webnovel

Moonlight

Carlen berjalan terburu-buru menuju sebuah ruangan. Tidak diikuti pengawal di belakangnya. Hari telah malam, sebagian vampir pasti telah berada di dunia manusia, jadi aman baginya berjalan sendirian.

Carlen memasuki ruangan kerjanya yang langsung disambut oleh Vander. "Yang Mulia." Pangeran dari Hamakua itu menunduk hormat.

"Bagaimana Vander?" tanya Carlen dengan raut wajah yang serius.

"Masih Arva." Vander berbisik. Konten mengenai bangsa werewolf sangat sensitif di indra pendengaran bangsa vampir. "Empat hari yang lalu saya bertemu dengan Alpha Orlan dan Beta Dafa."

Carlen mengembuskan napas lega. Masih dia. Batin Carlen.

"Kau tahu, Redwood Pack tidak akan mungkin berkhianat." Carlen mengeluarkan sebuah gelas berisi darah hewan yang dia sembunyikan dalam jubahnya. Mata Vander memelotot kaget. Carlen menghirup bau darah hewan di gelas tersebut. "Dia yang berkhianat." Mata merah Carlen memancarkan tatapan tajam.

"Jadi Anda sudah tahu Yang Mulia?" tanya Vander. Dia berusaha bersikap normal, tidak boleh menunjukkan rasa ketakutannya karena tertangkap basah telah menutupi kejahatan Ferin.

"Ya." Carlen menatap Vander tajam, Vander bergidik ngeri. Kalau Carlen murka akan dipastikan malam ini dia tinggal nama.

Vander tertunduk dalam, tidak berani menatap mata dan wajah Carlen yang sedang murka.

"Kau harus membantu saya," ucap Carlen menekankan setiap patah kata.

Vander mendongak. Dia tidak percaya. Carlen tidak marah padanya, justru meminta bantuan.

Vander menganggukkan kepalanya. "Apa yang harus saya lakukan?" Vander akan menjadi raja untuk Kerajaan Hamakua, meskipun demikian, semua vampir harus tetap tunduk pada perintah Carlen. Sebab Kerajaan Appalachia memegang kendali penuh atas bangsa vampir di negara ini.

"Awasi dia. Berikan semua darah hewan yang dia berikan pada Anda dan Noura kepada saya. Jangan kau minum. Jika kau tidak ingin terjerat dalam kasus ini." Carlen berucap serius. Vander mengangguk.

"Dengarkan itu, Pangeran Ivander," ucap Noura seraya tersenyum miring.

Vander terperanjat kaget. Dia tidak menyadari kehadiran Noura yang entah sejak kapan menyender di daun pintu. Mungkin karena dari tadi dia terlalu tegang, takut dibunuh Carlen.

"Kamu memberi tahunya?" Carlen menatap Noura tajam.

Noura tersenyum tipis. "Ya, dia bertanya di mana keberadaan penyihir. Aku kesal pada bangsa werewolf yang terus menuduh kita. Mereka selalu bilang, bangsa vampir menyembunyikan para penyihir." Noura duduk di sofa dengan kaki yang menyilang.

Sebenarnya Carlen merasa heran, kenapa tiba-tiba Arva menanyakan perihal ramalan? Apakah bangsa werewolf juga sedang mencari kertas ramalan? Mencurigakan.

Vander mengerutkan dahinya. Apa yang sedang kakak beradik itu bicarakan? Penyihir? Sudah lama sekali dia tidak mendengarnya.

"Penyihir?" Vander memutuskan untuk bertanya.

"Sepertinya kau sangat terkejut. Kau telah lama tinggal di kerajaan ini. Apakah tidak pernah mendengar apa pun mengenai penyihir?" Noura tertawa sekilas. Nada suaranya seperti sedang mencemooh.

"Itu tugas tambahan untukmu, Vander. Cari tahu keterlibatan Ferin dengan para penyihir." Carlen menatap lekat Vander.

Vander mengangguk pelan. Sekarang kepala Vander terasa akan pecah. Dia memiliki banyak sekali tugas. Mencari tahu keterlibatan Ferin dengan werewolf yang berkhianat?; Mencari tahu keberadaan Ferin dan anak buahnya?; Mencari tahu Keterlibatan Ferin dengan para penyihir? Sungguh, Ferin telah menyusahkannya!

Noura tersenyum miring. "Anda keterlaluan, Yang Mulia. Jangan memberikan Vander begitu banyak tugas.”

Carlen mendengus. "Vander hanya tinggal melanjutkan."

"Tenang, Yang Mulia. Saya akan melakukannya. Saya akan membawa bukti yang akurat untuk menghukum Ferin." Vander optimis. Dia yakin pasti bisa melakukan semuanya.

Noura mengulum senyuman samar. Dia menyukai kegigihan Vander, memang pantas Vander meneruskan takhta menjadi raja Hamakua.

Carlen melirik ke arah tangan Noura. "Cincin dari siapa?" Carlen memperhatikan cincin hitam yang melingkar di jari Noura itu.

