webnovel

Regan dan Tanda Tanya

"Kayaknya mau hujan, Fay. Mendung banget."

Fayra yang sedang memasang senyum lebarnya sedari tadi, sedikit tersentak saat suara berat Regan terdengar di telinganya. Masalahnya, bisa dibilang ini kali pertamanya ia dibonceng si gebetan. Baru kali ini juga jarak mereka setipis ini. Yap, tetap ada jarak di antara mereka. Tasnya Regan yang menjadi benda di antara kedua makhluk tersebut.

Maunya Fayra sih dia duduk anteng di boncengan sambil memeluk erat pinggan cowok itu. Bersandar riang di punggung tegap si Regan. Tapi ya khayalan tetap saja khayalan. Segera ditepisnya pikiran itu.

Kalau bundanya tahu, bisa-bisa ia dilempar pakai panci plus gak dikasih uang saku. Sesuka-sukanya Fayra dengan cowok, bundanya selalu bilang Fayra harus menjaga batasan. Jadilah sekarang ia hanya bisa memegang tas cowok itu saja sebagai pegangan sambil tersenyum lebar karena kesampaian juga niatnya untuk boncengan dengan si gebetan.

Untungnya Regan gak bawa motor terlalu ngebut. Kalau ngebut terus tiba-tiba ngerem mendadak, gimana? Kan entar dianya nabrak punggung Regan, terus kalau kelepasan jadi meluk, gimana? Duh, Fayra lantas menggeleng cepat, menepis pikiran-pikiran yang mulai mengganggu.

"Fay?" panggil Regan lagi saat tak kunjung mendapat respon dari Fayra.

Fayra mengerjap sesaat dan mendongak untuk melihat langit. Benar kata Regan, awan mendung sudah menanungi daerah sekitar mereka. Terus, emang kenapa kalau mendung? Mendung kan belum tentu hujan, dan pedekate juga belum tentu jadian. Tapi kalau mendung ini berarti hujan, boleh dong Fayra berharap dia bakal jadian sama Regan.

"Ah iya, bener Kak, mendung. Terus gimana?" tanya Fayra dengan nada suara yang ia atur senormal mungkin dan diatur seimut mungkin. Karena nyatanya, pengen banget dia berceloteh riang sambil berucap, 'Ya gak apa kalau mendung dan hujan, Kak. Kita kan bisa hujan-hujanan bareng, atau nepi dulu sambil natap hujan penuh kebaperan.' Tapi karena pikiran warasnya masih menguasai, ia menelan kembali kata-kata itu.

"Kita berhenti dulu aja, gimana? Kebetulan di dekat sini ada kafe langganan gue, kita mampir dulu ke sana," jawab Regan yang mulai melambatkan laju motornya dan menepi di pinggir jalan. Kepalanya yang masih menggunakan helm, ia tolehkan ke belakang untuk melihat Fayra.

Makan berdua aja sama Regan di sebuah kafe? Ya jelas Fayra mau lah. Itu mah gak usah ditanyain lagi. Ini nih salah satu momen yang ia tunggu. Lalu tanpa berpikir dua kali, Fayra mengangguk girang.

***

Tidak butuh lama bagi mereka untuk sampai ke tempat makan yang Regan maksud. Tidak jauh dari tempat mereka berhenti tadi, memang ada sebuah kafe. Dan ketika mulai masuk ke dalam kafe ini, hujan pun mulai turun dengan deras.

"Untung kita udah di sini, Fay, jadi gak kehujanan," ucap Regan setelah mereka berdua duduk berhadapan di dalam kafe. Mereka sengaja memilih tempat di dekat kaca, sehingga bisa melihat hujan yang turun denean derasnya.

"Iya," balas Fayra ketika ikut melihat keadaan luar. Detik selanjutnya, ia tolehkan kepala menghadap ke depan, menatap Regan yang nampak asyik sendiri dengan diamnya. "Kak Regan suka ke sini?" tanya Fayra kemudian.

Regan alihkan pandangnya dan balas melihat Fayra. "Iya, dulu gue sering ke sini," ucapnya dengan nada yang... muram? Kenapa Fayra seperti menangkap ada nada sedih dari kalimat itu?

