webnovel

Berusaha

Suara riuh para wanita manusia yang melihat kedatangan Orlan, sampai membuat mereka lupa berkedip.

Noura dan Arva sudah memperkirakan hal ini. Dulu Orlan datang ke sini, satu jam sebelum tutup. Makanya tidak terjadi peristiwa seperti ini dan sekarang, Orlan datang jam tiga sore. Kafe masih dipenuhi oleh para pengunjung.

"Ehem, ehem." Arva berdeham. Kenapa dia selalu dijadikan nyamuk? Sabar Arva, sabar. Sebentar lagi kamu tidak akan merasakan hal seperti ini lagi. Arva mengingatkan dirinya sendiri. Akhirnya dia merasakan apa yang Noura rasakan, ketika dia sedang berduaan dengan Leon.

"Bagaimana jika di atas saja?" tawar Orlan. Dia agak risi menjadi pusat perhatian, tujuannya ke sini bukannya untuk menjadi selebriti dadakan. Dia ke sini untuk menemui belahan jiwanya.

Noura melirik Arva yang wajahnya tertekuk masam karena tidak digubris oleh kakaknya sendiri.

"Ya, sana. Pergi jauh-jauh dariku." Arva mengusir, mendorong Noura keluar dari bagian kasir.

Keduanya menaiki puluhan anak tangga, di atas kafe ada ruang khusus para pegawai untuk bersantai dilengkapi dengan sofa, beserta televisi dan play station.

Sebelum naik ke atas, Noura meminta pada Tana, karyawan kafe, untuk membawakan minuman dan kue apa saja yang masih tersedia. Karena Orlan tidak lapar, jadi Noura hanya meminta kue sebagai camilan.

"Sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu katakan." Noura menatap Orlan yang duduk di sebelahnya, terlihat dari mata Orlan yang tampak ragu-ragu melihatnya.

Orlan yang tengah membalas pesan Dafa, menoleh. "Sebentar." Dia mengetik secepat kilat dan mengirimnya pada Beta-nya itu.

Noura menunggu. Pasti Orlan akan mengajaknya bicara. Orlan itu tidak akan mau menghabiskan waktunya sia-sia belaka.

Orlan menoleh ke arah Noura, tangannya mengelus lembut rambut Noura. Mata biru laut Orlan itu selalu memancarkan tatapan penuh cinta dan sayang. Membuat Noura meleleh.

"Apakah ada sesuatu yang ingin kamu ceritakan?"

Noura mengernyitkan dahinya. Kenapa Orlan balik bertanya? Memangnya apa yang harus dia ceritakan?

"Nancy, kah? Sepertinya aku sudah cerita tentang dia. Kamu bahkan sudah bertemu." Noura memutar otak. Memangnya apa yang belum dia ceritakan pada Orlan? Kecuali satu, tentang identitas asli dirinya. Oh, Ya Dewa. Noura seketika memelotot. Apakah Orlan memintanya untuk menceritakan tentang itu? Identitas asilnya? Masalah itu, belum waktunya untuk diungkapkan. Noura harus mengikuti instruksi dari Carlen, jika tidak, Carlen akan mengusirnya dari istana. Lalu dia akan tinggal di mana? Redwood Pack? Tidak mungkin, bukan? Sebisa mungkin, jangan karena hubungannya dengan Orlan, memicu terjadinya perang ketiga.

Noura mengingat ucapan Arva yang mengatakan Orlan curiga dengan identitas dirinya. Tidak boleh, jangan berpikiran negatif dulu. Mungkin bukan itu. Tapi apa?

Orlan menggeleng samar. Apakah dia harus katakan terlebih dahulu? Dia hanya ingin mendengar pengakuan dari Noura secara langsung. Siapa tahu, ucapan Leon itu salah. Dia menyalipkan rambut Noura ke belakang telinga.

"Lalu?" Noura menatap Orlan penuh tanya. Dia sungguh tidak tahu apa yang harus dia ceritakan pada Orlan.

"Orlan, sudah katakan saja. Aku sudah tidak tahan, ingin tahu kebenarannya. Kalau tidak, ayo, kita berganti shif." Jay gregetan. Orlan pakai kode-kodean segala. Kayak wanita saja. Langsung ke intinya, kan, lebih enak.

Orlan mendelik mendengar ucapan Jay. "Tidak Jay. Belum waktunya."

"Belum waktunya, belum waktunya. Sumpah, Orlan. Aku bersumpah. Demi, Moon Goddess. Jika nanti kau mengizinkan aku berganti shif untuk bertemu dengan Noura. Aku tidak akan mengizinkanmu mengambil alih tubuhmu ini, selama satu bulan penuh. Lihat saja. Biar kau merasakan apa yang selama ini aku rasakan!" Jay berteriak kesal. Gemas, gemas sekali dengan Orlan yang selalu melarangnya bertemu dengan Noura.

Orlan mengerutkan kening. Bahaya, kalau Jay berkata seperti itu. Pasti akan benar-benar dilakukan oleh serigalanya. Jay itu, kan, tega.

Jay berdecih. "Kau tidak sadar diri, hah? Kau juga tega padaku!" geram Jay, semakin gemas.

