webnovel

With Him

Udah, gak usah salting gitu. Ayo!'' ucap Rivay cengengesan sambil berdiri. 

Fayra segera mendongakkan kepalanya menatap Rivay. "Heh? Ayo ke mana?" tanya Fayra bingung.

"Menurut lo?" tanya Rivay balik. Fayra menggelengkan kepalanya. "Duh, sebegitu besarnyakah efek perkataan gue tadi sampai lo mendadak linglung begini? Udah ah ayo berdiri. Mau pulang gak?''

Fayra menyadari kebodohannya tadi dan merutuki dirinya sendiri. Ia segera mengomel gak jelas untuk Rivay. "Salting apaan coba? Dasar elonya aja tuh yang ke-GR-an. Siapa coba yang gak bingung kalau ngomongnya separuh-paruh gitu. Dasar aneh," omel Fayra dengan suara yang cukup kecil, tapi masih cukup kedengaran oleh Rivay yang berjalan di depannya.

"Ayo naik!'' ajak Rivay kepada Fayra setelah mereka sampai di samping motornya.

"Gak mau. Gue pulang sendiri aja," tolak Fayra halus.

"Yakin?" tanya Rivay sambil mengangkat sebelah alisnya.

"Iya lah. Udah sana lo pulang.''

"Nanti kalau bus nya lama dateng gimana?''

"Biarin."

"Kalau misalnya orang-orang yang berantem sama gue tadi balik lagi ke sini, gimana?" tanya Rivay terus.

"Apa hubungannya sama gue?" tanya Fayra sewot.

"Mereka nanti liat kalau lo satu sekolah sama gue, terus kalau mereka niat buat ngecelakain lo, gimana?" Rivay belum nyerah, ia terus melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang membuat Fayra berpikir dua kali sebelum menjawab.

Fayra tiba-tiba merasa ngeri juga. Benar juga kata Rivay. Dua orang yang tadi berantem sama Rivay serem juga. Kalau dia disandera sebagai pancingan agar Rivay mau keluar ngadepin mereka gimana dong? Akhirnya Fayra memutuskan untuk pulang bersama Rivay.

"Ya udah, ayo jalan!" seru Fayra setelah naik ke atas motor cowok tinggi itu.

"Tadi katanya gak mau,'' kata Rivay sambil memasang helmnya. Tanpa Fayra sadari, Rivay tersenyum penuh kemenangan di balik helm tersebut.

"Bawel deh."

"Pegangan ya." Rivay mulai men-starter motornya.

''Motor lo ini gak ada pegangannya tau! Mau pegangan di mana coba?"

"Di pinggang gue lah," jawab Rivay asal.

"Dih ogah. Udah ah jalan," ucap Fayra sambil memegang tas Rivay erat.

Rivay terkekeh sebentar lalu menjalankan motornya membelah jalanan kota ini.

Rivay memarkir motornya di dekat sebuah danau di kota ini. Fayra yang merasa bingung kenapa ia di bawa kesini segera berkata, "Lo mau culik gue ya? Rumah gue bukan di sini. Tadi kan sudah gue kasih tau alamatnya.''

"Kalau pun gue mau culik lo, pasti gue bakal bawa lo ke tempat sepi, bukan tempat ramai kayak gini.''

Fayra segera melihat sekitarnya. Benar juga kata Rivay. Tempat ini cukup ramai, wajar saja, sekarang hari Sabtu dan sudah pukul empat sore. Terdapat beberapa orang sepertinya sedang olahraga berlari-lari kecil di sekitar danau ini. Ada juga yang sedang duduk santai di kursi-kursi yang disediakan. Ada juga yang sedang berjajan di sekitar penjual makanan di sekitas sini. Cuacanya juga mendukung banget. Teduh.

"Ya terus ngapain lo bawa gue ke sini?" tanya Fayra.

"Sebagai ucapan terima kasih karena lo udah ngobatin luka gue tadi.'' Rivay duduk di salah satu bangku panjang di dekatnya.

Fayra mendelik ke arah Rivay, "Gue ikhlas kok nolongin lo tadi. Gue mau pulang, udah sore, Riv."

"Bentar Fay, duduk dulu sini," Rivay menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Fayra dengan terpaksa menuruti permintaann cowok itu.

