webnovel

My Husband Is a CEO

Putaran alunan waktu membuat dua insan bertemu, lewat sebuah kejadian tidak terduga Elvan dan Nesya menjalin hubungan hikmad tanpa dasar cinta. Terpaksa menikah karena dijebak oleh teman-temannya, bukannya suka, Nesya justru semakin membenci Elvan–Suaminya. Kesal pun senantiasa menyelimuti hati, lalu apakah nanti Sang Penguasa membolak balikkan hati? "Aku tidak ingin ikut Pria Miskin itu, Ma!" Pria Miskin—sebutan Nesya pada SUAMI DADAKAN-nya. Lalu apakah benar Elvan lelaki miskin seperti dugaannya? Fine. Elvan tidak masalah dikatakan "Miskin" sama sekali tidak terhina, dia pun hanya melepaskan satu kata dari sela bibirnya, "Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Kata-kata itu seperti memberikan peringatan keras untuk sang Istri yang mempunyai taraf kesombongan, keangkuhan, dan keras kepala luar biasa, buktinya Nesya masih saja mengatai Elvan dengan hinanya, walau pun sedikit demi sedikit lelaki itu mulai membuka siapa dia sesungguhnya. Namun, seiring perjalanan pernikahan, banyak misteri yang menjadi pertanyaan dalam benak Nesya tentang sang suami. Penasaran tentang itu, Nesya pun diam-diam sering kepo dengan kehidupan pribadi sang suami. Bagaimana akhir perjalanan pernikahan mereka. Ikuti kisahnya di My Husband Is a Ceo

Maidina_Asifa94 · Urban
Not enough ratings
35 Chs

Tolongin Kita!

Hentakan kaki Nesya tenggelam bersama pintu yang dibanting tangan mungilnya. Meski sendalnya telah kembali, toh rasa kesalnya sudah terlanjur menjadi-jadi.

"Eh, guys! Gue punya ide." Chacha mendekat dan berbisik kepada dua sahabatnya.

"Jangan deh, menurut gue itu kelewatan," komentar Dila.

"Gue setuju saja. Siapa tahu bisa merubah Nesya. Sekali-kali dia harus dikasih pelajaran atas sikapnya," sela Andin.

"Betul, Ndin," sahut Chacha.

"Tapi ...." Dila masih ragu. "Demi kebaikan Nesya nggak apa-apa deh," pasrahnya.

"Kalau gitu ayo kita buat rencananya!"

Andin dan Dila mengangguk menyetujui usulan Chacha. Melanjutkan sesi pemotretan, mereka sesekali memikirkan bagaimana cara mengerjai Nesya nanti malam.

***

Piringan matahari semakin beranjak turun dan menghilang di balik cakrawala. Meninggalkan cahaya merah(syafak) yang pelan-pelan juga berbaur dengan kegelapan malam.

Elvan sangat menanti pemandangan ini. Kembali keluar dari villa, dia berjalan menuju kebun teh di dekat sana. Menghirup udara segar khas dari pegunungan.

Di sini aku bisa tenang dan di sini juga aku bisa melepaskan semua beban. Meskipun hutang itu tidak akan lunas, setidaknya di sini aku bisa sejenak lari dari kenyataan dan menghindar dari segala permasalahan, batin Elvan.

Mengusap wajahnya, lelaki itu masih memandang hamparan hijau luas di depan sana. "Oh Tuhan, apa pun rencana dan takdir yang telah Engkau tentukan untukku. Aku yakin jika semua itu adalah yang terbaik untuk aku jalani."

Beberapa kali Elvan menghela napas dan menghembuskannya dengan kasar, memejamkan mata untuk meresapi setiap nikmat Tuhan yang sekarang dapat rasakan.

"Elvan! Elvan!"

Teriakan itu menyentak Elvan dari renungannya. Membuka mata, dia mencari asal suara. "Chacha, Andin?" herannya.

"Elvan! Van! Tolongin kita!"

Dua orang gadis cantik itu nampak panik. Seluruh tubuhnya bermandikan keringat sekarang. Namun, tidak menyurutkan semangat mereka untuk terus berlari mendekat pada Elvan.

"Van! Tolongin kita!"

"Lo mau 'kan nolongin kita!"

"Ini sudah hampir malam lo, Van!"

"Tolongin kita ya!"

Heboh sekali keduanya, sampai-sampai berebutan untuk ngomong pada Elvan. Bahkan Chacha sampai menggoyang tubuh lelaki itu.

"Iya ... iya aku akan tolongin kalian, tapi bicara yang benar dulu. Ceritakan apa yang terjadi dan apa yang mesti aku bantu."

Chacha dan Andin saling melirik satu sama lain. Lalu menarik napas panjang sebelum bicara.

"I-itu." Andin tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena lebih mengeluarkan air mata sedihnya.

"Kalian kenapa sih? Apa yang terjadi?" Elvan seketika cemas, melihat tingkah dua gadis itu.

"I-itu, teman kita tersesat," tukas Chacha.

"Apa?! Kalian serius?!" Jantung Elvan rasanya mau copot sekarang.

Andin dan Chacha mengangguk takut. "Lo, tolongin kita cari ya?"

"Tersesat di mana? Ini mau malam!" Elvan seketika panik, yang ada dalam pikirannya justru Nesyalah yang sedang tersesat, karena semenjak tadi dia tidak melihat gadis jutek itu.

"Siapa yang tersesat?!"

