webnovel

Again and Again

Muka bersih, check.

    Baju sama celana rapi, check.

    Bau wangi, check.

    Napas harum, check.

    Fayra mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Sebentar lagi Regan akan datang ke rumahnya untuk membantunya mengerjakan pr fisika beserta memberikan beberapa penjelasan tentang materi yang nanti akan Fayra tanyakan. Ia duduk di atas kasur sambil memeluk gulingnya. "Aaaaa bentar lagi Kak Regan dateng. Iiiihhhh gregetaaaann."

    Fayra memeluk erat gulingnya. Kakinya ia goyangkan ke kanan kiri. "Caroliine, gebetan gue mau datang ini…."

    Caroline menggerak-gerakkan kupingnya. Ia melompat-lompat menghampiri Fayra. Dengan sigap Fayra menangkapnya dan mengelus-elus kepala kelincinyya itu.

    "Fay, ada temen kamu di bawah," ucap Tante Rena setelah masuk ke kamar Fayra yang memang terbuka separuh.

    "Siapa, Bun?" tanya Fayra antusias.

    "Cowok. Cakep lho, Fay. Siapa? Pacarnya ya?" tanya Tante Rena sambil tersenyum penuh arti.

    "Bukan pacar, Bun," jawab Fayra malu-malu kucing sambil memeluk erat Caroline.

    Tante Rena menangkap gelagat aneh dari putrinya ini. "Wah anak Bunda udah gede."

    "Iya lah, Bunda. Udah SMA ini. Udah ya Fayra ke bawah dulu, Bun. Kak Regan ke sini mau bantuin Fayra memahami materi." Fayra bergegas mengambil buku-buku fisika yang sedari tadi telah disiapkannya. Ia lalu berjalan girang keluar kamarnya.

    "Hai, Kak," sapa Fayra ramah. Regan yang sedang memainkan ponselnya mendongakkan kepala dan segera menyimpan ponselnya setelah tahu Fayra yang menyapanya.

    "Hei," sapa Regan ramah.

    Fayra duduk di samping Regan. "Fayra buatin minum dulu ya, Kak. Oh iya ini pr yang menurut Fayra susah itu. Kakak baca-baca dulu bentar ya." Fayra menunjukkan buku pr-nya lalu segera beranjak ke dapur setelah mendapat anggukan dari Regan.

    Tak berapa lama kemudian, Fayra kembali sambil membawa dua gelas sirup dan sepiring brownies. "Minum dulu, Kak. Oh iya, browniesnya Fayra sendiri lho yang buat."

    "Oh ya? Lo bisa masak?

    Fayra mengerucutkan bibirnya. "Ya bisa dong. Dicicipin gih, yakin pasti rasanya enak."

    Regan mengambil sepotong brownies tersebut. Ia mengunyahnya perlahan sambil sok mikir.

    Fayra harap-harap cemas menunggu reaksi dari Regan. Semalam ia memang sengaja membuat brownies khusus buat cowok ini.

    "Hm not bad lah," ucap Regan akhirnya.

    Fayra makin mengerucutkan bibirnya.

    "Haha enggak kok. Enak rasanya," ucap Regan sambil tetawa kecil. Ia lalu mengambil sepotong lagi.

    Mata Fayra berbinar-binar. "Beneran, Kak?"

    "Iya," jawab Regan sambil mengunyah.

    "Ya udah abisin ya."

    "Wah segini mah kurang," candanya.

    Fayra tertawa girang mendengarnya. Setelah bercanda ria sebentar, mereka pun mulai fokus belajar. Fayra gak berhenti-henti mengamati muka Regan yang tengah serius menjelaskan materi padanya. Saat Regan melihatnya pun, Fayra gak memalingkan penglihatannya.

    "Fay," Regan melambai-lambaikan tangannya di depan muka wajahnya.

    "Fayra…."

    Fayra tersadar dari lamunannya. Ia barusan kepergok mengamati Regan tanpa berkedip! Fayra buru-buru membenarkan posisi tanagnnya yang sedari tadi menopang kepalanya menghadap Regan.

    "Ngelamuni apa?" tanya Regan sambil tersenyum maklum.

    "Kakak." Ups. Sengaja. Fayra nyengir lebar setelahnya.

    Regan tersenyum manis, "Jangan sering-sering ngelamuni gue. Entar kesambet lagi."

