webnovel

Cincin Hitam

Arva dan Leon siap pergi kencan. Meninggalkan Noura sendirian. Karyawan lainnya telah lebih dulu pulang. Arva dan Noura selalu pulang terakhir untuk mengecek stok bahan dan memastikan pintu terkunci dengan benar—takut dirampok. Walaupun sebenarnya kawasan kota ini sangat aman. Tidak pernah ada kejadian perampokan atau kemalingan, tetapi apa salahnya mengantisipasi?

"Aku pergi dulu." Arva memeluk Noura. Menyempatkan untuk mencubit gemas pipi Noura yang sedikit tembam itu.

"Anda yakin? Saya bisa mengantar Anda sampai ke halte. Halte bus lumayan jauh." Leon menawarkan tumpangan. Arva menatap mate-nya itu tajam. Leon cengar-cengir.

"Tidak perlu. Aku tidak mau menjadi pengganggu." Noura paham akan tatapan yang diberikan Arva pada Leon. Mana ada yang mau diganggu saat sedang berduaan.

"Masa secantik Anda menjadi pengganggu. Lagi pula, kita itu teman." goda Leon seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Godai Putri Noura saja terus," ketus Arva. Dari dulu Leon memang suka menggoda Noura.

Noura tertawa kecil.

"Jangan marah. Aku hanya mencintaimu." Leon merajuk. Menggenggam tangan Arva yang mengambek.

Noura tersenyum melihat tingkah kedua temannya ini.

"Kalian tidak jadi pergi? Katanya takut kehabisan tiket." Arva dan Leon saling memelotot.

"Aduh, sampai lupa. Ayo, cepat. Selamat malam, Putri Noura. Kami duluan," teriak Arva sembari berjalan mendekati mobil berwarna putih milik Leon.

"Hati-hati di jalan, Putri Noura." Leon tersenyum lebar.

"Iya, Alpha. Sudah sana, nanti Arva semakin marah." Noura mendorong tubuh kekar Leon. Laki-laki itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.

Noura tidak pernah cerita pada Arva tentang dia yang datang ke sini menggunakan pintu ajaib milik ibundanya. Noura mengaku pada Arva, dia pulang pergi naik bus. Noura merasa, dia sudah pandai berbohong.

*

Di mobil, setelah cukup jauh dari kafe. Arva mencubit perut Leon, membuat Leon merengut kesakitan.

"Kamu lupa? Kakak itu akan datang menemui Noura." Arva memelotot, kesal. Rasanya tadi saat Leon menawarkan tumpangan, dia ingin sekali menutup mulut Leon. Tapi tidak dia lakukan, takut Noura curiga.

Leon terkekeh. "Aku ingat. Lagi pula, pasti putri Noura akan menolak. Makanya aku berani menawarkan tumpangan." Leon bicara tanpa menoleh, fokus pada jalanan di depannya.

"Iya, memang. Apa jangan-jangan kamu berniat untuk menggagalkan pertemuan kakak dengan Noura?" Arva menyipitkan matanya, menatap penuh selidik. Kemarin dari ucapan Leon, seperti mate-nya itu tidak setuju dengan keputusan Orlan bertemu dengan Noura.

Leon tertawa. "Aku tidak sejahat itu. Orlan itu sahabatku dan akan menjadi kakak iparku. Kalau putri Noura menikah dengan Orlan, dia juga akan menjadi kakak iparku, bukan?"

"Tapi ucapanmu yang kemarin?"

"Aku hanya khawatir. Hubungan bangsa werewolf dan bangsa vampir membaik karena Orlan dan raja Carlen. Jangan karena Noura ternyata mate Orlan. Hubungan kedua bangsa kembali merenggang."

"Memangnya kamu tahu, apa yang akan terjadi jika kakak dan Noura bersama?" Arva menginterogasi Leon. Tatapannya semakin tajam.

