webnovel

My Husband Is a CEO

Putaran alunan waktu membuat dua insan bertemu, lewat sebuah kejadian tidak terduga Elvan dan Nesya menjalin hubungan hikmad tanpa dasar cinta. Terpaksa menikah karena dijebak oleh teman-temannya, bukannya suka, Nesya justru semakin membenci Elvan–Suaminya. Kesal pun senantiasa menyelimuti hati, lalu apakah nanti Sang Penguasa membolak balikkan hati? "Aku tidak ingin ikut Pria Miskin itu, Ma!" Pria Miskin—sebutan Nesya pada SUAMI DADAKAN-nya. Lalu apakah benar Elvan lelaki miskin seperti dugaannya? Fine. Elvan tidak masalah dikatakan "Miskin" sama sekali tidak terhina, dia pun hanya melepaskan satu kata dari sela bibirnya, "Jangan menilai seseorang dari penampilannya." Kata-kata itu seperti memberikan peringatan keras untuk sang Istri yang mempunyai taraf kesombongan, keangkuhan, dan keras kepala luar biasa, buktinya Nesya masih saja mengatai Elvan dengan hinanya, walau pun sedikit demi sedikit lelaki itu mulai membuka siapa dia sesungguhnya. Namun, seiring perjalanan pernikahan, banyak misteri yang menjadi pertanyaan dalam benak Nesya tentang sang suami. Penasaran tentang itu, Nesya pun diam-diam sering kepo dengan kehidupan pribadi sang suami. Bagaimana akhir perjalanan pernikahan mereka. Ikuti kisahnya di My Husband Is a Ceo

Maidina_Asifa94 · Urban
Not enough ratings
35 Chs

Jangan Pegang Gue! Dekil!

Kejadian itu sangat membekas di benak Nesya. Bahkan ia sangat ingat sekali apa yang terjadi setiap detiknya. Pada tanggal empat Desember, atau tepatnya tiga hari lalu. Dia bersama tiga sahabatnya pergi liburan ke Puncak. Mengisi weekend untuk sekedar melepas penat. Penat dari segala aktivitas kampus yang menguras otak.

"Minggu depan kita sudah harus magang dan pasti terpisah tempat." Nesya berujar dengan bibir bawah yang maju ke depan.

"Semoga saja nggak, Nes," sahut Andin sahabatnya.

"Gue juga berharap gitu," timpal Chacha.

"Oh ayolah. Jangan mikir ke sana dulu. Lebih baik  kita fokus liburan saja. Lagian kalau pun terpisah, toh kita masih bisa nongkrong bareng dan kontek-kontekan." Nadila juga ikut mengimbuhi pembicaraan mereka.

"Dila benar. Kita fokus liburan saja, dan gue mau puas-puas foto di sini sama kalian." Nesya berlari-lari kecil menyusuri perkebunan teh di sana. "Fotoin gue dong," pintanya.

Tiga sahabatnya hanya geleng-geleng kepala, gadis manja itu memang selalu membuat dia repot dengan kerempongan selfienya. Namun, yang namanya sahabat. Mereka pasti selalu berusaha ada satu sama lain.

Chacha merogoh ponsel di dalam tas, mendekat pada Nesya dia mulai mengambil foto candid sahabatnya itu. Berlatar belakang kebun teh yang terlihat indah di pegunungan.

"Nes, jangan terlalu minggir. Takutnya ada ...."

"Nesya!"

"Aaaa!"

Chacha, Dila, dan Andin berlari ke arah sahabatnya. Mata mereka membulat sempurna karena Nesya kehilangan keseimbangan sementara  di belakangnya terdapat jurang yang lumayan dalam.

"Tolong!" jerit Nesya. Siapa yang bisa membantunya sekarang, tidak ada orang di sana. Hanya mampu memejamkan mata, gadis itu pasrah jika nyawanya akan berakhir di sini.

Tap!

Bugh!

Tubuh itu terguling di atas tanah yang basah. Namun, mujurnya dia tidak terjerembab ke jurang. Ada seseorang yang berhasil menarik dan menolongnya dari sebuah kematian di depan mata.

"Auu!" ringisnya seraya memegang kepala. "Sakit banget!"

"Kamu tidak apa-apa?"

Nesya tersadar akan suara bariton itu. Matanya mengerjap, lalu terbelalak lebar. No! ada seorang lelaki yang mengukungnya. Sejenak mereka saling mengunci tatapan satu sama lain. Hingga ....

"Nesya! Lo nggak apa-apa 'kan?!" Netra segaris itu terputus oleh teriakan tiga gadis comel di sana.

"Ih ... sana jauh-jauh! Ngapain lo meluk-meluk gue!" Nasya mendorong lelaki itu dan bergegas bangun. "Mana dekil lagi, pakai sentuh-sentuh gue," cicitnya.

"Aaaa!" Nesya berteriak nyaring.

"Kenapa Nes?" Semua kaget dan seketika khawatir pada gadis itu.

"Badan gue!"

"Kenapa? Ada yang sakit?" cemas lelaki itu, tangannya sontak ingin menyentuh Nesya.

"Jangan sentuh!" cegah Nesya sembari mundur selangkah.

Lelaki itu pun mengurungkan niat tangan, keningnya mengkerut penuh kebingungan. "Apa salah aku?" gumamnya menunjuk diri sendiri.

"Nes, lo nggak apa-apa 'kan?" Ketiga sahabatnya mendekat pada Nesya.

"Guys! Badan gue kotor!"

Astaga. Dikira ada apa. Ternyata hanya masalah kotor saja. Helaan napas lega terdengar dari beberapa orang di sana. "Gue pikir apa, Nes," ucap Chacha.