"Diam bentar, Fay. Tetap duduk di samping gue, jangan ke mana-mana," ucap Rivay memohon dengan suara sendunya. Berbeda sekali dengan Rivay yang biasanya.

Fayra akhirnya pasrah saja. Ia mengamati wajah Rivay yang sedang memejamkan matanya bersandar di kursi ini. Rivay sesekali menarik dan mengembuskan napasnya keras. Seolah-olah mencari oksigen sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya. Fayra bertanya-tanya dalam hati apa yang sekarang sedang dipikirkan Rivay. Wajahnya serius sekali. Fayra terus mengamati wajah cowok itu sampai bunyi perutnya membuat Rivay membuka matanya.

"Suara apaan tuh?" tanya Rivay yang jelas-jelas sudah tahu kalu bunyi tersebut dari perut Fayra, tanda lapar. Rivay menegapkan posisi duduknya dan menatap orang di sampingnya dengan geli.

"Gak tau," jawab Fayra bohong. Ya malu dong, lagi duduk diam gini tiba-tiba suara perut yang keroncongan lapar berbunyi.

"Lapar ya?"

"Nggak," lalu setelah Fayra berkata seperti itu, perutnya kembali berbunyi. Fayra menunduk malu.

Rivay tersneyum geli dan menatap Fayra gemas. Orang ini selalu saja bisa membuat mood-nya seketika berubah. "Yakin gak laper?"

"Ya enggak lah. Gue laper tau. Dari pulang sekolah gue belum makan apa-apa. Eh udah dibawa aja sama lo ke sini. Mending kalau ke sini duduk-duduknya sambil makan, eh malah cuma liatin danau aja. Mana kenyang lah gue," omel Fayra kesal. Masa bodo deh dengan malu tadi.

Rivay menggaruk tengkuknya yang jelas tak gatal, "Hehe maaf deh, ya udah, yuk makan!" Lalu Rivay beranjak berdiri dan menunggu Fayra untuk mengikutinya.

"Dari tadi kek," Fayra pun juga beranjak berdiri dan berjalan duluan tanpa mengindahkan Rivay yang menunggunya tadi. Mereka berdua kembali naik ke atas motor Rivay. Tidak jauh dari taman ini, memang ada restoran, mereka pun menuju ke sana.

***

"Saya mau pesen ayam panggang, capcai, udang saus tiram. Terus minumnya jus strawberry, sama orange juice ya mbak," ucap Fayra kepada waitress yang sedang mencatat menu pesanan mereka.

"Itu untuk kita berdua, Fay?" tanya Rivay setelah Fayra menyebutkan pesanannya.

"Ya enggak lah. Itu semua buat gue sendirian. Lo pesen yang lain," jawab Fayra acuh tak acuh.

Rivay menggeleng-gelengkan kepalanya geli. "Saya pesan nasi rendang aja, Mbak. Minumnya es teh manis."

"Ternyata penampilan itu menipu ya," ucap Rivay setelah waitress tersebut pergi.

"Maksud?"

"Ya elo. Badan kecil tapi makannya banyak. Ckckck."

"Thanks. Gue anggap itu sebagai pujian." Fayra sibuk mengotak-atik ponselnya. Tak menyadari Rivay yang menatap memuja ke arahnya.

Tak lama kemudian, waitress pun datang membawa pesanan mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, Rivay dan Fayra mulai makan. Fayra makan dengan lahap.

"Laper bener kayaknya."

"He'em," jawab Fayra di sela-sela kunyahannya.

Rivay makan dengan pelan. Ia sengaja melakukannya agar bisa sambil memandangi Fayra yang berada tepat di hadapannya ini. Cewek ini benar-benar gak ada jaim-jaimnya di depan dia.

Fayra yang merasa sedang dipandangi, menoleh ke Rivay, "Kenapa?"

"Ada nasi di dagu lo."

Fayra segera meraba dagunya, membuktikan apa benar ucapan Rivay. "Bohong ih, gak ada apa-apa juga."

"Emang," jawab Rivay yang kembali melanjutkan makannya.

Fayra menatap orang di depannya ini dnegan pandnagan sebal. "Nyebelin."

"Makasih."