Orlan memegang kepalanya yang pening. Moon Goddess, tolong tutup moncong Jay yang tidak mau berhenti berbicara. Batin Orlan frustrasi. Mending kalau bicara suaranya pelan, ini kayak serigala kesetanan. Teriak-teriak terus.

"Demi Moon Goddess, kau yang membuat aku teriak-teriak Orlan!" Jay semakin berteriak garang.

"Jay, berhenti berteriak. Aku ingin bicara dengan Noura!" Orlan balas berteriak sampai terasa ngos-ngosan.

"Orlan, kamu kenapa?" Noura menyentuh tangan Orlan yang sedang memegang kepala. "Kamu sakit? Pusing?"

Orlan menggeleng. "Ah, tidak." Dia mengulas senyuman, membuat Noura ikut tersenyum. "Itu masalah putra mahkota Vander. Aku dengar hari penobatannya dimajukan."

Noura terdiam sejenak. Seperti sedang menggali ingatannya. "Oh, iya, memang benar. Lalu kenapa?" Noura memiringkan kepalanya.

Orlan melongo. Kenapa Noura bilang? Apa Noura lupa, kalau dia telah dijodohkan dengan Vander?

"Perjodohan itu ....?" Orlan tidak sanggup melanjutkan pertanyaannya.

Noura mencerna pertanyaan Orlan yang menggantung itu. "Oh, tentang itu." Dia termangut-mangut. "Iya, kami memang dijodohkan. Menurut perjanjian, seminggu setelah Vander dinobatkan sebagai raja. Kami menikah." Noura mengerjapkan mata. Tunggu, dia merasa ada yang aneh dengan ucapannya. Noura memandangi wajah Orlan yang terlihat syok berat.

Orlan terdiam. Kenapa Noura mengatakan hal seperti itu tanpa beban sedikit pun? Apa Noura lupa akan kehadiran dirinya? Lupa dengan hubungan yang telah mereka jalani sejauh ini? Apakah ternyata cintanya masih bertepuk sebelah tangan? Ya Tuhan. Moon Goddess. Jelaskan dan berikan alasan padanya, kenapa mate-nya merupakan vampir. Kenapa? Sampai kapan, cinta saya akan terus bertepuk sebelah tangan? Batin Orlan mengeluh. Bahkan perkataan Noura yang terlewat santai, membuat Jay bungkam. Orlan mendesah pasrah.

"Tapi ...." Noura menatap Orlan lekat. Orlan menaikkan sebelah aslinya, menunggu perkataan Noura selanjutnya. "Sekarang putra mahkota Vander sedang ke Kerajaan Hamakua. Meminta penobatan itu diundur, sampai masalah di Kerajaan Appalachia selesai." Wajah Orlan tampak cerah, sedetik kemudian wajahnya kembali muram. Hanya diundur penobatannya, bukan dibatalkan perjodohannya. "Sebenarnya, pembicaraan mengenai perjodohan itu tidak ada kelanjutan. Aku tidak tahu, perjodohan itu masih berlaku atau tidak."

Senyum tipis terukir di sudut bibir Orlan. Ingat, tidak ada kelanjutan. Bukannya dibatalkan. Jadi ada kemungkinan, suatu hari nanti, masalah perjodohan ini akan dibahas kembali. Yah, walaupun seperti itu. Orlan tidak peduli. Dia yakin dan percaya. Dia dan Noura memang ditakdirkan untuk bersama.

Orlan menegakkan badannya lalu menggeser tubuhnya menghadap Noura. Dia menarik tangan kanan Noura dan melihat cincin hitam yang masih bertengger manis di jari pujaan hatinya itu. "Noura." Noura menatap Orlan balik. "Tolong, apa pun yang terjadi. Pilihlah aku. Aku mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Berikan kepercayaanmu padaku, sama seperti yang telah kulakukan selama ini." Dia mencium punggung tangan Noura dengan lembut. Segala perasaan cinta dan kasih sayang berusaha Orlan curahkan. Dia hanya berharap, Noura dapat menerima perasaannya tulusnya itu tanpa paksaan.

Noura terenyuh. Entah kenapa hatinya terasa menghangat. Dia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Noura teringat perjumpaan pertama kalinya dengan Orlan. Dulu dia tidak percaya dengan perkataan laki-laki itu yang mengatakan kalau dia merupakan mate-nya. Lalu sejak kapan, dia menerima kehadiran Orlan dan tidak lagi ragu dengan pernyataan Orlan itu? Sejak kapan tepatnya Noura merasa nyaman ketika bersama dengan Orlan?

Orlan menatap Noura sangat dalam, terlihat dari mata biru lautnya yang menunjukkan perasaan cinta, kerinduan, dan terluka.

Noura tidak tahu harus menjawab apa. Dia mendekatkan dirinya pada Orlan lalu memeluk tubuh laki-laki itu. Dia hanya mengikuti nalurinya. Dia meletakkan kepalanya di dada Orlan yang membuatnya sangat nyaman.

Orlan terkejut, tidak menyangka Noura akan memeluknya. Karena selama ini, dia lah yang selalu memeluk Noura terlebih dulu. Orlan membalas memeluk Noura sangat erat. Walaupun Noura tidak membalas permohonannya dengan jawaban 'iya' atau 'tidak'. Dengan Noura yang memeluk dirinya. Bolehkan Orlan mengambil kesimpulan, bila Noura kelak akan memilihnya?