webnovel

My Husband Is a CEO

Putaran alunan waktu membuat dua insan bertemu, lewat sebuah kejadian tidak terduga Elvan dan Nesya menjalin hubungan hikmad tanpa dasar cinta. Terpaksa menikah karena dijebak oleh teman-temannya, bukannya suka, Nesya justru semakin membenci Elvan–Suaminya. Kesal pun senantiasa menyelimuti hati, lalu apakah nanti Sang Penguasa membolak balikkan hati? "Aku tidak ingin ikut Pria Miskin itu, Ma!" Pria Miskin—sebutan Nesya pada SUAMI DADAKAN-nya. Lalu apakah benar Elvan lelaki miskin seperti dugaannya? Fine. Elvan tidak masalah dikatakan "Miskin" sama sekali tidak terhina, dia pun hanya melepaskan satu kata dari sela bibirnya, "Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Kata-kata itu seperti memberikan peringatan keras untuk sang Istri yang mempunyai taraf kesombongan, keangkuhan, dan keras kepala luar biasa, buktinya Nesya masih saja mengatai Elvan dengan hinanya, walau pun sedikit demi sedikit lelaki itu mulai membuka siapa dia sesungguhnya. Namun, seiring perjalanan pernikahan, banyak misteri yang menjadi pertanyaan dalam benak Nesya tentang sang suami. Penasaran tentang itu, Nesya pun diam-diam sering kepo dengan kehidupan pribadi sang suami. Bagaimana akhir perjalanan pernikahan mereka. Ikuti kisahnya di My Husband Is a Ceo

Maidina_Asifa94 · Urban
Not enough ratings
35 Chs

Ganggu Pemandangan

"Dasar cowok miskin kurang ajar! Beraninya lo pegang-pegang kaki gue!" murka Nesya. Jika tidak dipegangi Dila dan Chacha, mungkin sahabatnya itu sudah siap menerkam Elvan.

Elvan justru menghela napas lega. Menatap kaki gadis itu yang sudah bisa menapak sempurna. Kembali bangkit berdiri, dia menatap pada empat gadis di depan sana.

"Jangan selalu menilai orang dari segi luar, karena tidak selamanya penampilan menjadi sebuah patokan untuk kehidupan orang." Elvan berlalu begitu saja setelah mengatakan itu, tapi hanya beberapa langkah dia kembali membalikkan badannya. "Semoga kaki kamu sedikit mendingan," ucapnya.

Nesya sontak menunduk menatap kakinya yang sudah bisa dipijakkan. Meski masih sedikit nyeri, tapi setidaknya tidak separah tadi. "Ternyata dia juga tukang pijat," gumamnya.

Astaga. Ketiga temannya hanya bisa mendengkus, mau menegur pun rasanya percuma. Nesya memang dari dulu seperti itu, suka menilai orang seenaknya saja. Apalagi terhadap lelaki yang notabenenya bukan seleranya.

"Ayo kita kembali ke villa," ajak Chacha.

"Ayo, gue juga mau mandi. Badan gue kotor banget gara-gara cowok miskin tadi," dumel Nesya.

"Nes, dia punya nama. Namanya Elvan," protes Dila.

"Ya lo aja panggil dia Elvan. Bagi gue dia tetap si cowok miskin. Lihat saja penampilannya, kucel kaya gitu, nggak sanggup beli baju."

"Terserah lo deh, Nes." Kali ini Andin yang angkat bicara. "Walau pun dia miskin atau apa, tapi tidak seharusnya lo seperti tadi sama dia. Harusnya lo berterima kasih sama dia yang sudah membantu lo berkali-kali," nasehat Andin.

"Ogah! Bukan gue juga yang mau minta tolong, toh dia yang suka rela menolong."

Ketiga sahabat Nesya hanya menghela napas. Selalu seperti ini gadis itu, keras kepala, egois, dan semaunya.

"Ayo dong kita ke villa, ini badan gue kotor semua," rengek Nesya.

Mereka kembali ke vila, Nesya masih dibantu Dila dan Chacha dalam berjalan. Ya meski kakinya sedikit mendingan, tapi kalau dipaksakan mereka takut sahabatnya itu akan kembali ke sakitan.

***

Elvan tidak ambil pusing dengan barusan yang terjadi, dia sudah terbiasa menghadapi gadis kota yang sombong seperti Nesya. Toh memang benar yang dikatakannya, Elvan memang dekil dan kucel dalam penampilannya.

Masuk ke dalam kamar mandi, dia membersihkn diri. Sejenak berendam dengan air hangat, lelaki itu merileksasikan seluruh anggota tubuhnya.

"Meski judes tapi cantiknya boleh juga," gumam Elvan. Sudut bibirnya melengkung ke atas.

"Oh ayolah, Van. Kamu ke sini bukan untuk mencari wanita, kamu ke sini untuk sebuah ketenangan semata."

Elvan menyangkal pikirannya, segera menyelesaikan sesi berendam, dia membasuh tubuh penuh busa di bawah guyuran shower di sana.

"Segar sekali rasanya." Lelaki itu menyambar handuk dan melilitkan pada pinggang. Menyugar rambut basahnya ke belakang, dia benar-benar merasakan ketenangan.

Keluar dari kamar mandi, dia mengurungkan niat menuju lemari, karena ponselnya di nakas telah berbunyi. Menyambar benda pipih tersebut, Elvan berdecak di kala membaca nama yang tertera di sana.

