webnovel

Perubahan

Fayra duduk sambil menyilangkan satu kakinya, menunggu Dira yang sedang memesan makanan di meja kasir. Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari sekolah. Dilihat dari suasananya, kafe ini berangsur-angsur mulai ramai karena sudah jam pulang sekolah. Posisi kafe yang terletak tak jauh dari kafe sertai tempat yang bagus untuk nongkrong, membuat rata-rata pengunjung kafe ini adalah anak sekolahan.

Tak berapa lama kemudian Dira kembali dengan membawa nampan berisi makanan pesanan mereka. Ia kembali dengan muka menahan kesal, lalu mengamatai satu per satu ekspresi teman-temannya ini.

"Kalian diam-diaman di sini, sementara gue yang ngantri sendirian di sana," omelnya ketika sudah kembali duduk.

Fayra yang dari tadi juga sedang memainkan ponselnya, membuka sosmed untuk mengamatai Regan, kini mendongakkan kepala. Ia memasang cengirannya. "Hehe kan udah ada lo, Dir, gak enak ngantrinya rami-rami," alibi Fayra yang dibalas dengusan oleh Dira.

Dira mulai mengambil makanan yang ada di nampan dan meletakkan pesanannya sendiri di depannya. "Nih buruan diambil makanannya. Oh ya, Chesta mana?" tanya Dira saat tak menemukan Chesta yang semula duduk di dekat Fayra.

"Oh Chesta lagi ke toilet bentar," jawab Fayra sambil mengambil makannnya, setelah itu ia sempatkan sebentar meminum milkshake-nya

Dira manggut saja mendengarnya. Lalu dialihkannnya pandang menatap ke Sisil yang masih setia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sudah dari tadi Sisil begitu. Dira mengedikkan dagunya ke temannya itu, "Kenapa dia, Fay?"

"Biasa, tadi kan sepulang sekolah sempat cekcok bentar sama Diga, mana dia lagi PMS pula. Jadi bisa dibilang si Sisil lagi bad mood," jawab Fayra santai.

"Iya! Gue kesal banget sama si Diga! Seharusnya tadi gue kempesin dulu ban motornya sebelum pulang," sembur Sisil tiba-tiba dengan menegapkan kembali badannya.

"Sabar, Sil.... Oh ya , mau gue beliin Kiranti gak?" tawar Fayra.

Sisil menggeleng. "Gak usah, abis ini gue mau pulang aja. Sakit banget perut gue," ucap Sisil dengan ekspresi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari tadi. Kini ekpresinya kembali muram, menahan sakit yang baru dirasa setelah masuk ke dalam kafe ini.

"Lo pulang aja sekarang," kata Dira.

"Nanti, kan sayang makanannya udah dipesan."

"Ya maksudnya lo pulang sekarang, terus makanannya buat gue."

Sisil menyipitkan matanya. "Sejak kapan lo jadi rakus begini, Dir?"

"Sejak Dira lagi ngadain program naikin berat badannya," celetuk Fayra. "Padahal lo itu udah cukup berisi, masih aja mau naikin berat badan," sambungnya.

"Tapi kata nyokap gue, gue ini masih kurus."

"Iya deh iya. Oh iya si Chesta lama banget sih di toilet," ucap Fayra sambil menolehkan kepalanya menatap jalan yang menuju ke toilet di kafe ini. Baru sleangkah mereka masuk ke kafe tadi, si Chesta udah ngacir aja ke toilet. Mungkin karena tadi dia ada salah makan.

Fayra, Dira, dan Sisil pun mulai menyantap makanan mereka. Lalu selang beberapa saat kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Chesta kembali menghampiri dan duduk di tempatnya semula. Ia duduk sambil memegang perutnya yang masih terasa mules.

"Kenapa? Diare?" tanya Fayra melihat tampang Chesta yang jadi pucat disertai peluh keringat di sekitar dahinya.

"Iya nih. Gue dari tadi bolak-balik mulu di sana," ucap Chesta pelan.

"Yah kalo lo sakit, siapa dong yang mau nemenin gue nonton Kak Regan entar? Sisil mau pulang karena sakit perut, Dira nanti mau nemenin nyokapnya belanja, dan lo jadi diare gini."

