webnovel

Perasaan Catherine

Karena ini adalah malam terakhir di Pulau Pina, para karyawan menyiapkan acara khusus untuk Cathy dan Vincent di taman dekat lapangan golf. Meskipun sudah lewat jam enam sore, langit masih tampak cerah dan matahari belum terbenam sepenuhnya. Fenomena alam yang sangat unik ini hanya terjadi di pulau Pina saja. Matahari akan terbenam saat jam sepuluh malam.

Karena itu mereka tidak membutuhkan penerangan atau lilin untuk melihat sekitarnya. Mereka memanggang daging dan menyiapkan beberapa macam wine beserta salad buah.

Jam tujuh lebih sedikit Vincent tiba di taman sedangkan Cathy beserta adik-adiknya tiba sepuluh menit kemudian.

Kepala koki sendiri yang memanggang daging tersebut menciptakan aroma wangi masakan membuat siapapun disana merasa lapar.

Mereka telah menyediakan meja panjang beserta belasan kursi yang mengelilingi meja tersebut. Anna dan si kembar tertawa saat bercanda dengan beberapa rekan kerja Cathy.

West bersaudara sudah menghabiskan seminggu disana dan hubungan mereka dengan para karyawan hotel menjadi akrab seperti teman dekat.

Cathy terlalu sibuk menyaksikan tawa adik-adiknya sambil mengobrol dengan Helena yang duduk disebelah kanannya hingga tidak sadar Vincent telah duduk di sebelah kirinya.

Setelah menyadari Vincent telah pindah tempat duduk, Cathy tidak mengeluh dan menjawab apapun yang ditanyakan pria itu secara normal.

Sambil menunggu daging matang, mereka saling mengobrol mengenai kejadian di pantai tadi. Mereka semua tidak berhenti memuji kelihaian Cathy dalam bermain voli.

"Padahal kau bilang kau tidak bisa bermain voli sewaktu aku mengajakmu tadi." sahut Helena.

"Aku tidak bilang aku tidak bisa. Aku bilang aku tidak pernah bermain voli di pantai."

"Apa bedanya?"

Cathy tersenyum dengan sabar saat menjawab. "Tentu saja beda. Biasanya aku bermain voli di lapangan datar. Ini pertama kalinya aku bermain voli di atas pasir."

Selain adik-adik Cathy, semua orang disana membelalak lebar mendengar pengakuan darinya.

"Kau seorang pemain voli?"

"Apa? Tentu saja bukan. Aku hanya..."

"Hebat sekali. Tidak hanya cantik, pintar dalam bekerja kau juga seorang atletis. Aku penasaran apa ada sesuatu yang tidak bisa kau lakukan?"

"Kau terlalu melebihkanku." ujar Cathy menjadi tidak nyaman arah topik pembicaraan mereka.

"Tentu saja tidak ada yang tidak bisa dilakukan kak Cathy."

Cathy menatap Lizzy tidak percaya mendengar itu. Cathy berusaha menatapnya memberinya peringatan tapi adik bungsunya yang satu ini tidak menyadari tatapannya dan terus bercerita tanpa ragu.

"Dulu saat di sekolah kak Cathy masuk tim basket dan bulu tangkis. Kakakku dulu adalah pemain andalan di sekolahnya."

"Itu benar. Bahkan kak Cathy ditunjuk sebagai kapten tim oleh pak pelatih." lanjut Lina tidak kalah semangat dari saudara kembarnya.

"Kemudian...."

Semua orang yang ada disana mendengarnya dengan kagum sementara Cathy menyembunyikan wajahnya diantara kedua tangannya merasa malu.

Vincent yang melihat tingkah Cathy seperti anak kucing yang bersembunyi seolah telah melakukan kesalahan hanya tertawa geli. Dia juga tidak berusaha membantu gadis itu untuk menghentikan ocehan adik-adiknya. Dia justru tertarik mendengar apapun mengenai gadis itu.

"Kakakmu pasti sangat terkenal di sekolahnya. Apakah dia pernah membawa kekasihnya pulang ke rumah?"

"Hei!" Cathy mulai protes tidak terima kehidupan privasinya dibuka seperti ini. "Bisakah kita membicarakan yang lain?"

"Maaf Nona Catherine. Tapi hari ini kau adalah bintang utama kami." jawab Helena tidak peduli tatapan garang yang ditunjukan ke arahnya. "Nah, sekarang lanjutkan." lanjut Helena pada si kembar.

