webnovel

Seorang Wanita

Aku cuman mau bilang kalau kamu sangat berharga, tolong jangan harapkan pria yang tak pernah menghargaimu sebagai wanita.

-Devan-

***

Kali ini Bimo terlihat sangat manis dengan panggilan sayang pada Rena. Wanita itu, mulai menatap dia dengan tatapan serius lalu mendekatkan wajahnya ke arah telinga Bimo. "Terima Kasih buah pepayanya," bisik Rena di telinga Bimo yang membuat pria itu bergetar. Seperti biasanya, Bimo yang Hipersex seperti merasakan gairah dalam dirinya. Ia mulai mengecup Rena dan membenamkan bibirnya sedalam mungkin.

 

"U—hm. Stop It Bimo! Stop!" Rena berusaha mendorong tubuhnya untuk menjauh.

 

"Why? Ada apa?" tanya Bimo yang heran dengan sikap Rena.

 

"Aku lagi gak ingin, capek. Aku sangat capek hari ini dan lukaku belum sembuh kamu juga tau itu."

 

"Kamu berani ngelawan?!" hentak Bimo seraya menjambak rambutnya dengan keras. Rena mulai menyembunyikan ponsel dibalik punggungnya dan mencoba untuk menelpon Devan karena rasa takut yang ia alami pada Bimo. Pria itu terus mendekat hingga tetap menjambak rambut Rena. "Diem bisa gak?"

 

"Bimo! Sakittt!" teriak Rena yang tak dihiraukan oleh Bimo. Ia kemudian berlari ke laci dan mencari obat bius dengan suntikan. Di sisi lain, Devan yang mengangkat ponsel milik Rena terlihat gelisah karena mendengar suara teriakan Rena.

 

"Ren! Kamu gapapa kan? Ren! Ren!" Tiba-tiba Devan berteriak dibalik Ponsel milik Rena yang tergeletak di atas ranjang. Bimo mulai menyuntikkan dalam Diri Rena dengan paksaan.

 

"DEVAN, TOLONG!" Teriakan terakhirnya begitu keras terdengar sebelum akhirnya Rena menutup mata dan terbaring di atas ranjang. Bimo mematikan panggilan dengan Devan lalu membanting ponsel Rena ke lantai hingga rusak berkeping-keping. Pria itu mulai meraba tubuh Rena, dengan gesit tangannya menuju ke wajah Rena yang cantik. Perlahan-lahan pria itu mengulum bibir Rena hingga tenggelam lalu membuka bajunya dengan cepat.

 

Di satu sisi, Devan bergegas menaiki mobilnya lalu pergi ke hotel tempat mereka bermalam selama satu minggu. Bimo bersiap-siap merasakan sensasi luar biasa dari tubuh Rena yang telah dibius. "Aaaa, Waww Good," erangan nya semakin menjadi-menjadi. Di sisi lain, Devan mulai melangkahkan kakinya dengan cepat saat sampai di hotel tempat Bimo dan Bunga.

 

"Mbak, permisi, saya ingin ke kamar Nomor 501 plis, ada orang yang sekarat di sana."

 

"Maaf bapak siapa ya pak?" tanya sang resepsionis.

 

"Saya temannya. Tolong mbak, tolong."

 

"Sekarat pak? Seriusan? Baik pak kami akan membukakannya.

 

"Bagus sayang, aku suka kamu yang diam begini jadi tidak berisik. Ahhhhh," erang Bimo kembali memainkan tubuh Rena. Ia menggoyangkan nya dengan keras dan kasar. Kulit mereka saling bersentuhan satu sama lain hingga panas dan sesak mulai menjalar pada tubuhnya Bimo. Tiba-Tiba pintu kamar hotel terbuka secara kasar.

 

     Brugh

 

Sebuah tinju keras mengenai wajahnya Bimo hingga jatuh ke lantai. "LO, KENAPA BISA MASUK SINI!"

 

"Pegawai hotelnya yang kasih kunci karena gue panik banget dan ternyata bener kan lo lukai Rena!"

 

Bimo terbangun dengan cepat lalu menarik kerah Devan. "Diem lo!" amuknya.

 

"RENA LO APAIN SAMPE DIA GAK BANGUN DAN LO TEGA BANGET SETUBUHI DIA SAAT KONDISI GINI! OTAK LO DI MANA! MIKIR BEGO!" Devan mulai membelalakkan matanya seraya melotot ke arah Bimo.

 

Bimo mulai memukul Devan dengan keras hingga wajahnya terluka dan berdarah serta lebam. "Ini urusan gue sama istri gue paham!"