Noura terkejut, tidak menyangka Carlen menyadari keberadaan cincin itu. "Aku beli." Noura berusaha bersikap santai, walaupun dia sedikit gelisah.

Carlen memiringkan kepalanya. "Cincin itu ... indah juga."

Vander melihat cincin hitam itu. Dia mengerutkan dahinya. Bukankah putri Noura tidak pernah mau bila disuruh memakai aksesoris? Seperti cincin, kalung, anting, gelang, dan sebagainya.

Noura melihat cincin pemberian Orlan itu. Cincin itu sama sekali tidak membuat kekuatannya melemah. Berarti semua yang dikatakan Orlan benar adanya. Lalu bagaimana tentang dia yang merupakan mate-nya Orlan? Ah, Noura sedang tidak mau memikirkannya.

Carlen memalingkan wajahnya. "Semoga itu berguna untukmu."

Noura menaikkan alisnya. Apa arti dari ucapan kakaknya itu? Berguna? Apa Carlen tahu apa fungsi cincin hitam ini?

*

"Beta Balthasar," ucap Leon. Membuat Dafa terkesiap kaget yang membuatnya hampir menjatuhkan buku yang sedang dia baca . "Anda membuat saya terkejut saja," protes Dafa.

Leon dan Arva masuk ke sebuah ruangan bawah tanah yang hanya dapat dimasuki oleh werewolf tertentu.

Dafa sedang duduk sendirian menunggu kehadiran Alpha-nya seraya berdoa semoga tidak ada kendala saat Orlan bertemu dan berbicara dengan mate-nya, putri Noura.

"Kakak belum pulang?" Arva menyapu pandang ruangan bawah tanah tersebut. Bisa dibilang, ruang bawah tanah ini merupakan perpustakaan. Yang berisi buku-buku peninggalan nenek moyang bangsa werewolf. Ruangan ini berada di bawah ruang kerja Alpha. Sangat dijaga kerahasiaannya. Bahkan hanya werewolf tertentu yang mengetahui letak ruangan bawah tanah ini.

"Belum," kata Dafa tanpa menoleh. Dia masih sibuk membaca buku yang ada di tangannya seraya tangan bebasnya mengambil kentang goreng di atas meja.

Leon mendudukkan dirinya di kursi kayu. Dia kembali mengingat ucapan putri Noura mengenai penyihir. Noura mengatakan semuanya pada Arva dan membiarkan dia mendengar semuanya. Dia yakin, Noura dapat dengan mudahnya memanipulasi pendengarannya supaya dia tidak dapat mendengar percakapannya dengan Arva.

Kemampuan memanipulasi suara hanya dapat dilakukan oleh vampir asli. Terutama keturunan Walton yang merupakan vampir pertama yang diciptakan. Kemampuannya sangat berbeda dengan vampir lainnya. Banyak keistimewaan dalam diri keluarga vampir Walton dan jangan lupakan keluarga vampir Carlton dan Alfredo.

Ternyata Putri Noura diam-diam mengetahui semuanya. Aku yakin, yang dia katakan tadi hanya sebagian dari rahasia yang bangsa vampir sembunyikan mengenai para penyihir. Tadi dia mengatakan semua itu agar Arva tidak lagi bertanya. Batin Leon menyimpulkan.

Arva sibuk mencari buku.

"Alpha lama banget." Dafa merenggangkan tangannya yang pegal.

"Terima kasih, Dafa. Selama ini kau sering mengantar dan menjemput Arva ke kafe." Leon tersenyum tulus ke arah Dafa yang duduk di depannya.

"My pleasure." Dafa kembali membaca buku. Dia paling senang disuruh membaca. Apalagi jika mengenai bangsa werewolf, dia semakin bersemangat. "Hanya terima kasih?" Dafa melirik Leon yang sedang bengong menatap malas buku-buku di sekitarnya dengan kilatan mata yang jenaka.

Leon melirik tajam. "Oh, jadi selama ini kau tidak ikhlas? Minta imbalan?" Leon menaikkan nada suaranya.

Dafa terkekeh kecil. Mudah sekali memancing emosi Alpha Leon.

Arva mendengus. Dia sudah tidak sabar untuk menceritakan semuanya pada kakaknya dan Dafa mengenai penyihir yang Noura tadi katakan padanya, tapi dia sudah berjanji pada Noura. Saat ini yang dapat diajak kerja sama ialah Leon, tapi Leon itu mood-nya mudah sekali berubah.

**

"Orlan, mate kita telah berada di istana. Sepertinya dia tidak seperti vampir lainnya yang keluar saat malam hari. Dia berbeda. Padahal dia merupakan vampir murni dari keluarga walton." Jay berseru. Tidak tahu kenapa, dia dapat merasakan keberadaan mate-nya.