Baru saja Fayra ingin menyuarakan kebingungannya, seorang waiter datang menghampiri mereka. Perhatian mereka pun terlalihkan saat waiter tersebut menanyakan pesanan mereka. Bergegas Fayra membuka-buka buku menu. Dia bingung harus memesan apa, baru kali ini ia datang ke sini.

"Spaghetti bolognaise sama apple pie masing-masing satu. Terus minumnya dua moccacino ya, Mas."

Fayra terperangah mendengar Regan mengucapkan pesanan tersebut dengan lancar, seolah cowok itu hapal pesanan tersebut di luar kepala. Fayra masih terpaku di tempatnya bahkan sampai waiter tersebut pergi membawa pesanan mereka.

"Kak, Fayra belum pesan apa-apa lho," akhirnya Fayra mengeluarkan juga suaranya. Masih memegang buku menu tersebut, Fayra berucap mengingatkan.

"Itu apple pie-nya buat lo," jawab Regan enteng.

Fayra bingung. "Huh?"

Lalu seolah tersadar kalau Fayra yang berada bersamanya saat ini, Regan sedikit terkesiap dan menggeleng pelan. Seperti ada sesuatu yang mengganggunya saat ini. Setelahnya, ia menatap Fayra dengan tampang bersalah. "Ah sori, Fay. Karena kebiasaan pesan menu itu pas di sini, gue jadi langsung bilang gitu aja. Lo gak suka makanan itu ya? Gue panggil lagi aja waiter-nya ya."

Fayra menggeleng cepat saat Regan bersiap akan memanggil kembali waiter tadi. "Gak usah, Kak. Fayra suka kok, gak apa pesan itu aja," ucap Fayra.

"Beneran gak apa?" tanya Regan tak yakin.

Fayra mengangguk yakin dengan tampang manisnya. "Iya beneran."

Melihat Fayra yang seperti itu, Regan menarik kedua sudut bibirnya. "Oke. Gue jamin makanannya enak kok."

Iya, pie-nya mungkin enak. Tapi untuk Fayra yang gak terlalu suka makanan manis, pie tersebut pasti akan lebih terasa eneg, bukan enak. Mungkin untuk beberapa suapan akan terasa enak di lidah Fayra, lalu setelahnya akan terasa eneg.

Maunya Fayra sih dia pesan makanan yang berkuah dan hangat-hangat saja, bukannya makanan manis seperti itu. Apalagi sekarang sedang hujan, akan menyenangkan kalau ia bisa makan makanan yang berkuah dan pedas. Tapi karena Regan sudah memesankan seperti itu, ya sudah lah gak apa. Mungkin rasanya akan berbeda jika memakan makanan tersebut di hadapan orang yang disukai.

Fayra lalu kembali melihat-lihat sekitar, dan tatapannya kembali ke samping, melihat keadaan luar kaca. Dilihatnya hujan yang masih mengguyur dan hari yang mulai gelap. Lalu seperti tersengat saat tersadar akan sesuatu, Fayra bergerak gelisah.

"Astaga! Kalau Fayra gak pulang sekarang, Bunda pasti nyariin," ucapnya dengan nada cemas.

"Iya lo bener juga, Fay. Tapi sekarang hujannya deras banget. Gua gak bawa jas hujan. Lo telepon dulu aja, gimana?" sahut Regan menenangkan.

"Iya, iya," lalu dengan gerakan cepat Fayra bergegas mencari-cari ponselnya yang rupanya sudah ia pindahkan dalam tas. Saat mendapati ponselnya mati, ia baru sadar kalau dari tadi ponselnya memang sudah kehabisan daya.

"Yah ponsel Fayra abis baterai, Kak."

"Pake hape gue aja." Regan pun segera mengambil benda persegi itu yang terletak di dalam tasnya. Setelah dapat, ia mulai memainkannya sebentar untuk membuka kunci layar dan membuka papan tombol, lalu dijulurkannya ponsel tersebut ke Fayra. "Nih telepon aja nomor nyokap lo. Hapal kan nomor hapenya?" tanya Regan setengah bercanda.