Ucapan tersebut langsung dihadiahi pelototan oleh Chesta. "Lo ini bukannya khawatirin gue, malah sempat-sempatnya mikirin siapa yang nemenin lo nonton Kak Regan."

"Gue kan tau lo itu strong, Ches. Tanpa dikhawatirin atau digimanin juga pasti entar sembuh sendiri," ucap Fayra asal disertai cengirannya.

"Emang Kak Regan ada latihan basket ya hari ini?" tanya Sisil yang dari tadi lebih banyak diam, tidak bawel seperti biasa.

Fayra mengangguk semangat. "Iya, kayak biasa jam setengah empat mereka bakal latihan. Ya udah kalo gitu gue ke rumah lo dulu ya Ches abis ini, entar baru gue ke sekolah lagi buat nonton Kak Regan."

"Serah lo deh serah, tapi entar lo beliin gue obat diare dulu ya. Terus boleh lah mijitin gue di rumah daripada entar bengong-bengong aja atau tidur di kamar gue," ucap Chsesta gak pake hati.

"Kampret ya kamu. Udah sakit, masih aja mau berulah. Ya udah gih cepet makan. Kalo gak mau, gue sama Dira siap buat ngabisinnya."

Fayra masih terlihat betah berada di tribun penonton paling depan. Sudah satu setengah jam ia setia duduk di situ, terkadang juga berdiri sambil menjerit histeris saat Regan berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

Selain dirinya, juga terdapat para siswi lain yang setia duduk di pinggiran tribun penonton untuk 'cuci mata' melihat para anak basket yang sedang memainkan bola. Untunglah lapangan basket ini terletak di gedung olahraga indoor, sehingga tidak membuat mereka kepanasan, ya walaupun hari sudah sore.

Biasanya, Fayra akan mengajak ketiga temannya untuk menemaninya melihat Regan di sini. Menonton Regan yang latihan basket, seperti menjadi rutinitas tersendiri untuk Fayra. Apalagi mengingat ia dan Regan mulai dekat, hal tersbeut semakin membuatnya bersemangat.

Fayra memandangi jam tangannya sebentar. Sudah jam lima lewat. Ia harus segera pulang sekarang, karena kalau kesorean ia pasti akan dimarahi. Ia lalu alihkan kembali pandangan ke tengan lapangan.

Tim basket yang sedari tadi berada di sana pun mulai bubar dan duduk di pinggir lapangan. Matanya meneliti mencari Reagn. Lalu saat ditemuinya cocok itu tengah mengobrol seru dengan temannya, Fayra yang hendak melabaikan tangan untuk menyapa, menjadi urung.

Fayra lalu bergegas berdiri dan mulai meninggalkan lapangan tersebut. Tapi baru beberapa langkah melangkah, ia menepuk pelan dahinya. Ia kan ke sini sendirian. Tidak bawa motor pula. Biasanya kalau ada teman-temannya, ia bisa saja minta antar pulang. Tapi keadannya sekarang gak begitu. Hari sudah sore, biasanya angkot tidak lewat lagi di depan sekolah mereka. Dan kalaupun mau jalan mencari angkot, pasti cukup lama dan juga lumayan jauh.

Fayra mendesah berat. Duh saking pengennya ke sini, ia sampai lupa memikirkan cara untuk pulang. Fayra berpikir sebentar, lalu meraih ponselnya, hendak berusha menelepon ayah atau bundanya untuk meminta jemput. Tapi saat didapatinya ponselnya habis baterai, yang sama seklai tidak mau hidup, Fayra semakin merutuki nasibnya.

Ia simpan kembali ponsel itu ke dalam saku dan menimbang-nimbang hal apa yang baiknya ia lakukan. Ah, atau ia pinjam dulu saja ponsel yang lain untuk numpang menelepon? Atau... kenapa gak sekalian aja menghampiri Regan dan minta antar pulang?