"Banyak teman pria kakak yang datang, tapi tidak ada satupun yang berhasil memenangkan hati kakak."

Semuanya semakin antusias mendengarnya.

"Benar. Pernah ada yang membawakan bunga mawar merah dan menyatakan perasaannya langsung di depan rumah kami."

"Dia bahkan tidak merasa malu meskipun kami melihat adegan pengakuannya secara langsung."

"Romantis sekali, lalu apa jawaban kakakmu?"

"Dia bilang begini, 'Maaf, aku masih mengutamakan sekolah dulu. Jadi aku tidak bisa menerima bunga ini'. Kakak bilang begitu."

"Benar. Benar." sahut Pak Dan, " Kalau masih sekolah lebih baik ditolak saja. Masih kecil, belum bisa cari uang malah menjalin hubungan.. ckckck.. mau jadi apa nanti?"

"Pak Dan. Pikiranmu sudah terlalu kuno. Zaman sekarang sudah tidak seperti itu lagi." protes Tanya. "Baiklah, pertanyaan lagi. Bagaimana kalau sekarang? Kakakmu kan sudah tidak sekolah lagi, malah bekerja. Apakah tidak ada pria yang mendekatinya? Bagaimana dengan rekan kerjanya?"

"Tentu saja ada. Tapi kakak tetap menolak mereka semua."

"Awww.. kenapa? Apa ada yang salah dengan para pria yang mendekatinya?"

"Itu karena..."

"Soal ini.." potong Anna tiba-tiba sambil menutup mulut adiknya dengan tangannya, "kalian bisa tanyakan sendiri pada kak Cathy." lanjutnya.

Seketika itu juga tiap mata yang tadinya memandang Lizzy kini menatap Cathy dengan penasaran.

Anna berpura-pura tidak menyadari tatapan jengkel kakaknya sambil melahap salad buah dihadapannya.

"Jadi bagaimana nona Catherine, apakah tidak ada satupun yang bisa menggugah hatimu?" tanya Helena berlagak seperti seorang reporter yang sedang menginterogasinya.

Tanpa menjawab pertanyaannya, Cathy menoleh ke arah sebelah kirinya dengan pandangan licik.

"Kenapa kita tidak membicarakan Vincent hari ini? Aku dengar banyak tamu undangan yang terpikat padanya."

"Aku?"

Nah, kenapa sekarang semuanya berbalik memojokkan dirinya. Keluh Vincent dalam hati.

"Aku ingat sekarang. Aku pernah lihat ada yang berusaha mendekati Vincent kemarin."

"Oh yang berambut hitam dengan highlight ungu?"

"Bukan.. gadis yang kulihat berambut merah kecoklatan."

"Lho, aku malah lihat Vincent mendekati perempuan berambut keemasan. Orangnya cantik sekali seperti orang yang tinggal di luar negeri."

Kemudian secara serempak semua mata memandang seorang pria dengan tatapan tak percaya. Bahkan Cathy hanya mendecak beberapa kali.

"Aku sama sekali tidak menyangka kau seorang playboy." ujar Cathy sambil bangkit berdiri.

Vincent hendak membuka mulut untuk membantah tapi tidak jadi. Setelah memastikan Cathy berjalan ke arah kepala chef yang sedang memanggang... tidak menghilang dari pandangannya, Vincent memusatkan perhatiannya pada setiap orang yang menuduhnya sebagai playboy.

"Ini salah paham. Aku sama sekali tidak mengenal mereka. Lagipula, mereka hanya kebetulan bertanya sesuatu padaku. Hanya itu. Kenapa kalian memandangku seperti itu?"

"Vincent. Berhentilah menyakiti hati wanita, jika saatnya nanti kau menemukan wanita yang benar-benar kau cintai, kau akan kesulitan mendapatkan kepercayaannya."

Vincent mendesah, "Sudah kubilang, aku tidak seperti itu. Lagipula, kenapa kalian tidak mempercayaiku?"

"Tampangmu tidak bisa menunjukkan kau bisa dipercaya."

"Aku.." Vincent sudah kehabisan kata-kata. "Memangnya apa yang salah dengan tampangku?"

Pak Dan tertawa mendengar suara putus asa pada Vincent. "Anak muda, tidak ada yang salah dengan wajahmu. Terlalu tampan adalah masalahmu."

Semua staf perempuan mengangguk setuju pada pernyataan ini.

