Hendra menghentikan tawanya. Dia menatap serius muka Kamilia. Kamilia bergeming, mukanya menunjukkan kebulatan hatinya.
"Mengapa?" tanya Hendra. "Aku pikir kau adalah penganut kebebasan, Mila. Kau tahu, kewajiban apa yang harus kau lakukan, bila menjadi seorang istri?"
"Aku tahu." Kamilia menjawab singkat. "Aku juga tahu, kewajibanku untuk melabrak Calista. Begitu juga pengganggu-pengganggu lainya," terusnya dalam hati.
Hendra mengangkat bahu. Kamilia menganggap Hendra tidak peduli. Wanita itu berusaha mendesak Hendra. Namun, lelaki itu malah mencumbunya.
"Kita pikirkan nanti, oke!"
Akhirnya Kamilia mengalah. Pikirnya, seandainya dia tetap memaksa, Hendra pasti akan marah. Kamilia tahu sifat Hendra, kalau hasratnya tidak kesampaian maka dia akan meradang. Kamilia menjadi pelampiasan Hendra setiap malam, tanpa jeda, kecuali saat datang bulan.
Rasa kecewa yang tidak tercerna sempurna membuat Kamilia tidak sehangat biasanya. Namun, Hendra tidak peduli. Tangannya sibuk menjejalkan rasa nyaman buat dirinya sendiri. Muka Kamilia yang merajuk, menambah nafsunya berlipat ganda.
Hendra menghabiskan setidaknya dua kali pertempuran. Usianya yang masih muda terkadang membuat Kamilia kepayahan. Wanita itu harus selalu punya ekstra tenaga, untuk mengalahkan Hendra di ranjang.
Tadinya Kamilia tidak mempunyai pikiran apa pun. Dia merasa dirinya sangat aman berada di pelukan Hendra. Namun, Bagas sudah membuka mata hatinya. Ada begitu banyak pecundang yang mengincar kedudukannya . Kamilia merasa terancam, posisinya kini tidaklah amerta.
Tubuh molek itu beringsut. Suara dengkuran Hendra mengisyaratkan lelaki itu puas. Kamilia memandang raut muka di hadapannya kini. Baru kali ini dia memperhatikan Hendra dengan begitu seksama. Wajah tampan itu kini menggetarkan hatinya. Memaksa darahnya mengisi ruas-ruas syarafnya. Melahirkan satu gejolak baru yang maha dahsyat. Kamilia duduk, berusaha menekan hasratnya.
Sebatang rokok putih menemaninya duduk di teras rumah. Secangkir kopi panas menghangatkan badannya. Tubuhnya hanya terbungkus jubah tipis berwarna ungu. Kamilia mempermainkan asap putih yang susul menyusul. Membentuk lorong-lorong, semisteri hidupnya.
Kamilia bangkit saat mendengar Hendra memanggilnya. Cepat-cepat Kamilia masuk kamar. Rupanya Hendra mengigau.
"Jangan pergi Mila … Calista hanya untuk membuatmu cemburu."
"Ooh, jadi itu yang sebenarnya terjadi," batin Kamilia. Bibirnya membentuk lengkung sempurna yang menambah kecantikannya.
****
Bau khas pantai menyergap hidung Kamilia yang berjalan di sisi Hendra. Kacamata hitam dan topi lebarnya, sedikit menahan angin yang mencoba menamparnya. Kamilia selalu suka dengan wangi sedikit amis ganggang laut. Kakinya yang telanjang melesak ke dalam pasir lembut. Sesekali ditendangnya ombak yang menjilati kakinya.
Bagas memperhatikan mereka dari kejauhan. Ada rasa iri dalam hatinya. Dirinya gagal mempertahankan gadisnya --Calista. Tangannya terkepal geram. Ingin sekali dia melayangkannya, kepada lelaki di samping Kamilia tersebut.
"Kau tidak tahu kelicikannya, Kamilia," desis Bagas.
Pemotretan berlanjut kembali setelah matahari condong ke barat. Siluet swastamita jatuh ke wajah indah itu. Kali ini, wanita itu cukup duduk dan berbaring manja di kursi pantai. Pose cantik yang membuat lembaran rupiah semakin memenuhi dompetnya. Tentu saja, sebagai manager pundi-pundi Hendra semakin membengkak.
"Angkat sedikit dagunya, Mila! renggangkan kakinya … gigit gagang kacamatanya itu … Ok good. Sekarang kacamatanya pakai … mainkan ujung rambutmu … very nice. Oke, well done." Teriakan pengarah gaya mengakhiri pekerjaan Kamilia hari ini.
Kamilia melirik Bagas yang sedang mengemasi peralatannya. Lelaki itu terlihat tampan sekali dengan suasana remang-remang pantai. Sesaat Kamilia berdesir darahnya. Teringat saat raganya dijamah lelaki itu. Kamila memalingkan muka sebelum khayalannya kian melanglang. Dia malu jika merindukan saat-saat itu lagi.
