webnovel

My Husband Is a CEO

Putaran alunan waktu membuat dua insan bertemu, lewat sebuah kejadian tidak terduga Elvan dan Nesya menjalin hubungan hikmad tanpa dasar cinta. Terpaksa menikah karena dijebak oleh teman-temannya, bukannya suka, Nesya justru semakin membenci Elvan–Suaminya. Kesal pun senantiasa menyelimuti hati, lalu apakah nanti Sang Penguasa membolak balikkan hati? "Aku tidak ingin ikut Pria Miskin itu, Ma!" Pria Miskin—sebutan Nesya pada SUAMI DADAKAN-nya. Lalu apakah benar Elvan lelaki miskin seperti dugaannya? Fine. Elvan tidak masalah dikatakan "Miskin" sama sekali tidak terhina, dia pun hanya melepaskan satu kata dari sela bibirnya, "Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Kata-kata itu seperti memberikan peringatan keras untuk sang Istri yang mempunyai taraf kesombongan, keangkuhan, dan keras kepala luar biasa, buktinya Nesya masih saja mengatai Elvan dengan hinanya, walau pun sedikit demi sedikit lelaki itu mulai membuka siapa dia sesungguhnya. Namun, seiring perjalanan pernikahan, banyak misteri yang menjadi pertanyaan dalam benak Nesya tentang sang suami. Penasaran tentang itu, Nesya pun diam-diam sering kepo dengan kehidupan pribadi sang suami. Bagaimana akhir perjalanan pernikahan mereka. Ikuti kisahnya di My Husband Is a Ceo

Maidina_Asifa94 · Urban
Not enough ratings
35 Chs

Tidak Ada Pilihan Lain

"Aaa!!!"

Nesya menghambur memeluk Elvan, dia takut sekali dengan yang namanya setan. "Gue takut," rengeknya seraya menelungkupkan wajah pada lengan lelaki itu.

Elvan tergelak dengan tawa kencang. "Aku cuma becanda," akunya jujur.

Memukul lengan Elvan, tapi nampaknya Nesya tetap takut sekarang. Apalagi dengan hari yang semakin gelap dan bunyi binatang hutan senantiasa bersahutan.

"Sudah jangan takut, ada aku di sini." Elvan mengulas senyum, ternyata lucu juga kalau Nesya seperti ini.

Melanjutkan perjalanan, Nesya jadi tidak banyak ngomong. Tangannya juga terus-terusan melingkar pada lengan Evan. Di kala memasuki pinggiran hutan pun, dia sesekali menyembunyikan wajah ketika suara burung hantu dan sinar mata burung itu menyorotnya.

"Van, kita balik saja ya? Gue takut beneran." Ternyata Nesya bisa juga berbicara lembut dan memanggil namanya.

"Dila masih belum ketemu, Nes. Kasihan dia kalau sendirian di dalam hutan sana."

Benar juga apa kata Elvan, dia yang besama teman saja takut. Apa lagi kalau sendirian di tengah hutan sana. Menghela napas, Nesya pasrah mengikuti jejak langkah lelaki itu.

Tes-tes-tes!

"Van, hujan!"

Hujan turun tanpa diminta. Nesya mengangkat tangan untuk menampik air yang membasahi mukanya.

"Tambah deras lagi," ucap Elvan. "Kita ambil jalan kiri saja, di sebelah sana ada pondok kecil milik para pekebun teh."

Tanpa berpikir panjang keduanya berlari ke arah jalan yang di tuju Elvan. Masuk ke dalam sebuah gubuk kecil yang biasa digunakan para petani teh berteduh saat bekerja.

"Gelap, Van." Nesya meraba-raba dan mencari apa saja yang bisa dia buat berpegangan.

Bugh!"

"Au!" Kaki Nesya membentur sesuatu.

"Sebentar, Nes." Merogoh saku, beruntung Elvan membawa korek api. Menyalakannya, dia meneliti setiap isi gubuk itu, siapa tahu saja ada yang bisa dia gunakan di sana.

"Ada tungku dan kayu bakar." Memanfaatkan itu, Elvan menyusun kayu dan menyalakannya di sana.

"Ini bisa kita gunakan untuk penerangan sekaligus menghangatkan diri," terang Elvan.

Nesya mengangguk dengan bibir yang bergetar hebat. Memeluk tubuhnya yang basah, wajah gadis itu sampai pucat pasi menahan kedinginan.

"Mendekatlah," perintah Elvan. "Kamu butuh kehangatan."

Menurut saja, karena tidak ada pilihan lain lagi untuk Nesya. Tubuhnya benar-benar seakan mati rasa.

"Baju kamu basah, kalau tidak di ganti bisa-bisa kamu sakit."

"Tapi, aku ganti sama apa?"

Elvan mengedarkan pandangan, tapi dia tidak menemukan sesuatu yang bisa dibuat untuk berganti pakaian. Menunduk pada tubuhnya, dia sontak melepas jaketnya. Lalu berganti melepas kaosnya.

"Kamu pakai ini saja," tukasnya.

Untunglah baju Elvan tidak basah sampai ke dalam, sehingga dia bisa memberikan kaosnya pada Nesya.

"Tapi lo?" Nesya menatap lelaki yang sudah setengah polos itu, jujur saja, dia sempat terpesona pada bentuk tubuh Elvan. Namun, lagi-lagi ego akan mengalahkannya.

"Aku nunggu jaketku kering saja," pungkasnya.