Leon terdiam. "Aku tidak tahu. Itu hanya dugaanku saja. Karena bangsa vampir seolah-olah membungkam para penyihir supaya tidak kembali berkoar-koar mengenai ramalan itu."

"Benar juga. Apa yang akan terjadi? Tapi Noura tidak tahu isi lengkap dari ramalan itu." Arva berpikir keras.

"Mungkin saja putri Noura tidak tahu, bahkan aku yakin raja Carlen juga tidak tahu. Yang tahu itu, Ferin, si provokator," geram Leon. Dia selalu kesal mengingat nama dan wajah Ferin.

**

Baru saja Noura akan melangkah meninggalkan kafe. Terdengar bunyi dentuman bel di atas pintu kafe dengan cukup keras.

Noura menoleh ke arah pintu. Telah berdiri seorang laki-laki dengan mengenakan jas berwarna hitam. Netra biru lautnya menatap Noura lembut disertai senyuman samar yang terpasang di wajahnya.

Noura terkejut. "Alpha Orlan? Apa Anda mencari Arva? Dia baru saja pulang dengan Alpha Leon."

Orlan mendekati Noura yang matanya menyorot Orlan dengan tatapan bingung.

Orlan berdiri jarak dua langkah dari Noura. Mendadak tubuhnya kaku dengan jantung yang berdetak sangat kencang. Jay terus meraung memanggil nama Noura.

"Orlan. Oh, sungguh. Harum mate kita membuatku kecanduan. Dia sangat harum. Walaupun dia vampir." Jay loncat-loncat kesenangan.

"Diam bodoh! Kau membuatku pusing," bentak Orlan.

Orlan menghirup aroma harum bunga lavender dan melati yang dari kemarin dia rindukan itu. Kemarin dia tidak datang ke restoran yang ada di depan kafe ini karena ada urusan yang sangat penting. Aroma ini benar-benar membuat dia kecanduan.

Noura mengerjapkan matanya. "Ada apa? Apa mau saya telepon Arva agar kembali ke sini?" Noura sedikit gelagapan melihat posisi keduanya yang sangat dekat. Noura merasa sepertinya ada hal serius yang ingin Orlan katakan padanya, Noura pun menggunakan salah satu kekuatannya supaya percakapannya dengan Orlan tidak didengar oleh Carlen.

"Tidak, saya ingin bertemu dengan Anda." Wajah Orlan terus menunjukkan senyum bahagia.

Noura memiringkan kepalanya. "Saya." Noura menunjuk pada dirinya untuk memastikan. Orlan mengangguk. "Ada apa? Kafe sudah tutup. Bahan-bahan juga sudah habis. Jadi saya tidak bisa menyediakan apa pun."

Orlan tersenyum geli.

"Mate kita menggemaskan, Orlan." Jay bersuara. Dia meloncat tak tentu arah. Membuat Orlan lagi-lagi membentaknya agar diam.

Noura bingung. Kenapa Orlan senyum. Apakah ada yang lucu?

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingin bertemu dengan Anda." Suara Orlan melembut, tidak seperti biasanya yang datar dan dingin.

"Apa Anda ingin menanam saham? Kalau masalah itu bicarakan saja pada Arva." Noura hanya menduga-duga.

Orlan tertawa kecil.

Noura mengernyitkan keningnya. Memangnya lucu, ya?

"Saya ingin bicara dengan Anda, tapi izinkan saya untuk mengantar Anda pulang." Orlan memperhatikan raut wajah Noura yang kebingungan.

"Mengantar saya pulang? Memangnya ada apa?" Noura semakin bingung.

Orlan merasa canggung. Baru pertama kali ini dia berbicara hanya berduaan dengan Noura. Dia bingung bagaimana caranya memberi tahu Noura, kalau Noura merupakan mate-nya. Baru pertama kali ini juga, dia berinteraksi langsung dengan wanita. Jantungnya bertalu-talu dengan hebat, Jay terus berseru memanggil nama Noura.