Kamilia masih duduk di kursinya. Dia meluruskan kakinya, memandang matahari terbenam. Hendra sejak tadi belum pulang juga. Entah kemana dia, tadi bilang mau melihat-lihat kota Bali. Matahari kian tenggelam, meninggalkan jejak hitam di sekelilingnya.
Kamilia bergegas kembali ke hotel. Kulitnya terasa lengket karena angin laut. Dia ingin memanjakan diri dengan berendam di bathtub. Wangi bunga chamomile membelai tubuhnya. Perlahan-lahan dia menggosok badannya. Kotoran di badannya rontok dan luruh bersama busa harum itu.
Seandainya seluruh dosa-dosanya bisa hanyut terbawa air. Kamilia akan menggosok seluruh badannya kuat-kuat, sehingga dosanya tersebut rontok dan lenyap. Kamilia memperhatikan badannya yang kini bening. Sering dia tidak percaya saat berkaca di cermin. Dulu kulit seperti ini, hanya dia tonton di televisi dan majalah. Milik para artis dan model. Kini, wajahnya yang menghiasi majalah tersebut.
****
"Kamu senang, Sayang?" tanya Hendra kepada gadis di sampingnya.
"Ya, sudah lama aku memimpikan tempat ini," jawab gadis itu.
Hendra duduk di pantai Jimbaran. Menikmati aroma senja yang bersinar jingga. Gadis di sampingnya menggelendot manja. Ia menyandarkan kepalanya ke bahu Hendra. Kedua tangannya memeluk tangan kekar Hendra.
"Kau tinggalkan di mana wanita bodoh itu?" tanya gadis itu.
"Dia sedang bekerja di Pantai Kuta. Sengaja aku tinggalkan saat dia sedang sibuk," jawab Hendra. Lelaki itu menyentuh tangan gadis tersebut.
"Apakah dia tahu hubungan kita," tanya gadis itu lagi.
"Ya, dia tahu. Aku berhasil mengelabuinya dengan berpura-pura mengigau. Aku bilang hanya mencintainya," jawab
"Hihihi, jadikan dia sapi perah kita!"
"Tentu, Calista … tentu!"
Rupanya Calista penasaran dengan reaksi Kamilia. Saat wanita itu tahu hubungannya dengan Hendra. Dia ingin membalas dendam terhadap wanita itu. Berani sekali merebut Hendra dari dekapannya. Walaupun sesungguhnya dalam hatinya menyadari, Kamilia tidak sejahat itu. Hanya waktu yang terlambat menyatakan jika sebenarnya Calista mencintai Hendra juga.
"Sekarang aku seperti mendapatkan mesin ATM. Luar biasa! Hahaha hahaha!" sambung Hendra sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendengar tawa yang begitu keras, Bagas menoleh ke asal suara. Jarak Pantai Kuta yang tidak begitu jauh, membuat Bagas kini duduk bersantai di Pantai Jimbaran. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita di samping si pemilik tawa.
"Perempuan jalang itu berada di sini? Lelaki licik itu ternyata membawanya serta," desis Bagas.
Tanpa menunggu waktu lagi, Bagas mengambil beberapa foto. Mengirimkannya kepada seseorang. Tidak lupa, dia juga mengirim lokasi di mana kini berada.
Kamilia sudah menyelesaikan mandinya. Kini dia duduk sambil memperhatikan wajahnya di cermin. Sedikit riasan tipis membuatnya tampak semakin segar. Dia berniat mencari makan di sekitar pantai. Menikmati malam sambil menunggu Hendra datang.
Suara handphone menghentikan tangannya yang sedang menyapukan blush-on ke pipinya. Dia meraihnya.
"Cepat sekali Bagas mengirim hasil pemotretan tadi, apakah dia tidak mengeditnya dulu?" Kamilia heran dalam hatinya. Segera wanita itu membuka foto-foto yang dikirimkan Bagas.
"Lho … ini … foto … foto … Calista dengan Hendra." Kamilia bergumam sambil menggeser-geser layar HP. Seketika ulat-ulat cemburu itu menggeliat lagi. Bahkan kini seperti menggigit ulu hatinya. Membuatnya mual ingin muntah.
Bagas menulis lagi di aplikasi pesan : Apakah kamu mau ke sini?
Kamilia bingung menentukan sikap. Ulat-ulat itu semakin hebat menggeliat. Mengoyak naluri dan akal sehatnya.
"Haruskah aku mendamprat manusia-manusia penghianat itu sekarang? Atau hilang kesempatanku?" Bolak-balik Kamilia berpikir. Ingin sekali dia menangkap basah Hendra dan Calista.