Untuk beberapa saat Fayra merasa idenya bagus, tapi detik selanajutnya ia menggeleng cepat. Gak mungkin dia minta antar pulang Regan, gak mungkin. Dia dan Regan akhir-akhir ini memang mulai sering berpapasan, tapi bukan berarti Fayra bisa pasang muka tembok untuk minta diantar pulang. Gini-gini Fayra kan juga punya gengsi, yang yah walaupun gengsi itu Cuma secuil. Bagus kalau Regan mau menuruti perimintaannya, lah kalau enggak? Kan malu dia. Di depan Regan, Fayra ityu harus jaga image.

Baiklah kalau begitu lebih baik ia kembali saja ke lapangan tadi, mencari seseorang yang sekiranya bisa dipinjami ponselnya. Fayra pun membalikkan badan. Tapi bukannya terus melangkah, langkahnya terhenti karena menabrak seseorang. Lekas saja ia kembali memundurkan badannya.

"Ups, maaf," ucapnya cepat.

Orang tersebut diam di tempatnya. "Iya gak apa. Lo dari tadi ngapain diem di sini, Fay?" tanya orang tersebut.

Fayra sempat terperangah melihat siapa orang di depannya ini. Regan! Regan yang masih mengenakan sergam basketnya dengan tas di bahu, menatap Fayra dengan bingung. Duh, Regan berari tau dong dari tadi dia ngapain aja? Astaga....

"Eh, itu, Kak... ehm," Fayra seperti kehilangan kata-katanya untuk menjelaskan.

"Belom mau pulang?" tanya Regan.

Fayra mengangguk, tapi detik selanjutnya menggeleng.

Regan tersenyum kecil. "Jadi mau pulang atau belom?"

Fayra memasang cengiranya, merasa bodoh dengan tingkahnya barusan. "Mau pulang sih, Kak, tapi bingung gimana caranya. Fayra gak bawa motor, ponsel juga mati."

"Ya udah gue anter aja."

Fayra membulatkan matanya. Hah? Serius ini Regan mau menawarinya tumpangan? Wih kemajuan lagi nih. Dulu mah Fayra gak pernah menyangka kalau hal ini bakal terjadi. Soalnya tau posisi dia, tapi sekarang setelah beberapa hari ini terjadi kemajuan yang cukup pesat, semuanya berangsur-angusr mulai membaik di mata Fayra.

"Serius, Kak?" tanya Fayra memastikan.

"Enggak, bercanda."

Seketika Fayra menunduk sambil merengut, memasang tanmpang kecewanya. Baru aja dia senang.... Tapi kekehan dari suara di depannya ini membuat ia kembali mendongak untuk melihat.

"Ya ampun, Fay, enggak lah. Gue serius kok mau nganterin lo pulang," ucap Regan setelah tadi sempat terkekeh.

"Kakah nih, gak lucu tau."

"Ya abisnya tingkah lo sore ini aneh banget. Ya udah mau pulang gak? Entar kesorean lho," ucap Regan yang bersiap akan melangkah.

"Iya, iya." Fayra pun bergegas melangkah mengikuti Regan yang sudah mulai berjalan di sampingnya.

"Tapi gratis kan, Kak?" celetuk Fayra lagi dengan usilnya.

"Haha iya, Fay," sambut Regan dengan senyumannya.

Dikasih senyum begitu, mau tak mau membuat Fayra girang bukan main. Udah mau diantarin pulang, eh plus dikasih senyum menawan lagi.

Semakin ke sini, Fayra merasa semkain optimis. Dia dan Regan udah mulai dekat, dan Regan pun sepertinya gak menganggap dia kasat mata lagi kayak dulu. Kalau dulu mah boro-boro Fayra ditwari tebengan, dibantui ngerjai tugas yang sampai ke rumah segala, disambut tingkah baik pula....

Sisil dan Chesta dulu bahkan sempat menyuruh Fayra untuk mundur saja. Tapi, lihat sekarang. Regan udah gak kayak dulu lagi, cowok itu mulai menyambut baik Fayra. Dan mengingat kejadian-kejadian beberapa hari ini, tiba-tiba terlintas di benaknya tentang Rivay, Rivay yang entah sudah berapa kali mengusiknya dengan Regan.Fayra duduk sambil menyilangkan satu kakinya, menunggu Dira yang sedang memesan makanan di meja kasir. Saat ini mereka sedang berada di sebuah kafe yang terletak tak jauh dari sekolah. Dilihat dari suasananya, kafe ini berangsur-angsur mulai ramai karena sudah jam pulang sekolah. Posisi kafe yang terletak tak jauh dari kafe sertai tempat yang bagus untuk nongkrong, membuat rata-rata pengunjung kafe ini adalah anak sekolahan.