    "Kesambet cintanya Kak Regan juga gak apa-apa. Ikhlas kok," gumam Fayra pelan yang kembali fokus ke buku di hadapannya ini.

Bel masuk istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Koridor sekolah sudah sepi karena para murid sudah masuk kembali ke kelas mereka masing-masing. Hanya tinggal Fayra seorang yang berjalan di koridor sekolah tersebut. Ia berjalan agak tergesa-gesa dengan kedua tangan membawa tiga puluh dua buku tulis teman-teman kelasnya.

    Tadi saat akan menaiki tangga lantai dua, Fayra dan Chesta yang habis dari kantin, ketemu Bu Yunda yang meminta tolong mereka untuk membawa buku latihan mereka ke kelas. Fayra dan Chesta pun mengambil buku-buku tersebut. Saat sampai di pintu ruang guru, Chesta tiba-tiba kebelet pengen ke toilet. Ya jadilah sekarang Fayra sendiri yang membawa buku-buku tersebut.

    "Ke mana para makhluk laki-laki saat perempuan yang lemah ini membutuhkan bantuan mereka," ucap Fayra kesal.

    "Biar gue aja yang bawa," ucap seseorang yang langsung menghentikan langkah Fayra.

    Fayra menatap bingung ke hadapannya. Rivay tadi ingin meraih buku-buku yang dibawa Fayra, tapi cepat-cepat ditepis oleh Regan. Di hadapannya sekarang berdiri Rivay dan Regan yang berebut buku-buku yang sedang Fayra pegang.

    "Gue aja!" ucap Regan tak mau kalah.

    Hah? Kak Regan mau bantuin gue bawa buku-buku ini? Demi apa? Aaaaa seneng, girang Fayra dalam hati.

    "Gue aja. Sana lo masuk kelas aja. Kan gue yang satu kelas sama Fayra." Rivay merebut buku-buku yang hampir berpindah tangan ke Regan.

    'Rivay datangnya gak tepat banget sih,' dumel Fayra dalam hati. Fayra kesal dong, seharusnya sekarang kan ia bisa berdua aja membawa buku-buku ini. Kesannya kan jadi gimanaaa gitu….

    "Ap–"

    "Stop!" ucap Fayra memotong ucapan Regan. Rivay dan Regan berhenti saling menatap tajam dan menghentikan aktivitas rebutan mereka.

    "Kalo kalian pada rebutan gak jelas gini, kapan buku-buku ini nyampe kelas?"

    "Sini gue aja yang bawa, Fay." Rivay berusaha mengambil alih semua buku itu.

    "Gue aja." Regan menepis tangan Rivay.

     "Ekhem!" deham Fayra keras yang langsung membuat Rivay dan Regan berhenti, lagi. "Gini aja deh, kalian bagi dua aja semua buku ini. Jadi gue gak keberatan lagi. Nih lo ambil separuh, dan Kak Regan bawa separuhnya lagi."

    Rivay dengan cepat mengambil separuh buku-buku itu yang lalu diikuti Regan.

    'Maunya sih Kak Regan aja yang bawain, tapi gue kan juga gak enak sama Rivay kalo nolak bantuannya,' batin Fayra.

    "Kan gini enak. Pegel tangan gue. Yuk ke kelas!" Fayra berjalan girang menuju kelasnya. Sementara Rivay dan Regan saling menatap tajam di samping Fayra.

    Sepulang sekolah, Fayra ada rapat organisasi PMR (Palang Merah Remaja) dadakan. Ia jadi tidak bisa pulang ke rumah seperti biasanya. Untungnya, Fayra sempat menelepon Tante Rena bahwa ia akan pulang terlambat sehingga orang rumah tak perlu khawatir. Satu setengah jam kemudian, rapat selesai. Mereka membahas acara lomba yang akan mereka ikuti di SMA lain. Fayra tidak mengikuti lomba tersebut, ia hanya bekerja di balik layar saja.

    Fayra berjalam lemas ke luar gedung sekolah. Ia berjalan pelan ke halte bus yang terletak beberapa puluh meter dari sekolahnya. Ia rencananya akan pulang naik bus saja. Tadi pagi, saaat Fayra akan menaiki motornya untuk berangkat sekolah, Fayra baru menyadari kalau bensin motornya sudah sekarat. Chesta sudah pulang dari tadi, sedang Dira dan Sisil udah pulang juga dari tadi untuk mengerjakan tugas kelompok mereka. Jadilah sekarang ia pulang sendiri.

