webnovel

I Will Do

Matahari terbangun dari tidurnya. Menggantikan sang rembulan yang telah kembali memasang selimut di atas peraduannya.

Pagi yang cerah, secerah wajah sepasang kekasih yang sedang dilanda asmara.

"Nanti aku akan ke kafe." Orlan mengelus lembut rambut Noura. Dia belum puas memandangi wajah pujaan hatinya itu. Rasa rindu menggebu-gebu yang dia tahan dengan susah payah selama dua hari ini belum cukup dengan hanya melihat wajah Noura ketika mengantar dan menjemput saja. Orlan ingin menghabiskan waktu sepanjang hari bersama Noura tanpa diganggu oleh siapa pun. Tetapi kapan itu akan terwujud?

"Maksudnya, kamu akan membolos kerja lagi? Noura tidak suka apabila Orlan melalaikan pekerjaan hanya demi bisa bersamanya.

Orlan terkekek kecil. "Arva sudah menunggu di dalam." Noura menoleh ke belakang, benar saja, Arva sedang senyum-senyum tidak jelas memandangi mereka berdua.

"Menakutkan." Noura bergidik ngeri, pastinya nanti Arva akan menggoda dirinya.

"Aku pergi dulu." Orlan mengecup bibir Noura secepat kilat sampai Noura terperanjat kaget.

"Orlan!" teriak Noura, wajahnya memerah menahan malu. Orlan di dalam mobil tertawa. Laki-laki itu melambaikan tangannya, lalu mengemudikan mobilnya meninggalkan halaman kafe.

*

"Oh, lihatlah. Pagi-pagi sudah merusak pemandangan dan membuatku iri." Arva tertawa melihat Noura yang mengerucutkan bibirnya, kesal dengan Orlan.

Noura duduk di sebelah Arva. "Bukankah kamu akan menikah?"

"Kenapa, iri?”

Noura mendelik. "Aku senang sekali. Akhirnya kalian berdua akan menikah." Noura menatap Arva penuh tanya. "Katakan padaku, apa alasan kalian tidak kunjung menikah? Kamu sudah berjanji padaku akan memberi tahuku apa alasannya."

Arva menaruh jarinya di dagu seperti sedang berpikir. Noura memutar bola matanya kesal. Arva suka sekali membuatnya penasaran.

"Kamu sungguh ingin tahu?"

Noura mengangguk antusias.

Arva menarik napas dan mengembuskannya. "Aku menunggu kak Orlan menemukan mate-nya." Arva menatap Noura dalam. "Awalnya aku ingin menikah bila kak Orlan sudah menikah, tapi sepertinya masih sangat lama." Arva terkekeh pelan. "Jadi, ya, akhirnya aku memutuskan untuk menikah dengan kak Leon. Sejujurnya aku juga tersiksa karena kami jarang bertemu."

Noura tergugu, saat mendengar alasan Arva. Apalagi mendengar penuturan Arva yang niatnya akan menikah, setelah Orlan menikah. Jujur saja, dia belum ke pikiran sejauh itu. Orlan pun tidak pernah membicarakan tentang pernikahan. Bukannya dia berharap Orlan akan mengajaknya menikah. Sekarang prioritas dirinya dan Orlan ialah, menyelesaikan semua masalah yang terjadi di bangsa vampir dan bangsa werewolf. Mungkin, hubungan mereka berdua menjadi prioritas terakhir.

Noura tidak yakin dengan dirinya sendiri. Dia banyak sekali menyimpan rahasia. Terutama tentang identitas dirinya, yang sampai sekarang tidak dia ketahui, apa alasan yang mendasari dia harus berpura-pura. Noura hanya bisa menunggu dengan sabar, tapi tidak dimungkiri, suatu hari nanti, jika dia sudah tidak tahan, dia akan memberontak dengan cara apa pun. Jikalau raja Carlen tidak kunjung mengatakan yang sebenarnya padanya, dia akan mencari tahunya sendiri. Walaupun harus mempertaruhkan nyawanya.

"Aku ...." Noura tidak tahu apa yang harus dia katakan tentang hubungannya dengan Orlan.