 

Bergegas Devan membalas pukulan itu hingga membuat Bimo tersungkur di bawah lantai. Ia kemudian dengan cepat memberikan selimut pada Rena lalu menggendongnya keluar dari kamar hotel ke mobilnya. "DEVANNN!" Teriak Bimo yang tak bisa bergerak karena kondisi tubuhnya yang telanjang. Bimo mulai tergesa-gesa memakai pakaian dan jas kemudian mengambil mobilnya dari basement dan keluar menyusul Devan. "Oh No! Shit! Padahal bentar lagi aku hampir puas tadi saat bermain tapi karena Devan semua hancur!" Bimo memukul setir nya berkali-kali dan tak lama setelahnya kehilangan mobil Devan. Ia berhenti di pinggir jalan laku keluar dari mobilnya dan berteriak, "AAA." Pria itu mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

 

Di sisi lain, Rena dibawa ke rumah sakit okeh Devan dengan penuh khawatir. "Dok, tolong dok. Tolong dia plis!"

 

"ini kenapa pak? Baik pak bawa ke ruang periksa ya pak." Devan menggendong Rena hingga sampai ke dalam ruangan lalu menggenggam tangannya Rena yang sudah dingin. "Maaf pak, sebaiknya keluar dulu ya pak. Kami mau periksa kondisi pasien."

 

"Baik dok," jawab Devan yang bergegas keluar dari ruangan dan menunggu di bangku. 'Ren, kamu kenapa. Plis jangan sampai kenapa-napa,' pikir Devan.

 

Setelah beberapa saat kemudian sang dokter keluar dari ruangan lalu menuju ke arah Devan. "Bagaimana dok?" tanya Devan.

 

"Ini dia di siksa kah? Alat kelaminnya mengalami infeksi, untung segera dibawa. Dia sepertinya diberi obat tidur berlebih, kami sudah menanganinya dan sebentar lagi ia akan bangun. Bapak suaminya?" tanya sang dokter.

 

"Bukan dok, saya temannya."

 

"Baik, bisa di urus ke resepsionis ya pak setelah ini."

 

"Baik dok, makasih ya Dok." Tanpa menunggu lama lagi Devan kemudian masuk ke ruangan dan menggenggam tangan Rena. Hanya satu harapan Devan saat ini adalah ingin agar Rena terbangun secepatnya. Perlahan-lahan, Rena membuka matanya dan memandang Devan yang berada di samping dia.

 

"Devan?" tanya Rena.

 

"Ren! Kamu udah bangun? Jangan gerak-gerak dulu, kamu lagi terluka."

 

"Kenapa aku bisa di sini, Awwww Sakit." Rena meraba bagian yang terinfeksi seraya menahan Sakit saat hendak mengubah posisi ke duduk.

 

"Pelan-pelan Ren, kamu gaboleh duduk dulu, kamu harus baring."

 

Tanpa sadar, pria itu meneteskan air mata saat memandang Rena yang memiliki wajah pucat. "Hey, why? Kenapa kamu nangis?" tanya Rena pada Devan.

 

"Ren ... kamu kenapa gak bilang kalau diperlakukan kayak gitu? Plis, kamu wanita yang kuhargai, wanita yang kucintai, tapi aku gasuka kamu diperlakukan kasar sama dia. Ren ... why?" Air mata itu mulai menetes. Pria itu sangat sedih ketika melihat kondisi Rena saat ini, ia tak pernah membayangkan bahwa wanita yang sangat ia cintai akan diperlakukan tak sepantasnya oleh lelaki lain.

 

"Devan ... aku masih hidup, jangan seperti itu."

 

"Bodoh! Kalo kamu gak bahagia kenapa kamu paksakan! Tubuh kamu hancur berkeping-keping Ren!" Pria itu mulai memeluk Rena dan saat itulah Rena mulai menangis tersedu-sedu. 'Huaa ... Hwaaaa ... Hwaaa ...,'

 

"Devan, makasih udah meluk aku." Rena mengeratkan tangannya dan menikmati pelukan pria itu dengan hangat. Setelah beberapa saat selesai, ia mengusap air mata Rena lalu duduk menghadap padanya. "Rena, bolehkah aku ngomong?"

 

"Silahkan." Devan menyentuh wajah Rena dengan tangan kanannya. Ia menatap penuh kehangatan.

 

"Wanitaku, yang aku cintai. Aku cuman mau bilang kalau kamu sangat berharga, tolong jangan harapkan pria yang tak pernah menghargaimu sebagai wanita. Tolong, jangan sakiti diri kamu sendiri demi dia, Love Yourself okay? Ada banyak pria sejati di dunia ini. Aku jauh lebih lega kalau kamu dengan pria yang sangat menjagamu daripada menyiksamu. Ren ... pasti berat yah." Setelah mendengar hal itu, Rena kembali menangis dan mengeluarkan air mata. 'Andai kita tak berbeda banyak hal, mungkin aku bisa bersamamu Devan. Karena sejauh ini, hanya kamu pria terbaik yang pernah aku miliki' pikir Rena.

 

"Hey, jangan nangis. Okay?" Devan menghibur dan menenangkan Rena serta mengusap air matanya yang mengalir. 'Andai hidup dan dunia tak sekejam itu, mungkin aku bisa bahagia.' Pikir Rena yang berada di dalam pelukan Devan.

 

***

 

Bersambung ...