"Arah Hutan Appalachia dan Hutan Redwood searah, bukan?" Entahlah Orlan bingung mau bicara apa. Perbincangan ini sangatlah aneh didengar. Bahkan Jay tertawa dan mengatai dirinya bodoh. Karena tidak bisa romantis sama sekali, malahan terkesan mencurigakan.

"Iya, memang. Tapi saya bisa pulang sendiri. Saya terbiasa naik bus." Noura semakin heran. Ada apa dengan Alpha Orlan?

"Bahaya jika Anda pulang sendirian malam-malam begini," ucap Orlan. Ia kehabisan kata-kata.

Noura menaikkan alisnya. Dia baru teringat, tadi Alpha Orlan mengatakan ingin bicara dengannya. "Kalau saya tidak salah ingat. Anda ingin bicara dengan saya? Ada apa?"

"Ya, saya ingin bicara. Tapi jangan di sini, mari di dalam mobil saja. Sekalian saya mengantar Anda pulang. Tenang, saya tidak berniat buruk." Orlan membujuk Noura. Senyum terus terpatri di wajah tampannya.

Noura terdiam. Pastinya Alpha Orlan tidak akan melakukan hal buruk padanya. Redwood Pack dan Kerajaan Appalachia sudah lama menjadi partner bisnis. Bahkan hubungan kedua bangsa membaik karena kerja sama tersebut. Membuat pack bangsa werewolf lainnya, seperti Tongass Pack dan Chugach Pack juga ikut kerja sama dengan Kerajaan Appalachia dan ditambah kehadiran Kerajaan Hamakua, membuat jalinan bisnis semakin menguat di antara kedua bangsa.

Meskipun bisnis berjalan dengan lancar, tapi hubungan antara warga bangsa vampir dan warga bangsa werewolf tidak berjalan dengan baik, masih curiga satu sama lain.

"Iya, boleh." Noura akhirnya setuju. Yah, siapa tahu yang Orlan ingin katakan memanglah sangat serius dan penting. Sekali-kali mencoba melewati pintu portal yang biasa dilalui oleh vampir lainnya.

***

"Sungguh, kau tidak romantis Orlan. Cepat katakan padanya, lalu berikan cincin itu. Jika kau tetap diam, biarkan aku yang bicara padanya." Jay berseru. Jay gemas dari tadi Orlan hanya diam. Suasana di dalam mobil sangat hening tanpa ada yang bersuara. Jay terus meminta pada Orlan agar berganti shif.

"Sabar, aku sedang berpikir keras. Dari tadi kau hanya merancau tidak jelas, tanpa memberikan solusi. Berisik." Orlan memutuskan mindlink dengan Jay.

Noura hanya melihat ke arah luar jendela, sudah tiga puluh menit dia berkutat pada pikirannya.

Apa yang Alpha Orlan akan katakan? Kenapa dari tadi tidak bicara? Sebenarnya ada apa? Apa aku akan dibawa ke Redwood pack? Apa aku akan diculik? Batin Noura gelisah.

Noura memegang tangannya bergidik ngeri, tapi dia terus berpikir positif. Mungkin Alpha Orlan ingin bertemu dengan kakaknya. Ya, mungkin saja?

Orlan menghentikan mobilnya tepat di jalan raya yang sepi. Noura memelotot, pikiran negatif mulai bermunculan.

Orlan menarik napas panjang, dia gugup. "Putri Noura," panggil Orlan lirih.

Noura seketika menoleh. "Kenapa berhenti di sini? Apa ada masalah, Alpha?" tanya Noura. Berusaha santai agar tidak terlihat sedang ketakutan.

"Tidak. Saya hanya ingin bicara dengan Anda. Jadi lebih baik berhenti sebentar," ujar Orlan. Entahlah apa yang telah dia lakukan sekarang.

Noura menatap lurus Orlan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Alpha dari Redwood Pack itu.