"Aku paham." Arva memegang erat tangan Noura seraya tersenyum. "Pokoknya, nanti kamu harus datang saat aku menikah." Noura mengangguk, pastinya dia akan datang. Tidak mungkin dia melewati hari paling spesial bagi kehidupan Arva, sahabatnya itu.

**

Hutan Hamakua diapit oleh dua gunung berapi yaitu, Gunung Mauna Kea dan Kohala. Juga di dekat hutan terdapat air terjun.

Portal pintu masuk menuju Kerajaan Hamakua berada di antara dua pohon besar di Hutan Hamakua.

Kerajaan Hamakua tidak menerima kehadiran teknologi. Sistem pemerintahannya hampir sama dengan yang berlaku di Kerajaan Appalachia.

Tidak mudah untuk mencapai hutan ini karena harus melewati sebuah lautan yang sangat luas. Jarak dataran dengan Hutan Hamakua, sangatlah jauh.

Tidak seperti Kerajaan Appalachia yang membatasi makhluk immortal untuk datang ke istana mereka. Kerajaan Hamakua menerima dengan tangan terbuka, siapa saja makhluk immortal yang akan datang untuk keperluan bisnis atau hanya sekadar berkunjung dan menumpang menginap. Dari zaman dahulu kala, mereka terkenal dengan julukan 'tempat berkumpulnya vampir yang ramah'.

"Kali ini apa yang mendasari kau datang ke sini." Raja Aldwin menyeruput darah manusia yang berada dalam gelas.

Vander mengernyitkan dahinya, sudah lama sekali dia tidak meminum darah manusia. Dia harus bisa menahannya, jangan tergoda. Kalau dia kembali minum darah manusia, Noura tidak akan mau mengajaknya lagi ke dunia manusia. Tidak, tidak, sebenarnya Noura tidak pernah mengajaknya, tetapi Vander lah yang mengekor.

"Aku ingin protes. Kenapa Ayah memajukan jadwal penobatan tanpa persetujuanku?"

Aldwin menaruh gelas yang isinya telah tandas. "Kenapa? Kau ingin mengundurkannya lagi?" kata Aldwin dengan datar.

Vander menyengir, percuma basa-basi dengan ayahnya. "Iya. Ayah, sudahku bilang, aku sekarang sedang fokus membantu raja Carlen. Aku janji, setelah semuanya selesai, aku siap untuk menjadi raja untuk kerajaan ini."

Aldwin menghela napas. Anaknya itu memang keras kepala. "Kau ini sungguh tega pada Ayah. Ayah ingin istirahat, usia Ayah sudah 819 tahun, sudah sangat tua. Seharusnya, setelah perang kedua, kau juga menjadi raja seperti Carlen. Bahkan bangsa werewolf pun melakukan hal yang sama, mengganti pemimpin mereka."

Vander meringis, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Itu berbeda Ayah. Kerajaan Appalachia dan ketiga pack werewolf terdesak yang disebabkan oleh pemimpin mereka yang terdahulu tewas. Kecuali Redwood Pack, karena Alpha Jorge terluka parah."

Aldwin memelotot mendengar ucapan anaknya itu, yang dilihat dari wajahnya sama sekali tidak merasa bersalah dan berdosa telah mengatakan hal seperti itu. "Maksudnya, kau menyayangkan kenapa Ayah tidak ikutan tewas juga? Seperti itu?"

Vander gelagapan. "Bu-bukan seperti itu maksudku." Vander panik. "Ayah, pokoknya aku meminta penobatan itni diundur. Ayah tidak tahu, saat ini Kerajaan Appalachia sedang kacau-balau. Ini juga menyangkut bangsa vampir. Mohonlah untuk mengerti, Ayah."

Aldwin bersedekap. "Selama ini Ayah sangat mengerti, Ivander. Tidak usah diingatkan." Vander menyengir senang. "Darren sudah sampai di istana?"

"Sudah."

"Anak itu, Ayah tidak mengerti kenapa dia tiba-tiba meminta izin ke Kerajaan Appalachia. Kesambet apa dia?" Aldwin mengelus burung hantu yang bertengger di pundaknya.

Vander terdiam. Meskipun dia sudah tahu alasan Darren datang ke Kerajaan Appalachia, tetapi dia tidak akan memberitahukan kepada ayahnya. Biarkan Darren menjadi urusannya.