"Benar. Wajah yang tampan sulit untuk berkomitmen dan akan mudah membuat puluhan wanita jatuh cinta disaat bersamaan kau bisa menghancurkan hati para wanita dengan mudah."

"Kalian pikir aku orang seperti apa?"

"Penghancur hati wanita." jawab semuanya serempak membuat Vincent kehabisan kata-kata.

Dari luar Cathy tampak tidak memperdulikan obrolan yang semakin memanas di belakangnya. Dia tampak lebih tertarik menyaksikan cara memanggang ala chef terbaik di hotel walaupun yang sebenarnya dia mendengar tiap kata yang diucapkan. Saat Pak Dan mengatakan bahwa terlalu tampan adalah masalah, Cathy melirik ke belakang mengamati bentuk wajah pria itu.

Wajah pria itu agak lonjong dengan hidung yang macung. Kedua mata pria itu tampak dingin namun juga bisa terlihat jahil. Rambutnya disisir rapi ke arah belakang menunjukkan bentuk alis teratur menyempurnakan ketampanannya.

Tulang rahang dan pipi pria itu berbentuk dengan sempurna membuat pria itu akan tampak dingin saat marah disaat yang sama akan terlihat hangat disaat pria itu dalam suasana hati yang bagus. Dia tidak tahu warna rambut pria itu yang sebenarnya tapi di matanya rambut pria itu sangat hitam seperti sebuah tinta yang dulu pernah ia mainkan di ruang kerja ayahnya.

Entah kenapa, dengan rambut hitamnya itu pria itu memang tampak luar biasa tampan. Yah, sebenarnya dia sudah mengetahuinya saat pertama kali bertemu di bis. Mungkin karena dia sudah terbiasa bertemu dengan wajah tampan seseorang, dia tidak terlalu terpesona. Yang membuatnya terpesona adalah...

Deg! Deg! Deg! Dia teringat malam acara pembukaan hotel mereka... cara senyuman pria itu padanya membuatnya...

"Nona Catherine, anda baik-baik saja?"

Cathy langsung mengalihkan pandangannya ke arah panggangan. "Aku baik-baik saja." sahutnya berusaha untuk menjaga kegugupannya.

"Wajahmu merah. Kau yakin kau baik-baik saja?"

Cathy baru menyadari wajahnya terasa panas. Apakah suhu panas ini yang menyebabkan wajahnya merah? Apakah dia sedang demam? Cathy bertanya-tanya pada dirinya dan tidak tahu jawabannya. Yang dia tahu saat ini jantungnya tidak bisa diam dan terus berdetak dengan cepat. Ada apa dengan dirinya?

Akhirnya setelah menunggu selama hampir satu jam, daging panggangan telah siap disajikan dan percakapan mengenai kisah cinta Cathy dan sikap Vincent yang playboy dilupakan.

Mereka kembali membicarakan sesuatu yang lucu atau kejadian yang terjadi selama kerja di Star Risen dan lainnya. Mereka semua tertawa, bercanda dan menikmati hidangan chef dengan hati gembira.

Hingga tidak terasa matahari sudah hampir menghilang dan keadaan taman berubah gelap secara perlahan. Mereka merasa betah dan ingin lebih lama berkumpul bersama. Namun besok pagi sebagian dari mereka harus kembali bekerja dan Vincent beserta West bersaudara akan pulang kembali ke kota mereka.

Karena itu mereka memutuskan untuk berhenti dan merapihkan segala peralatan makanan di atas meja. Termasuk Cathy beserta Vincent juga turut membantu. Ketiga adik Cathy juga tidak merasa letih untuk membantu mereka membereskan piring-piring kotor.

Setelah selesai beres-beres, Helena menarik lembut lengan Cathy untuk berbicara berdua. Helena memilih di tempat sebuah area kolam renang. Karena tidak ada siapapun yang berenang di malam hari, suasana disana sangat sunyi dan damai dengan aliran angin lembut dan suara nyanyian jangkrik. Terdapat beberapa lampu penerang disekitar mereka membuat mereka tidak perlu takut menabrak sesuatu saat berjalan.

"Ada apa?" tanya Cathy setelah mereka telah berduaan.

"Tidak apa. Hanya saja ada yang ingin kutanyakan."

"Hm.. tanyakan saja."

"Apa..apa kau.. apa kau dekat dengan Vincent?"

"??" pertanyaan ini membuat Cathy merasa bingung. "Tidak juga. Kami hanya bertemu dua kali sebelum akhirnya bekerja sama dalam acara pembukaan hotel ini. Aku tidak terlalu mengenalnya. Ada apa?"

