"Bagaimana? Kamu berhasil bertemu dengan kurirnya?" tanya Freza.
"Aku sempat melihat ia menuju ke arahku, tapi kulihat juga ada orang yang diam-diam menguntitnya. Cepat-cepat aku berpindah tempat, dan memperhatikan dari jauh, ternyata memang intel yang menyamar."
"Lalu?"
"Ia tertangkap, dengan barang masih padanya. Kalau saja aku tidak berpindah tempat, barang itu sudah di tanganku, dan aku ... end," kata Hendra sambil menggesek jarinya di lehernya.
"Kamu meninggalkan jejak atau tidak?"
"Maksudnya gimana, Bos?" tanya Hendra.
"Apakah dia sempat melihat kamu, dia tahu ciri-ciri kamu?"
"Tidak, dia tidak sempat melihatku, karena saat masih jauh aku sudah melihat gelagat tak baik. Petugas itu membuat kesalahan, sehingga kehadirannya dapat kuketahui walau sekilas," kata Hendra panjang lebar.
"Baguslah, tunggu kabar selanjutnya, sekarang kamu boleh pulang!"
"Bos, aku mau berhenti dari pekerjaan ini," kata Hendra memberanikan diri.
"Aku masih butuh tenagamu! Kamu pintar, bisa mengatasi masalah di luar, gak bisa ... kamu harus tetap bekerja!" Freza berkata keras.
Hendra mundur, tidak menjawab lagi. Dia pergi dari hadapan Freza. Sesaat Hendra melihat jam di tangannya. Masih ada kesempatan untuk pergi ke tempat hiburan.
Hendra memacu motornya menuju rumah bordil Tante Melly. Hendra ingin memberi kejutan manis untuk seseorang di sana. Mampirlah dia di minimarket, dibelinya sebatang coklat. Jiwa romantisnya tiba-tiba muncul saat itu. Dia pun merasa heran dengan perubahan dirinya, biasanya tak pernah tertarik dengan yang namanya wanita. Kemarin dia melihat seseorang yang membuat hatinya bergetar.
Sebagai anak buah kesayangan Freza, uang tentu bukanlah masalah. Uang haram, maka habisnya di tempat haram pula. Namun, Hendra selalu menyembunyikannya identitasnya.
Gadis itu duduk di sudut, dengan senyuman getir karena luka di hatinya. Ia menarik perhatian Hendra sejak kemarin. Belum sempat dia berkenalan, Calista sudah menghadangnya di pintu. Kali ini dia akan menyingkirkan wanita itu --Calista seandainya menyambut kedatangannya.
Beruntung Calista tidak ada. Hendra merasa leluasa mendekati. Gadis itu tersenyum kepada Hendra. Sebatang coklat telah berhasil membuat senyuman gadis itu menjadi lebih lebar.
Hendra tertawa kecil saat mengingat semua itu. Masih teringat olehnya dia mengulurkan tangannya menyebutkan namanya.
"Hendra." Sebuah bisikan lembut terdengar di telinganya. Menyusul sebuah kecupan manis mampir di keningnya.
Sesosok wanita cantik memeluk pundaknya dari belakang. Aroma chamomile masih tercium lembut harumnya. Hendra hafal sekali dengan aroma ini.
"Kamilia. Kau memang selalu punya kejutan manis untukku," ujar Hendra. Lelaki itu sedikit terkejut dengan kedatangan Kamilia.
Kamilia duduk di pangkuan Hendra. Kecantikannya semakin bersinar diterpa mentari pagi. Gadis itu mengalungkan tangannya ke leher Hendra.
Dari balik kacamata hitamnya, sekelebat terlihat oleh Hendra, Calista. Gadis itu rupanya mengamati dari kejauhan. Beruntung dia tidak mendekatinya saat sedang sendirian. Pasti gadis itu akan sangat marah, melihatnya bermesraan dengan Kamilia.
Entah apa yang ada dalam pikiran Hendra. Sudah sangat jelas dia mencintai Kamilia. Namun, dirinya masih saja berselingkuh dengan Calista.
Kamilia membuka kacamata Hendra. Dia tahu sudut mata Hendra melirik ke lain arah. Saat tadi Kamilia ikut melihat, terlihat seorang wanita berjalan menjauh.
"Benarkah kau mencintaiku?" tanya Kamilia.
"Jawabannya ada di hatimu, Sayang."
"Kalau cinta, mengapa hatimu kau bagi?"