Orlan mengembuskan napas panjang. Dia sangat gugup, otaknya sibuk mengolah kata yang sekiranya akan membuat Noura percaya.

Lima menit berlalu. Orlan masih sibuk mencari kata.

"Bicara apa?" tanya Noura tidak sabar.

"Saya ingin memberikan ini." Orlan memberikan cincin yang dari tadi dia genggam. Noura memicingkan matanya memperhatikan cincin berwarna hitam polos itu.

"Cincin? Untuk apa?" tanya Noura. Orlan mengulurkan tangannya memberikan cincin hitam itu pada Noura.

"Supaya bila Anda bersama saya atau bersama werewolf lainnya, aroma badan kami tidak menempel di badan Anda," jelas Orlan, nada suaranya sangat meyakinkan.

"Bersama Anda?"

"Iya, bersama saya. You're my mate." Orlan tersenyum lebar.

"Hah?" Noura menganga.

"Iya, Anda merupakan mate saya," ucap Orlan, mengulang.

Noura terdiam.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Empat detik.

Lima detik.

Setelah berhasil mencerna ucapan Orlan, Noura tertawa terbahak-bahak.

Orlan mengerutkan dahinya. "Kenapa tertawa?"

Bahkan Jay ikut tertawa di dalam sana. "Kau sangat kaku sekali."

"Lebih baik kau diam! Sudah tidak memberikan solusi apa pun, tapi mencibir."

Jay tersenyum miring. Oh, Orlan sedang marah. Seram sekali.

Noura mengatur napasnya, menyelesaikan tertawanya. "Apa? Saya mate Anda? Anda ini dari bangsa werewolf. Itu tidak mungkin." Dia mengelap air mata yang keluar akibat tertawa.

"Anda tidak percaya? Anda lah yang telah membuat jantung saya berdetak. Moon Gooddess telah menakdirkan kita untuk bersama." Orlan berkata meyakinkan. Tersenyum tampan, senyumannya membuat Noura terpana sejenak.

"Hah? Penciuman Anda salah kali." Noura tetap tidak percaya. Dia tahu semua mengenai bangsa werewolf dari Arva.

"Tidak salah, percayalah pada saya." Orlan menjulurkan tangan bebasnya, Noura menaikkan alisnya. "Saya akan memasangkan cincinnya. Ini tidak berbahaya, tidak akan membuat kekuatan Anda melemah." Orlan berkata sangat serius.

Noura melihat cincin hitam polos itu. "Apa ini akan mengikat saya pada Anda?" tanya Noura memastikan.

Orlan tertawa kecil. "Tidak. Cincin ini hanya berfungsi supaya Anda tidak terkontaminasi bau badan kami, werewolf."

Noura sedikit percaya. Jika dia memakai cincin itu, dia tidak akan mendengar Vander yang melarangnya untuk pergi.

"Oke, saya akan percaya." Noura mengulurkan tangan kirinya. Orlan memasangkan cincin hitam polos itu di jari telunjuk milik Noura.

Orlan tersenyum, cincinnya pas di jari Noura.

"Cincin itu, aku sudah merasakannya." Jay kembali berseru.

"Cantik. Ya, walaupun warna hitam." Noura melihat cincin yang berada di jari tangannya itu. "Alpha, apa benar yang Anda katakan tadi? Saya mate Anda?" tanya Noura masih tidak percaya.

Orlan mengangguk. "Benar. Untuk apa saya berbohong dan jangan panggil saya, Alpha. Panggil saja, Orlan."

"Ah, iya, Orlan."

"Mulai besok, izinkan saya untuk mengantar dan menjemput Anda ke kafe. Kebetulan arah kafe dan kantor saya cukup dekat."

"Tidak perlu."

"Saya akan melakukannya." Orlan mengulum senyum. Menyalakan mesin mobil lalu melanjutkan perjalanan menuju Hutan Appalachia.

Noura terdiam. Bagaimana ini? Selama ini dia, kan, lewat pintu rahasia milik ibundanya.