"Itu.. sebenarnya.."

Cathy menyadari perubahan ekspresi yang ditunjukkan oleh Helena. Dia memang tidak pernah merasakan seperti apa sedang jatuh cinta, tapi setidaknya dia tahu seperti apa ekspresi seseorang saat mengagumi sesuatu, dalam hal ini... seseorang. Dan dia menebak gadis berusia dua puluh tujuh tahun ini sedang mengagumi Vincent.

"Apakah mungkin kau tertarik pada Vincent?"

Mendengar ini Helena tertawa gugup. "Tidak.. itu.." kemudian menghela napas. "Iya. Aku agak sedikit tertarik dengannya. Maksudku dia pria yang mengagumkan."

"Oh? Benarkah? Bagaimana bisa?" untuk pertama kalinya Cathy merasa tertarik seperti apa pandangan seorang wanita terhadap pria seperti Vincent.

"Kau ingat saat kalian semua sibuk di dapur menyiapkan hidangan? Aku sempat keluar sebentar untuk mengecek dekorasi aula. Saat aku melewati lobi utama, situasinya tidak jauh lebih baik dengan di dapur. Banyak para tamu undangan yang komplain dan emosi. Mereka bahkan sempat menyindir pelayanan kita sangat buruk."

"Benarkah? Aku tidak pernah mendengar kejadian ini. Kenapa tidak ada yang memberitahuku?"

"Aku ingin memberitahumu. Tapi saat itu Vincent datang dan mengumpulkan mereka semua di lobi bagian dalam. Ajaibnya, Vincent berhasil menenangkan mereka dengan ceritanya. Aku tidak tahu apa saja yang diucapkannya. Yang kutahu, para tamu undangan sudah tidak marah lagi. Malahan mereka tidak mau naik ke kamar mereka, tapi lebih memilih mendekat dan mengenal Vincent."

Cathy terdiam untuk beberapa saat. Dia sama sekali tidak tahu jasa pria itu dalam mengendalikan suasana ribut di lobi. Tanpa disadarinya Cathy mengumbar senyum dan berpikir lebih baik terhadap pria itu.

Selama ini dia berpikir pria itu sama sekali tidak berniat bekerja. Dia hanya memotret sesuka hatinya dan melempar tanggung jawabnya pada orang lain tepat saat acara berlangsung.

Rupanya.. tanpa sepengetahuannya, pria itu telah banyak membantunya.

"Mungkin itu sebabnya banyak tamu undangan yang mendekati Vincent. Hanya saja.. kau juga tahu. Sikap Vincent sangat dingin. Bahkan saat aku mengajaknya bicara dia juga menjawab ala kadarnya dan membuat alasan untuk pergi."

Mendengar ini, Cathy merasa bingung sekali lagi.

"Itu sama sekali tidak benar. Mungkin awalnya sikapnya memang agak dingin. Tapi lama-lama dia tidak akan begitu. Dia justru bersikap jahil dan terkadang kekanak-kanakan. Yah, itulah kesan yang kudapatkan saat kami bersama. Kau yakin Vincent yang kau bicarakan adalah orang yang sama?"

Kali ini Helena tak bicara dan hanya memandangnya dengan pandangan aneh.

"Kenapa kau memandangiku seperti itu?"

"Apakah mungkin.. Vincent menyukaimu?"

Untuk pertanyaan ini, Cathy sendiri juga tidak tahu jawabannya. Dan seandainya jika pertanyaan itu dibalik.. Apakah dia menyukai Vincent?

Cathy tidak pernah menyukai seseorang sebelumnya. Yah, mungking tertarik.. sesekali dia akan tertarik terhadap lawan jenis tapi itu hanya perasaan sesaat. Setelah satu atau dua hari rasa ketertarikan itu akan lenyap.

Lalu apakah ia tertarik pada Vincent? Jawabannya adalah iya. Tapi berapa lama ketertarikannya akan bertahan? Dia yakin setelah kembali dari pulau ini, dia tidak akan memikirkan pria itu lagi.

"Itu hanya perasaanmu saja. Lagipula, setelah ini kami tidak akan bertemu lagi."

Benar.. setelah berangkat dari Pulau Pina ini, dia tidak akan bertemu dengan Vincent lagi. Dengan begini rasa ketertarikannya juga akan menghilang seperti yang pernah dialaminya.

Tapi.... kenapa hatinya merasa sedih?

Next chapter