Nesya mengangguk, lalu mengambil baju tersebut dengan ragu. Badannya sudah hampir membeku kedinginan sekarang, hingga tidak ada pilihan lain untuk dirinya. Mengedarkan pandangan, dia bingung mau berganti di mana.

"Gantilah, aku akan tutup mata." Elvan sontak menutup matanya.

"Mana bisa gue percaya sama lo." Nesya menatap lelaki yang sudah merem itu.

"Tidak ada pilihan lain buat kamu. Semakin lama kamu berganti, maka semakin mengigil yang kamu yang kamu rasakan."

Oh baiklah. Nesya harus sering kali menurunkan egonya sekarang. "Jangan ngintip ya," pintanya.

Elvan berbalik dan juga menutup mata. "Cepat ganti," tegasnya.

Nesya bergerak cepat seirama dengan jantungnya yang berdegup hebat. "Cowok misikin jangan ngintip," serunya.

"Aku dari tadi merem. Kamu cepetan."

Hening sesaat. Sampai Nesya berdehem keras, "Ehem! Sudah selesai."

Elvan berbalik dan menatap Nesya, baju putih itu kontras dengan kulit mulus gadis itu. Meski kebesaran, tetap saja tidak bisa dipungkiri kalau dia memang cantik memakai apa saja.

"Apa lo, natap gue segitunya," sewot Nesya.

Elvan terperanjat dan mengerjapkan matanya. Menggaruk belakang kepala, lalu dia membuka bibirnya untuk bicara, "Ternyata kaos tanah abang lebih cocok di tubuh kamu."

Mata Nesya membelalak sempurna. "Apa!" pekiknya. Berani sekali lelaki itu mengatainya. Berkacak pinggang, Nesya maju menghampiri Elvan, tangannya sontak mencapit daun telinga Elvan.

"Au-au-au!" Elvan meringis kesakitan.

"Rasain lo. Jangan pikir gue sudi makai kaos tanah abang punya lo ya. Ini hanya karena gue terpaksa saja sekarang. Kalau tidak bisa gue bakar ini kaos sekarang juga."

Galak sekali wanita itu. "Lepas, Nes. Please." Elvan memohon karena cuping telinganya sudah sangat perih dan panas. "Bisa lepas kuping  aku," keluh lelaki itu.

Menarik kasar napasnya, Nesya melepaskan Elvan. "Minta maaf," titahnya bagai ratu.

Menggosok telinganya yang merah, Elvan justru mengulas senyum untuk wajah judes itu.

"Apa?! Mau lagi?!" Nesya kembali mendekatkan tangan kanannya.

"Jangan-jangan!" cegah Elvan mundur dengan tangan yang tertangkup dua.

"Aku minta maaf," tutur Elvan.

"Yang benar!" hardik Nesya.

Menarik napasanya, Elvan lalu berdiri tegak. "Maafkan saya Tuan Putri," ucapnya seraya membungkukkan setengah badan bagai pelayan.

Nesya menghela napas dan menurunkan tangannya. "Baiklah, gue maafin," ucapnya.

Melupakan kejadian itu, Nesya lagi-lagi mengedarkan pandangannya. Bahunya berkali-kali bergidik ngeri. Rasa takut sekaligus jijik berbaur menguasai Nesya.

"Sini baju lo, biar gue gantung."

Elvan menengadahkan tangannya. Menjemur baju wanita itu, setelah Nesya menyerahkannya. "Ini gubuk tempat para petani teh berteduh dari panas dan hujan siang hari," terang Elvan.

Nesya mengangguk. "Lo tahu banyak tentang tempat ini, apa lo orang sini?"

Elvan menarik tangan Nesya untuk duduk di dekatnya. "Biar badan lo hangat. Lagian celana kita masih basah, dan kita juga tidak mungkin menggantinya."

Nesya menurut saja. Dia menunggu jawaban Elvan tentang pertanyaannya yang tadi. Baru kali ini dia merasakan penasaran pada lelaki, terlebih lelaki itu jauh sekali dengan standar seleranya.

"Nyokap aku Banjarmasin, tetapi dia merantau dan jadi pekerja pekebun teh di sini."

Nesya mengangguk. Benar dugaannya kalau lelaki itu hanya lelaki miskin dan anak petani di sini. "Pantas lo tahu banyak tempat ini, ternyata anak petani sini."

Elvan mengulas senyum tipis, dia tidak mengambil hati sama sekali dengan ucapan Nesya yang sering kali kelewat batas. "Iya, aku cuma anak petani teh."

"Lalu Ayah lo?"

"Ayah aku sudah menginggal semenjak aku berumur lima tahun," akunya.

Nesya mengangguk. Ada rasa bersalah di dirinya menanyakan itu, tetapi secepat mungkin dia mengusir setiap rasa itu. "Ibu lo sekarang di mana?"

"Ibu aku juga sudah tidak ada. Makanya aku sekarang tidak tinggal di sini lagi," terangnya.

"Terus lo tinggal di mana?"

"Aku merantau ke jakarta dan bekerja di sana. Namun, sesekali aku sering liburan kesini untuk menenangkan diri."

Membulatkan bibir, Nesya dan Elvan menghabiskan waktu mereka berbicara di malam yang panjang tersebut. Melepaskan ego sejenak, wanita itu sebenarnya orangnya baik. Hanya saja lingkungan dan sifat sombong sudah mempengaruhi dan melekat erat pada dirinya.