"Sudah saya bilang! Saya tidak ingin di ganggu, paham!"

Mematikan sambungan sepihak, Elvan tidak memberikan kesempatan orang di seberang sana untuk bicara. Kepalanya serasa kembali berdenyut. Menonaktifkan ponsel, dia tidak ingin diteror lagi.

"Lebih baik aku buat kopi." Menyambar baju kaos putih dan celana pendek selutut, lelaki itu hanya mengeringkan rambutnya asal dengan handuk.

"Aku lupa bawa sisir lagi," ucapnya. Menyugar dengan sela we-sela ibu jari, dia tidak ambil pusing soal penampilannya.

Mengacak-acak isi koper, dia mengambil kopi instan yang selalu dibawanya. Menyeduh dengan air panas pada galon, lelaki itu sontak membawanya ke balkon. Meletakkannya pada meja kecil di sana, dia juga tidak lupa membawa beberapa biskuit untuk pelengkapnya.

***

Keempat gadis cantik sedang santai di halaman depan villa. Selesai membersihkan diri, mereka memutuskan untuk berkumpul di depan penginapan itu saja. Berfoto-foto untuk mengabadikan setiap momen liburan kali ini.

"Eh fotoin gue dong," pinta Nesya. Dengan tertatih dia berjalan untuk membelakangi Villa, membentangkan kedua tangan, dia bergaya layaknya burung yang ingin terbang.

"Ganti gaya Nes!" Chacha mengambil beberapa foto sahabatnya.

"Coba gue lihat fotonya." Nesya perlahan mendekat, mengambil benda digital dari tangan Chacha dia melihat beberapa potret dirinya.

Slide demi slide dia merasa puas dengan hasilnya. Namun, senyum itu pudar di kala foto terakhir terpampang. "Apa ini? Kenapa ada dia di foto gue."

Kaget, karena ada sebuah penampakan di belakang. Nesya sontak berbalik dan sedikit mendongak. "Dasar cowok sialan," umpatnya.

Ketiga sahabatnya yang mengkerutkan kening pun akhirnya mendapat jawaban saat mengekor tatapan Nesya. "Wow, ternyata tampan juga," puji Dila.

Lelaki dalam balutan kaos putih itu pun tersadar akan dirinya yang sedang diperhatikan beberapa wanita. Mengulas senyum, dia mengangkat cangkir kopi dan memberi isyarat menawari para gadis itu.

"Ya ampun, senyumnya." Andin saja sampai terpesona dengan pemandangan indah di sana.

"Itu beneran Elvan 'kan?" Chacha pun turut tidak percaya. Pasalnya sangat berbeda dari tadi yang baru saja berkenalan dengan mereka.

"Dasar kalian lebai," protes Nesya yang justru terlihat kesal.

"Woi! Cowok miskin! Minggir lo sana! Ganggu pemandangan gue foto tahu nggak!"

Astaga! Kenapa justru reaksi berbeda ditunjukkan oleh gadis jutek itu. Berjongkok dan mengambil sendal di kaki kanan, dia melemparkannya ke arah Elvan. "Jauh-jauh sana! Dasar miskin!"

Chacha, Dila, dan Andin pun sontak menutup mata mereka dengan tangan. Sendal yang melayang sepertinya akan tepat mengenai sasaran. Mengingat kalau Nesya adalah pemain basket dengan lemparan bola terhebat dulu.

Bugh!

"Thanks sendalnya," ucap Elvan.

Mungkinkah lelaki itu kiper terhebat dalam permainan bola? Bisa jadi. Soalnya dia dengan mudah menangkap sendal tersebut dengan sebelah tangan. Senyum yang tadinya terukir indah pun, kini menjadi gelak tawa di kala Nesya semakin gencar menggerutunya di bawah sana.

"Eh, Lelaki miskin! Balikin sendal gue! Itu sendal mahal tahu!"

Dila membuka matanya lebih dulu, lalu diikuti dua sahabatnya yang justru ternganga menyaksikan pemandangan itu.

Berkacak pinggang, Nesya bergaya menantang. "Balikin nggak! Lo tidak akan mampu membelinya walau hanya sebelah tahu!"

Lagian ya, Nes. Mana ada orang yang jual sendal sebelah. Ada-ada saja.

"Dasar, Cowok miskin! Sendal satu saja pakai acara diambil!"

Elvan menghentikan tawanya, lalu mengendikkan bahu acuh. "Ini gue balikin!" Dia melempar kembali sendal sebelah itu.

"Dengar ya Anak sultan! Sendal kaya gitu banyak yang obral di Tanah abang sana. Cuma sepuluh ribu dapat dua pasang." Berbalik, Elvan masuk ke dalam kamarnya.

"What! Sendal gue! Tanah abang!" Shock Nesya.

"Eh, Cowok dekil, kucel, sialan. Dasar miskin lo! Ini sendal limited edision! Enaknya bilangnya banyak di tanah abang! Awas lo ya!"

Ketiga sahabatnya tergelak tertawa, baru kali ini ada lelaki yang bisa membalas Nesya seperti itu. Apalagi lelaki itu tergolong sangat sederhana dalam tampilannya.

"Apa kalian tertawa! Senang lihat gue dihina!"

Ya ampun! Nesya ... Nesya! Siapa yang menghina dia coba. Yang ada dia yang sedari tadi menghina dan mengatai orang.