"Heem. Gue pikir juga apa," sahut Dila.

"Nanti kita bersihkan, Nes. Yang peting lo nggak apa-apa dulu," imbuh Andin.

Melirik lelaki yang baru saja menolong Nesya, Andin menganggukkan kepala seraya berucap, "Terima kasih, ya. Kita nggak tahu apa yang terjadi kalau tidak ada lo."

Lelaki itu mengangguk. "Sama-sama," jawabnya ramah. "Kalian liburan di sini?" tanyanya.

"Iya, kami dari Jakarta dan berlibur ke sini," jawab Chacha.

"Dan kami nginap di vila itu!" sambar Dilla. "Lo juga liburan di sini?" tanyanya balik.

"Orang dekil dan kucel seperti dia mana mungkin bisa liburan ke sini."

Ketiga sahabat Nesya menatap gadis itu dengan horor, ucapannya benar-benar keterlaluan menurut mereka. Bukankah harusnya dia berterima kasih di sana, tapi malah sebaliknya. Yang dilakukan Nesya justru terkesan menghina.

"Aku juga liburan ke sini. Dan kebetulan aku juga menginap di vila yang kalian tempati, karena vila itu milik ...."

"Milik saudara lo, 'kan." Lagi-lagi Nesya tanpa sopan menyambar omongan orang. "Sudah gue duga. Dari penampilan lo saja kelihatan sekali miskinnya, mana mampu bayar vila semahal itu kecuali ya numpang."

"Nes," tegur para sahabatnya.

Lelaki itu hanya tersenyum tipis menanggapi omongan Nesya. "Memang aku numpang sih, di sana," sahutnya santai. "Oh ya, kita belum ke nalan. Nama aku Elvan."

Mengulurkan tangan pada Nesya, lelaki itu justru mendapat respon yang tidak baik dari gadis judes tersebut.

"Ayo guys! Gue mau mandi." Dia berlalu begitu saja mengabaikan tangan Elvan yang menggantung di sana.

"Maafin teman kita ya, gue Andin." Andin menjabat tangan Elvan dengan ramah.

"Gue Dila, temannya Nesya. Nggak usah dengering omongan dia ya, lo ganteng, kok," cerosos gadis comel itu seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Dasar genit!" Chacha mendorong pelan temannya itu. Lalu mengulas senyum tipis untuk Elvan. "Gue Chacha. Sekali lagi terima kasih, karena sudah membantu teman gue. Kita tidak tahu kalau tidak ada lo tadi, mungkin Nesya akan jatuh ke jurang sana."

"Sama-sama, aku cuma kebetulan lewat kok, tadi. Lagian memang seharusnya kita saling bantu 'kan?"

"Kami juga mewakili Nesya minta maaf karena omongannya mungkin ...."

"Aaa!!!"

Keempat orang itu sontak menengok ke asal suara. "Nesya!" pekik ketiga sahabatnya.

Namun, hal lain justru dilakukan Elvan, lagi-lagi lelaki itu menyelamatkan Nesya untuk kedua kalinya. Mendorong tubuh mungil gadis tersebut, Elvan lalu mengambil tongkat kayu di dekat sana. Menjawil tubuh ular dengan ujungnya, lelaki itu sontak membuangnya menjauh dari sana.

"Argh!" Nesya meringis ketika tubuhnya terpental jatuh. Entah sudah berapa kali dia terjerembab hari ini.

"Kamu nggak apa-apa? Ular tadi nggak sempat gigit 'kan?!" cemas Elvan sembari mendekat pada Nesya yang terbaring di antara semak-semak.

"Ish, sana! Jangan dekat-dekat!" Nesya  mendorong Elvan yang ingin membantunya bangun. "Minggir!" marahnya seraya bangkit berdiri.

"Aaa!" Gadis itu terjatuh karena kehilangan keseimbangan. Namun bukan ke semak-semak seperti tadi, melainkan ke dalam pelukan Elvan yang sigap menangkapnya.

Deg!

Sejenak dua bola mata coklat itu saling melempar pandangan. Namun, untuk yang kedua kalinya, juga diputuskan oleh para sahabat Nesya yang datang mendekat.

"Nesya, lo nggak apa-apa? Mana ularnya? Sudah pergi 'kan? Elvan sudah membuangnya 'kan?" Memang Dila yang paling heboh di sini. "Terima kasih ya, Elvan. Lo sekali lagi nyelamatin Nesya."

Nesya yang tersadar akan kehadiran sahabatnya. "Sudah gue bilang jangan pegang-pegang! Lo itu dekil, bau, kucel, miskin. Sana jauh-jauh sama gue."

Gadis ini memang paling pandai menghina penampilan orang. Chacha, Dila dan Andin hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Aaa! Kaki gue!"

Dasar keras kepala, untung saja Elvan masih memeganginya. "Kaki kamu sepertinya terkilir, sini biar aku bantu."

"Nggak!" tolak Nesya. "Kalian kenapa diam saja! Bantu gue, kek!" bentak Nesya pada ketiga wanita yang terdiam di sana.

Elvan menyerahkan tangan Nesya pada Chacha dan Dilla, mengulas senyum nampaknya dia tidak tersinggung sama sekali dengan ucapan Nesya.

"Kaki gue sakit, gimana, dong? Mana di sini jauh sama dokter lagi," rengek Nesya.

Elvan berjongkok di bawah Nesya dan tanpa meminta izin dia menarik kaki gadis itu yang dia angkat pincang sebelah.

"Aaaaa!!!!" Nesya menjerit sangat kencang. Sampai Andin memegangi kedua kupingnya.