Ketiga anak muda itu menoleh pada seseorang yang datang dari dalam villa. Dengan wajah bingung, dia mendekat dan menghampiri mereka.

"Cha, Ndin. Siapa yang tersesat?" tanyanya sekali lagi.

Elvan juga menunggu jawaban dari dua gadis itu.

"I-itu ... Dila yang tersesat!" jawab Chacha dalam satu tarikan napas. Dia menunduk takut, tidak berani menatap Elvan maupun Nesya yang sedang terbelalak lebar.

"Kok, bisa?! Emang kalian habis dari mana?! Bukannya tadi cuma di depan villa?!" cecar Nesya.

"Tadi kita jalan-jalan ke arah kebun teh buat foto-foto sunset, terus gue nggak tahu Dila kemana sekarang. Dia tiba-tiba menghilang," terang Andin.

"Apa mungkin dia sudah kembali ke dalam villa?" tebak Elvan.

"Biar gue cari ke dalam," tukas Nesya yang langsung berbalik lagi.

"Nggak mungkin!" cegah Chacha.

Nesya mengurungkan niatnya, dia kembali berbalik dan menatap pada dua sahabatnya. "Bisa saja 'kan dia sudah balik tanpa sepengetahuan kalian."

"G-gue t-tadi l-lihat d-dia b-berjalan p-paling j-jauh. Iya, gue lihat dia yang jalan paling jauh dan dia berjalan ke arah hutan sana, terus pas gue fotoin Chacha, dia hilang," terang Andin.

"Iya, dia hilang gitu saja. Kita panggil-panggil dan kita cari-cari dia sudah nggak ada," sahut Chacha.

Elvan memicingkan mata, entah mengapa dia tiba-tiba menaruh curiga pada dua gadis yang sedang teramat gugup itu.

"Please! Kalian tolong kita cari Dila ya?" Andin menangkupkan kedua telapak tangannya.

"Iya, kalian bantu kita cari ya? Gue takut, takut kalau terjadi apa-apa sama dia." Chacha pun melakukan hal sama.

Elvan melirik ragu pada Nesya, lalu dia juga melirik pada dua wajah yang sudah basah dengan air mata itu.

"Please ya, Van. Cuma lo, orang yang kita kenal di sini," rayu Andin.

"Iya, Van. Kita tidak tahu mau minta tolong sama siapa lagi. Ini sudah hampir malam dan Dila kemungkinan akan bingung mencari jalan keluar di hutan sana." Chacha semakin terisak, dia berulang kali melirik sendu ke arah hutan.

Menghela napas, Elvan akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan cari dia ke arah hutan. Kalian cari dia di sekitaran sini ya? Siapa tahu dia sudah kembali."

Berjalan ke arah hutan, Elvan mesti menyusuri hamparan kebun teh nan luas dulu.

"Tunggu!" cegat Nesya menghentikan langkah Elvan.

"Gue ikut Cowok miskin itu dan kalian cari sekitaran sini," pungkas Nesya.

Andin dan Chacha mengangguk cepat. "Baiklah," sahut Andin.

"Gue bawa ponsel, kalau Dila sudah kembali cepat hubungin gue," ucapnya sebelum pergi.

Chacha mengacungkan jempolnya. Lalu membiarkan Nesya yang menyusul Elvan ke arah hutan sana.

"Hati-hati ya, Nes," pesan Andin.

"Sip," jawab Nesya sembari tersenyum lembut. "Woi! Cowok miskin! Tungguin gue!"

Elvan memelankan langkah kakinya, sampai Nesya bisa menyusulnya. Diam tanpa sepatah kata, dia hanya memikirkan di mana kiranya bisa menemukan Dila yang menghilang entah kemana.

"Jalannya bisa pelan nggak, sih?! Kaki gue masih nyeri tahu," sungut Nesya.

"Kalau masih sakit, kenapa nggak diam di villa saja."

Mata Nesya terbelalak. "Yang hilang itu sahabat gue! Mana bisa gue cuma diam saja!" Kesal sekali rasanya Nesya sekarang, apalagi dengan gaya cool yang tiba-tiba dikeluarkan Elvan.

Elvan mengendikkan bahu acuh, dia fokus pada pencarian dengan mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Sesekali berteriak, dia memanggil nama Dila, dan berharap orang yang dicarinya akan mendengar dan segera menghampirinya.

"Au-au-au! Ish, dasar batu sialan! Kenapa mesti di situ, sih. Kaki gue 'kan makin sakit pas keinjek!"

Kepala Elvan rasanya mau pecah sekarang, dari tadi gadis jutek itu tidak berhenti bersungut sendirian.

"Eh, Cowok miskin! Kita beneran mau cari Dila ke hutan?"

"Hm."

"Ini hampir malam lo, bagaimana kalau kita yang tersesat di sana." Nesya bergidik ngeri membayangkan dia tersesat dalam kegelapan sendirian, ada binatang buas dan ada suara-suara aneh di sana.

Elvan menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menatap Nesya. "Kalau kamu takut, kembali saja. Aku akan cari dia sendirian."

Nesya sontak semakin kesal, berbalik arah, dia menatap hamparan kebun nan luas. Dia baru sadar kalau ternyata posisi mereka sudah sangat jauh dari villa. "What!" pekiknya.

"Harinya sudah gelap lagi, mana mungkin gue jalan sendiri," gumamnya.

Elvan mengulas senyum. "Di sini seram lo, apalagi kalau malam. Katanya ada hantu yang sering culik gadis jutek kaya kamu."

"Aaa!"