Tak berapa lama kemudian Dira kembali dengan membawa nampan berisi makanan pesanan mereka. Ia kembali dengan muka menahan kesal, lalu mengamatai satu per satu ekspresi teman-temannya ini.

"Kalian diam-diaman di sini, sementara gue yang ngantri sendirian di sana," omelnya ketika sudah kembali duduk.

Fayra yang dari tadi juga sedang memainkan ponselnya, membuka sosmed untuk mengamatai Regan, kini mendongakkan kepala. Ia memasang cengirannya. "Hehe kan udah ada lo, Dir, gak enak ngantrinya rami-rami," alibi Fayra yang dibalas dengusan oleh Dira.

Dira mulai mengambil makanan yang ada di nampan dan meletakkan pesanannya sendiri di depannya. "Nih buruan diambil makanannya. Oh ya, Chesta mana?" tanya Dira saat tak menemukan Chesta yang semula duduk di dekat Fayra.

"Oh Chesta lagi ke toilet bentar," jawab Fayra sambil mengambil makannnya, setelah itu ia sempatkan sebentar meminum milkshake-nya

Dira manggut saja mendengarnya. Lalu dialihkannnya pandang menatap ke Sisil yang masih setia menelungkupkan kepalanya di atas meja. Sudah dari tadi Sisil begitu. Dira mengedikkan dagunya ke temannya itu, "Kenapa dia, Fay?"

"Biasa, tadi kan sepulang sekolah sempat cekcok bentar sama Diga, mana dia lagi PMS pula. Jadi bisa dibilang si Sisil lagi bad mood," jawab Fayra santai.

"Iya! Gue kesal banget sama si Diga! Seharusnya tadi gue kempesin dulu ban motornya sebelum pulang," sembur Sisil tiba-tiba dengan menegapkan kembali badannya.

"Sabar, Sil.... Oh ya , mau gue beliin Kiranti gak?" tawar Fayra.

Sisil menggeleng. "Gak usah, abis ini gue mau pulang aja. Sakit banget perut gue," ucap Sisil dengan ekspresi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari tadi. Kini ekpresinya kembali muram, menahan sakit yang baru dirasa setelah masuk ke dalam kafe ini.

"Lo pulang aja sekarang," kata Dira.

"Nanti, kan sayang makanannya udah dipesan."

"Ya maksudnya lo pulang sekarang, terus makanannya buat gue."

Sisil menyipitkan matanya. "Sejak kapan lo jadi rakus begini, Dir?"

"Sejak Dira lagi ngadain program naikin berat badannya," celetuk Fayra. "Padahal lo itu udah cukup berisi, masih aja mau naikin berat badan," sambungnya.

"Tapi kata nyokap gue, gue ini masih kurus."

"Iya deh iya. Oh iya si Chesta lama banget sih di toilet," ucap Fayra sambil menolehkan kepalanya menatap jalan yang menuju ke toilet di kafe ini. Baru sleangkah mereka masuk ke kafe tadi, si Chesta udah ngacir aja ke toilet. Mungkin karena tadi dia ada salah makan.

Fayra, Dira, dan Sisil pun mulai menyantap makanan mereka. Lalu selang beberapa saat kemudian, orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Chesta kembali menghampiri dan duduk di tempatnya semula. Ia duduk sambil memegang perutnya yang masih terasa mules.

"Kenapa? Diare?" tanya Fayra melihat tampang Chesta yang jadi pucat disertai peluh keringat di sekitar dahinya.

"Iya nih. Gue dari tadi bolak-balik mulu di sana," ucap Chesta pelan.