Salah satu pengawal datang dengan membawa sebuah gulungan kertas, raja Aldwin berterima kasih dan memberikan gulungan kertas tersebut pada Vander.

Vander mengerutkan kening. "Ini kertas ramalan?"

"Iya."

Vander segera membuka gulungan kertas dengan hati-hati, takut merobeknya. Kertas ramalan ini sudah ada sejak zaman dahulu dan pastinya ini bukanlah kertas yang asli. Karena pada tahun itu, belum ditemukan kertas.

'Anak ini sangat kuat. Bahkan dapat menyatukan bangsa immortal. Kekuasaannya sangat besar.'

Vander mengerutkan keningnya dalam, tidak paham akan maksud dari kalimat yang tertulis di kertas tersebut. "Anak? Anak siapa?"

Aldwin mengedikkan bahunya. "Aku mendapatkannya dari bangsa woods ellf. Oh, sebenarnya Chugach Pack juga mendapatkan kertas ramalan lainnya, tetapi katanya saat ini kertas itu ada pada Redwood Pack. Berikan kertas itu pada Carlen."

Vander menaikkan alisnya. "Redwood Pack? Untuk apa mereka ....?" Vander teringat dengan pertanyaan Carlen yang bertanya apakah Alpha Orlan telah memiliki mate. Vander berdiri dari duduknya, membuat Aldwin yang sedang mengelus burung hantu terkejut, bahkan burung hantu tersebut sampai terbang.

"Kau ini kenapa?"

Vander menatap ayahnya sangat lama. "Vampir dan werewolf ...." Mata Vander seketika melebar. "Noura," gumam Vander lirih.

**

Nancy memakan buah apel yang dia dapatkan dari Noura tadi pagi. Dia berjalan mengikuti Aaron yang ada di depannya.

"Silakan Tuan Putri." Aaron membuka pintu, mempersilakan Nancy untuk masuk.

"Terima kasih." Nancy memelesat masuk ke dalam. Sudah ada Carlen yang duduk di atas kursi kebesarannya. "Ada apa, Kak?"

Carlen mendongakkan kepala, tersenyum tipis. "Sudah lama kamu tidak memanggilku dengan sebutan Kakak."

Nancy duduk di sofa yang jaraknya lumayan jauh dari Carlen. Kemampuan pendengaran jarak jauh yang dimiliki oleh mereka memudahkan mereka untuk berkomunikasi dalam jarak yang jauh.

Walaupun tidak ada vampir yang seperti Carlen, memiliki kemampuan dapat mendengar suara dalam jarak radius jutaan kilometer dengan sangat jelas.

Nancy menggaruk kepalanya. "Aku kangen saja memanggil Anda seperti itu"

Carlen tersenyum, masih enggan berdiri dari duduknya. "Besok saya dan Noura akan ke Redwood Pack. Vander akan ke Tongass Pack. Tolong jaga istana ini dan terus awasi Darren. Jangan biarkan dia ke tempat itu dan juga ke kamar Noura maupun Lucia."

Nancy termangut-mangut. "Aku paham, Yang Mulia. Darren memang mencurigakan, tetapi sejauh ini dia tidak melakukan apa pun, mungkin dia juga ragu dengan apa yang sebenarnya dia lakukan di sini. Aku selalu mengikuti ke mana pun dia pergi."

Carlen mengangguk. "Apa kamu berhasil membaca pikirannya?"

Nancy menggeleng. "Aku berpikir dan mencari kemungkinan. Apa sebenarnya dia memang tidak memikirkan apa pun atau dia mengetahui, kalau hanya aku yang tidak terpengaruh dengan segel itu."

Carlen terdiam, mengelus jenggot tipisnya. "Tidak, tidak ada yang tahu. Kecuali saya, Letizia dan Lucia."

Nancy menghela napas panjang. "Jadi dia tidak memikirkan apa pun," gumam Nancy lirih. "Tapi sepertinya tidak mungkin."

Carlen memejamkan matanya. "Terus awasi dia." Nancy mengangguk paham. "Apa mungkin pengaruh kekuatan lainnya."

"Apa, Kak?"

Carlen menggeleng.

Nancy mengerutkan kening. Dia yakin, tadi mendengar raja Carlen berbicara, meskipun terdengar sangat pelan, bahkan nyaris tidak terdengar.