"Hehe iya hapal dong, Kak." Fayra mengetik nomor hape bundanya dan segera menghubungi nomor tersebut. Tidak butuh lama untuk menunggu teleponnya diangkat. Di dering kedua sambungan teleponnya sudah diangkat. Ah ini pasti bundanya sudah menunggu-nunggu Fayra memberi kabar.

"Assalamualaikum, Bunda. Iya, hape Fayra abis baterai. Fayra sekarang udah berteduh kok. Iya, tapi tadi pas di jalan gak kehujanan kok. Fayra gak pulang bareng Chesta, pulangnya sama Kak Regan. Iya, sekarang masih sama Kak Regan, lagi ada di kafe, sekalian makan bentar. Iya, iya Fayra segera pulang kok habis ini kalau hujannya udah reda."

Regan diam saja memperhatikan Fayra yang sedang menjelaskan pada bundanya. Tak lama kemudian, cewek di hadapannya ini menyudahi percakapan.

Setelah selesai menjelaskan pada sang bunda, Fayar memutuskan sambungan teleponnya. Ditekannya kotak berwarna merah tersebut lalu menekan tombol home.

Fayra sebenarnya ingin langsung mengembalikan ponsel tersebut ke Regan, tapi sesuatu menghentikannya. Ia bergeming saat dilihatnya apa yang ada di layar ponsel tersebut sekarang. Sebuah foto seorang perempuan. Tapi foto itu tidak menampilkan dengan jelas wajahnya. Hanya terlihat seorang perempuan duduk menyamping dengan helaian rambut menutupi sebagian muka yang tertangkap kamera.

Fayra bertanya-tanya sendiri siapa foto perempuan itu. Ini jelas cukup membuatnya penasaran dan tentu terkejut.

"Kenapa, Fay?"

Fayra tersentak dari lamunannya. Bergegas ia mengembalikan ponsel yang sedari tadi ia pegang itu.

Tidak menyadari tingkah Fayra tersebut, Regan dengan santainya menyimpan kembali benda persegi itu.

"Ini pesanannya."

Lagi, baru saja Fayra ingin menanyakan siapa foto perempuan itu, waiter kembali menghampiri mereka. Sekarang orang tersebut sedang menaruh makanan dan minuman pesanan mereka. Ia tidak menyadari ekspresi kesal Fayra. Ugh, kenapa datangnya waiter ini selalu gak tepat?

Tapi lagi dan lagi, kedatangan waiter ini mengalihkan perhatian Fayra. Kini perhatian Fayra terpusat pada makanan dan minuman yang sudah disajikan. Setelah waiter itu pergi, Fayra termenung menatap apa yang ada di meja sekarang.

Moccacino tidak terlalu buruk untuk ia makan sekarang. Tetapi kalau pie... sepertinya berbeda. Tampilan pie tersebut memang menggugah selera, tapi tetap saja Fayra yakin di baliknya ada rasa manis yang bikin eneg. Lalu Fayra melirik ke sepiring spaghetti yang ada di depan Regan.

Dibanding memakan pie ini, Fayra merasa lebih tertarik pada spaghetti tersebut. Tapi masa dia mau tukeran makanan sama Regan? Gak, dia gak akan melakukannya mesti mau. Dia harus jaga image, jangan betingkah yang malu-maluin. Sekarang ini Regan yang ada di depannya, bukannya teman-temannya yang sudah biasa memaklumi tingkah Fayra.

"Dimakan Fay pie-nya. Apple pie ini salah satu menu favoritnya. Coba deh, lo pasti suka," ujar Regan disertai senyum menawannya.

Ah, dikasih senyum begitu jelas membuat Fayra girang bukan main. Jangankan pie, black coffee aja kalau disuguhin ke dia sekarang pasti dihabisin. Makan berdua bersama Regan, hanya berdua.... Ya nggak berdua-berdua juga sih. Toh pengunjung kafe ini juga banyak. Tapi karena cuma ada dia yang ada di hadapan Regan sekarang, tetap saja Fayra jadi senang.