"Yah kalo lo sakit, siapa dong yang mau nemenin gue nonton Kak Regan entar? Sisil mau pulang karena sakit perut, Dira nanti mau nemenin nyokapnya belanja, dan lo jadi diare gini."

Ucapan tersebut langsung dihadiahi pelototan oleh Chesta. "Lo ini bukannya khawatirin gue, malah sempat-sempatnya mikirin siapa yang nemenin lo nonton Kak Regan."

"Gue kan tau lo itu strong, Ches. Tanpa dikhawatirin atau digimanin juga pasti entar sembuh sendiri," ucap Fayra asal disertai cengirannya.

"Emang Kak Regan ada latihan basket ya hari ini?" tanya Sisil yang dari tadi lebih banyak diam, tidak bawel seperti biasa.

Fayra mengangguk semangat. "Iya, kayak biasa jam setengah empat mereka bakal latihan. Ya udah kalo gitu gue ke rumah lo dulu ya Ches abis ini, entar baru gue ke sekolah lagi buat nonton Kak Regan."

"Serah lo deh serah, tapi entar lo beliin gue obat diare dulu ya. Terus boleh lah mijitin gue di rumah daripada entar bengong-bengong aja atau tidur di kamar gue," ucap Chsesta gak pake hati.

"Kampret ya kamu. Udah sakit, masih aja mau berulah. Ya udah gih cepet makan. Kalo gak mau, gue sama Dira siap buat ngabisinnya."

Fayra masih terlihat betah berada di tribun penonton paling depan. Sudah satu setengah jam ia setia duduk di situ, terkadang juga berdiri sambil menjerit histeris saat Regan berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

Selain dirinya, juga terdapat para siswi lain yang setia duduk di pinggiran tribun penonton untuk 'cuci mata' melihat para anak basket yang sedang memainkan bola. Untunglah lapangan basket ini terletak di gedung olahraga indoor, sehingga tidak membuat mereka kepanasan, ya walaupun hari sudah sore.

Biasanya, Fayra akan mengajak ketiga temannya untuk menemaninya melihat Regan di sini. Menonton Regan yang latihan basket, seperti menjadi rutinitas tersendiri untuk Fayra. Apalagi mengingat ia dan Regan mulai dekat, hal tersbeut semakin membuatnya bersemangat.

Fayra memandangi jam tangannya sebentar. Sudah jam lima lewat. Ia harus segera pulang sekarang, karena kalau kesorean ia pasti akan dimarahi. Ia lalu alihkan kembali pandangan ke tengan lapangan.

Tim basket yang sedari tadi berada di sana pun mulai bubar dan duduk di pinggir lapangan. Matanya meneliti mencari Reagn. Lalu saat ditemuinya cocok itu tengah mengobrol seru dengan temannya, Fayra yang hendak melabaikan tangan untuk menyapa, menjadi urung.

Fayra lalu bergegas berdiri dan mulai meninggalkan lapangan tersebut. Tapi baru beberapa langkah melangkah, ia menepuk pelan dahinya. Ia kan ke sini sendirian. Tidak bawa motor pula. Biasanya kalau ada teman-temannya, ia bisa saja minta antar pulang. Tapi keadannya sekarang gak begitu. Hari sudah sore, biasanya angkot tidak lewat lagi di depan sekolah mereka. Dan kalaupun mau jalan mencari angkot, pasti cukup lama dan juga lumayan jauh.

Fayra mendesah berat. Duh saking pengennya ke sini, ia sampai lupa memikirkan cara untuk pulang. Fayra berpikir sebentar, lalu meraih ponselnya, hendak berusha menelepon ayah atau bundanya untuk meminta jemput. Tapi saat didapatinya ponselnya habis baterai, yang sama seklai tidak mau hidup, Fayra semakin merutuki nasibnya.

Ia simpan kembali ponsel itu ke dalam saku dan menimbang-nimbang hal apa yang baiknya ia lakukan. Ah, atau ia pinjam dulu saja ponsel yang lain untuk numpang menelepon? Atau... kenapa gak sekalian aja menghampiri Regan dan minta antar pulang?