Orlan fokus melihat jalanan di depannya. Wajah dan senyuman indah milik Noura bermunculan di pikirannya. Tidak sia-sia dia menunggu hampir selama 400 tahun lebih. Walaupun mate-nya vampir. Banyak risiko yang harus dia ambil demi hanya dapat bersama mate-nya. Orlan tidak peduli, dia mencintai Noura. Apa pun akan dia lakukan.

"Ya, dia memang berbeda, Jay. Sangat berbeda." Orlan tersenyum lebar.

"Sekarang kau harus berpikir, Orlan. Bagaimana caranya membawa mate kita ke pack dan kau harus segera bilang kepada kedua orang tuamu," ujar Jay.

"Kau berisik sekali. Memangnya dari kemarin aku tidak berpikir." Orlan terpancing emosinya. Jay selalu membuat dia kesal dan emosi. Hanya saat di medan perang saja mereka akur.

"Kau harus berpikir Jangan buang-buang waktu. Aku ingin segera bertemu dengannya." Jay kembali berceloteh.

"Cerewet!" Orlan memutus mindlink-nya dengan Jay. Jika bukan dia duluan yang memutus, Jay akan terus berbicara. Membuat kepalanya semakin pening.

***

Orlan membuka pintu besi menuju bawah tanah. Dia menuruni tangga berupa spiral itu dengan sedikit terburu.

"Sudah kumpul." Orlan mendudukkan dirinya di kursi kosong di samping Dafa.

Dafa segera menaruh buku yang dari tadi dia baca. Terlalu fokus membaca, sampai dia tidak menyadari kehadiran Alpha-nya.

Leon menatap Orlan. Arva segera berlari menuju kursi kosong, duduk di antara Leon dan Dafa.

"Ada apa, Alpha Orlan?" tanya Leon. Tadi pagi Orlan memintanya datang ke ruang bawah tanah bersama dengan Arva.

"Kau tahu di mana keberadaan Ferin?" tanya Orlan. Menatap Leon penuh tanya.

Leon mendelik. Tidak dia sangka, Orlan akan bertanya mengenai ini. "Ada apa memangnya, tiba-tiba Anda bertanya mengenai dia?"

"Werewolf yang ditemukan tewas di hutan. Dari bekas tandanya bukan karena rouge, pasti karena hal lain," ucap Dafa menjelaskan.

Orlan mengeluarkan tiga foto dari balik jas yang dia kenakan lalu memberikannya pada Leon.

"Kesimpulan yang kita dapatkan. Mereka dibunuh vampir," ucap Arva.

Leon memperhatikan ketiga foto yang tampak mengerikan itu.

"Maaf, saya telat," ucap Devin sambil menyengir.

"Kau lama sekali." Dafa berdecak kesal.

"Tadi saya mengurusi mayat-mayat yang sedang dikuburkan." Devin berdiri di samping Orlan.

"Aku sudah bilang pada putri Noura," ucap Arva santai.

Seketika mereka berempat menatap tajam Arva.

"Kau bilang padanya?" tanya Dafa.

"Ini masih rahasia." Devin menggeleng.

"Kebiasaan," ketus Orlan.

"Cerita ke putri Noura, tapi tidak denganku." Leon mencibir.

Arva menyengir. "Aku hanya cerita padanya. Siapa tahu dia dapat membantu."

"Menyeramkan." Leon bergidik ngeri, setelah diperhatikan, ketiga mayat werewolf itu matanya melotot seperti terkejut dan berwarna merah.

"Anda harus mengantisipasinya, Leon. Bagaimana masalah pemburuan hewan langka di sana? Ulah manusia atau makhluk immortal?" tanya Orlan. Masalah ini tidak kunjung menemukan titik temu.

Leon mendengus. "Entahlah. Sepertinya ulah makhluk immortal. Karena tidak ada jejak bau manusia sama sekali."

"Alpha, Anda telah menemukan mate?" tanya Devin antusias.

Orlan memiringkan kepala. "Tahu dari siapa?"

"Dafa." Devin menunjuk Dafa.

Dafa memelotot. "Hei, kau yang menguping pembicaraan saya dengan Arva. Jadi terpaksa saya menjelaskan semuanya." Dia tidak terima.

Orlan memutar bola matanya malas. Tidak beta, gamma, semuanya suka bergunjing.

"Akan saya atur jadwal untuk mengunjungi Tongass Pack," ucap Orlan. Leon mengangguk. Orlan melirik Dafa yang tengah menunggu perintah.

"Siap, Alpha. Saya akan mengatur jadwalnya." Dafa bersemangat.

"Devin, mungkin saya nanti akan meminta bantuanmu." Orlan menoleh pada Devin yang dari tadi berdiri di sampingnya.

"Siap, Alpha. Saya akan siap kapan pun itu." Devin tersenyum lebar.

"Lalu aku bagaimana?" tanya Arva. Dia juga ingin mendapatkan perintah.

"Tetap berada di samping Noura." jawab Orlan, sekilas senyuman terlukis di wajahnya mengingat Noura.

"Oke." Arva tersenyum senang.