    Setelah hampir sampai di halte, Fayra melihat tiga orang siswa sepertinya sedang berkelahi. Satu lawan dua. Ia menghentikan langkahnya dan menatap penasaran kejadian tersebut. Sepertinya ia kenal dengan salah satu dari tiga orang tersebut. Orang tersebut sedang meninju lawannya, sedang yang satunya lagi sudah tergeletak di tanah. Sepertinya Fayra datang terlambat, karena kedua orang tersebut segera berdiri menaiki motor mereka meninggalkan lawannya sendiri.

    Selama ketiga orang itu sibuk berkelahi, Fayra berdiam di tempatnya. Bisa dibilang ini pertama kalinya ia melihat orang berantem secara langsung, masih pakai seragam sekolah pula. Astaga, kok bisa berantem di sini sih? Mana udah sepi lagi. Fayra gak tau harus berbuat apa. Berteriak minta tolong pun sepertinya percuma.

    Orang yang sepertinya dikenali Fayra itu segera mengambil tasnya yang tergeletak di aspal. Ia membalikkan tubuhnya dan saai itulah matanya bertemu dengan Fayra.

    "Rivay?'' tanya Fayra memastikan.

    Rivay memasang tampang terkejutnya sesaat lalu dengan cepat berganti dengan cengiran tipisnya. "Eh Fay, hai. Udah lama di situ?"

    Fayra berjalan mendekati menghampiri Rivay, "Gak juga sih. Astaga. Lo berantem?" jerit Fayra tertahan. Bergegas ia menghampiri cowok itu dengan langkah tergesa.

    "Mereka duluan yang ngajak ribut," bela Rivay dengan sikapnya yang santai, seolah perkelahian tadi bukan sesuatu hal yang patut dibesarkan.

    "Ya ampun ujung bibir lo berdarah," pekik Fayra saat ia mengamati wajah Rivay yang gak ada babak belurnya sama sekali. Berbeda sekali dengan kedua lawan Rivay tadi yang babak belur habis-habisan.

    Rivay menyentuh luka yang Fayra maksud.

    "Gak apa-apa. Luka kecil ini."

    "Sini gue obatin. Kebetulan gue ada hansaplast sama obat merah kok." Tanpa pikir panjang lagi, Fayra menarik pergelangan tangan Rivay agar mengikutinya duduk di bangku halte tersebut. Rivay sendiri tersenyum akan hal itu.

    Dengan hati-hati Fayra mengobati luka Rivay yang nggak seberapa jika dibandingkan dengan kedua lawannya tersebut. Rivay memperhatikan wajah Fayra yang hanya beberapa senti dari wajahnya itu. Rivay suka sekali melihat perubahan ekspresi di muka itu. Menurutnya, ketika Fayra sedang kesal dan ngomel-ngomel gak jelas, Fayra itu jadi tambah menarik.

    Fayra yang merasa kalauu ia sedang diperhatikan oleh orang di depannya ini segera memundurkan kepalanya.

    "Gue colok juga entar mata lo itu," omel Fayar setelah megobati luka Rivay. Ia lalu kembali memasukkan sisa hansaplast dan obat merah tersebut ke dalam tasnya.

    "Jangan dong."

    "Ya makanya jangan lihat-lihat. Entar terpesona lagi. Gue bengtar lagi taken tau," ucap Fayra percaya diri.

    "Emang udah terpesona kok, dari dulu. Hm baru hampir taken kan? Berarti gue masih ada kesempatan dong?"

    Deg! Ucapan Rivay membuat jantung Fayra berdegup kencang. Ia merasa pipinya memanas. Baru kali ini ada cowok yang blak-blakan ngomong kayak gitu ke dia. Lagi-lagi nih cowok mengatakan hal yang mengejutkan. Seolah belum cukup dengan pernyataan suka yang dilontarkan saat baru pertama kali masuk sekolah, cowok ini terus mencari kesempatan mendekati Fayra. Tapi seingat Fayra, setelah pernyataan itu, yang hanya sekali, cowok ini gak pernah lagi bilang apa pun lagi. Sehingga Fayra pun berusaha mengabaikannya.

    Fayra menundukkan kepalanya menatap lantai halte sambil meremas-remas saputangan yang tadi dipakai ia pakai untuk mengelap luka Rivay. Kini sudut bibir Rivay telah tertempel rapi sebuah hansaplast. Sementara Fayra, ia tidak berani menatap ke samping lagi.