Untuk beberapa saat Fayra merasa idenya bagus, tapi detik selanajutnya ia menggeleng cepat. Gak mungkin dia minta antar pulang Regan, gak mungkin. Dia dan Regan akhir-akhir ini memang mulai sering berpapasan, tapi bukan berarti Fayra bisa pasang muka tembok untuk minta diantar pulang. Gini-gini Fayra kan juga punya gengsi, yang yah walaupun gengsi itu Cuma secuil. Bagus kalau Regan mau menuruti perimintaannya, lah kalau enggak? Kan malu dia. Di depan Regan, Fayra ityu harus jaga image.

Baiklah kalau begitu lebih baik ia kembali saja ke lapangan tadi, mencari seseorang yang sekiranya bisa dipinjami ponselnya. Fayra pun membalikkan badan. Tapi bukannya terus melangkah, langkahnya terhenti karena menabrak seseorang. Lekas saja ia kembali memundurkan badannya.

"Ups, maaf," ucapnya cepat.

Orang tersebut diam di tempatnya. "Iya gak apa. Lo dari tadi ngapain diem di sini, Fay?" tanya orang tersebut.

Fayra sempat terperangah melihat siapa orang di depannya ini. Regan! Regan yang masih mengenakan sergam basketnya dengan tas di bahu, menatap Fayra dengan bingung. Duh, Regan berari tau dong dari tadi dia ngapain aja? Astaga....

"Eh, itu, Kak... ehm," Fayra seperti kehilangan kata-katanya untuk menjelaskan.

"Belom mau pulang?" tanya Regan.

Fayra mengangguk, tapi detik selanjutnya menggeleng.

Regan tersenyum kecil. "Jadi mau pulang atau belom?"

Fayra memasang cengiranya, merasa bodoh dengan tingkahnya barusan. "Mau pulang sih, Kak, tapi bingung gimana caranya. Fayra gak bawa motor, ponsel juga mati."

"Ya udah gue anter aja."

Fayra membulatkan matanya. Hah? Serius ini Regan mau menawarinya tumpangan? Wih kemajuan lagi nih. Dulu mah Fayra gak pernah menyangka kalau hal ini bakal terjadi. Soalnya tau posisi dia, tapi sekarang setelah beberapa hari ini terjadi kemajuan yang cukup pesat, semuanya berangsur-angusr mulai membaik di mata Fayra.

"Serius, Kak?" tanya Fayra memastikan.

"Enggak, bercanda."

Seketika Fayra menunduk sambil merengut, memasang tanmpang kecewanya. Baru aja dia senang.... Tapi kekehan dari suara di depannya ini membuat ia kembali mendongak untuk melihat.

"Ya ampun, Fay, enggak lah. Gue serius kok mau nganterin lo pulang," ucap Regan setelah tadi sempat terkekeh.

"Kakah nih, gak lucu tau."

"Ya abisnya tingkah lo sore ini aneh banget. Ya udah mau pulang gak? Entar kesorean lho," ucap Regan yang bersiap akan melangkah.

"Iya, iya." Fayra pun bergegas melangkah mengikuti Regan yang sudah mulai berjalan di sampingnya.

"Tapi gratis kan, Kak?" celetuk Fayra lagi dengan usilnya.

"Haha iya, Fay," sambut Regan dengan senyumannya.

Dikasih senyum begitu, mau tak mau membuat Fayra girang bukan main. Udah mau diantarin pulang, eh plus dikasih senyum menawan lagi.

Semakin ke sini, Fayra merasa semkain optimis. Dia dan Regan udah mulai dekat, dan Regan pun sepertinya gak menganggap dia kasat mata lagi kayak dulu. Kalau dulu mah boro-boro Fayra ditwari tebengan, dibantui ngerjai tugas yang sampai ke rumah segala, disambut tingkah baik pula....

Sisil dan Chesta dulu bahkan sempat menyuruh Fayra untuk mundur saja. Tapi, lihat sekarang. Regan udah gak kayak dulu lagi, cowok itu mulai menyambut baik Fayra. Dan mengingat kejadian-kejadian beberapa hari ini, tiba-tiba terlintas di benaknya tentang Rivay, Rivay yang entah sudah berapa kali mengusiknya dengan Regan.