Fayra mendegus. Ganteng sih ganteng, tapi suka bikin orang naik darah dan juga... jantungan. Astaga. Fayra segera menepis pikiran-piran itu dan memilih melanjutkan makannya dengan tenang.

***

Keesokannya di kantin, Fayra berkumpul lagi bersama sahabat-sahabatnya. Hari ini Regan gak kelihatan ada di lapangan, dan juga Rivay tidak mengikutinya. Cowok itu ada kegiatan lain, kepedasan lantaran memasukkan terlalu banyak cabe ke mangkuk baksonya, sementara di depannya juga ada yang entah apa Fayra tidak tahu. Di sampingnya seperti biasa ada Chesta yang sedang Dira dan Sisil.

"Elo sekarang jadi makin dekat ya sama si Rivay," ucap Sisil sambil menaik turunkan alisnya pada Fayra.

"Nggak tuh, biasa aja," jawab Fayra sambil terus menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. Sesekali juga ia ikut mencomot bakso yang ada di mangkuk Chesta, membuat tangannya didepak oleh si yang punya makanan.

"Satu sekolahan juga tau kali Fay si Rivay suka sama lo," ucap Sisil lagi kembali menggoda Fayra.

"Ya jelas tau lah, toh Rivay terang-terangan bilangnya waktu itu," Chesta ikut menimpali.

"Bisa gak, gak usah bahas itu lagi?" tanya Fayra yang mulai jengah. Bahaimana pun, tujuan awalnya masih seperti semula, yaitu Regan. Meskipun ada Rivay yang mendekat, ia akan berusaha untuk tidak terpengatuh.

Chesta dan Sisil kompak menggeleng, sementara Dira hanya diam saja mengamati.

Fayra berdecak melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

"Oh iya, bagi fotonya dong," pinta Sisil tiba-tiba sambil tersenyum lebar.

"Foto buat apaan?"

"Ya buat gue masukin ke dalam album foto list cogan. Lo nanya kayak gak tau aja, Fay," cibir Sisil.

"Mana ada gue fotonya, Tapi kalo lo minta foto Kak Regan, gue ada banyak," jawab Fayra sambil nyengir.

"Ye itu mah gak usah ditanyain lagi. Udah bosen gue lihat Kak Regan. Kan ada yang baru."

"Gue gak ada fotonya, lagian buat apa coba. Oh ya, daripada lo minta foto Rivay buat dimasukin ke album itu, mending lo minta foto si Digo lo itu." Kali ini, giliran Fayra yang menggoda sahabatnya itu. Fayra tau banget kalau membahas si Digo, Sisil jadi sebal.

"Namanya Diga, bukan Digo," ucap Sisil dengan nada tak bersahabat. Tuh kan, benar. Kalu bahas si Diga yang namanya mereka plesetin jadi Digo, Sisil jadi diam.

"Beda tipis lah, Sil," celetuk Chesta yang dihadiahi tatapan tajam oleh Sisil. "Kan namanya Digantara, ya bisalah jadi Digo kalo sama lo. Kan cocok tuh Digo dan Sisil," sambung Chesta lagi sambil nyengir tak berdosa.

Setelah itu, Fayra mengacungkan jempolnya pada Chesta, mendukung argument tersebut. Mereka jelas tau kalau Sisil itu gak suka kalau ada yang jodoh-jodohin mereka lantaran nama mereka berdua kayak tokoh film yang sempat naik daun waktu itu. Kalau dibandingin sama tokoh yang asli, beh beda jauh. Sisil sama Digo, eh Diga maksudnya, gak ada so sweet so sweet-nya. Yang ada tiap kali ketemu, bawaaanya mau bernatem mulu.

Sisil itu benci sama Diga, soalnya tuh cowok suka gara-gara sama dia. Mereka memang sering terlibat cekcok cuma karena maslah sepele, bahkan tak jarang koridor sekolah menjadi tempat bagi mereka untuk berdebat. Keduanya smaa-sama keras, baik Diga maupun Sisil nggak ada yang mau mengalah. Padahal bisa dibilang si Diga ini tampangnya lumayan, tapi Sisil yang biasanya suka banget lihat cogan, jadi kebal sama si Diga ini. Dan hal ini jelas bisa digunakan Fayra sebagai serangan balik jika Sisil menggodanya dengan Rivay.