1 Aku Tidak Ingin Pergi bersama Pria Miskin itu!

"Aku tidak ingin ikut pria miskin itu, Ma!"

"Nesya! Jaga ucapan kamu! Papa tidak pernah mengajarkan kamu berbicara tidak sopan seperti itu!"

"Memang benar dia miskin 'kan?! lihat saja pakaiannya!"

Plak!

Satu telapak tangan mendarat keras pada pipi mulus Nesya Lituhayu–seorang perempuan berwajah cantik dan berhati bersih. Namun, nyatanya perangainya tidak seperti arti dari nama pemberian orang tuanya. Hati gadis muda tersebut tidak sebersih itu dalam memandang seorang lelaki yang kini duduk diam di ruang tamu rumahnya tersebut.

"Mama," lirihnya menatap wanita paruh baya yang baru saja menampar keras pipinya.

"Jaga ucapan kamu, Nesya! Sekarang dia suami kamu!" hardik sang Mama yang sudah nampak berkaca-kaca.

"Tapi, Ma."

"Cukup Nesya! Terima tidak terima sekarang kamu harus ikut suami kamu kemana pun dia akan mengajak kamu."

"Pa." Air mata Nesya tumpah ruah membanjiri pipi yang memerah akibat tamparan keras dari sang Mama. Menatap sendu pada kedua orang tuanya agar memberikan rasa iba kepadanya.

"Ma." Nesya memegang punggung tangan wanita yang sudah melahirkan dirinya ke dunia ini. Bertekuk lutut di bawah sang Mama, dia berharap wanita itu mencegahnya untuk pergi bersama lelaki yang tidak sama sekali dia kenal perangainya. "Nesya takut, Ma," adunya.

Ibu Nirmala sesungguhnya tidak tega pada sang putri, tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk anak semata wayangnya itu kedepannya. Lagi pula dia dan suaminya sudah sepakat untuk membiarkan Nesya tinggal bersama suaminya.

Tadi Malam, Pak Wawan dan Ibu Mala sudah berbicara tentang anaknya. Meski ada perdebatan, tapi akhirnya mereka menentukan keputusan terakhirnya.

"Ini demi kebaikan Nesya, Ma. Lihat perangainya selama ini, dia terlalu kita manja hingga akhirnya sangat keras kepala dan menjadi-jadi."

"Tapi, Pa. Apa Papa tidak kasian sama Nesya? Elvan itu lelaki miskin, Pa. Bagiamana bisa putri kita hidup bersamanya? mau makan apa dia Pa?"

"Ternyata Mama sama saja dengan Nesya, selalu memandang orang lain hanya dari materinya saja. Pokoknya Papa tidak mau tahu, Nesya tetap akan tinggal mandiri dengan suaminya."

Al hasil, Ibu Nirmala tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Mengelus pucuk kepala sang anak, dia hanya mampu memberikan nasehat. "Tinggallah bersama suamimu, Nak. Jadilah istri yang baik. Mama yakin Elvan juga akan menjadi suami yang baik dan menjaga kamu dengan baik."

Nesya memeluk kaki sang Mama semakin erat, membiarkan air matanya membasahi pakaian bagian bawah wanita paruh baya itu. Sementara Nirmala pun juga menumpahkan air matanya deras, menatap sang suami dia meminta lelaki itu untuk segera memintanya terlepas dari dilema ini.

Pak Wawan mengangguk pada Elvan yang semenjak tadi hanya duduk diam memerhatikan kedua orang tua dan anak itu. Mengekor setiap pergerakan sang menantu yang mulai beranjak berdiri, dia mengulas senyum tipis untuk lelaki tampan yang teramat sederhana itu.

"Papa titip dia," ujar Pak Wawan.

"Elvan pasti akan menjaganya dengan sebaik yang Elvan bisa, Pa, Bu." Membungkuk dan menyentuh bahu Nesya, dia membantu gadis manis itu untuk bangun. "Ayo kita pergi," ajaknya lembut.

"Aku bisa sendiri!" Menggerakkan bahunya, Nesya menatap tajam lelaki itu. Menghentakkan kakinya dengan keras, wanita cantik tersebut meninggalkan tiga orang di ruang tamu itu begitu saja.

"Maafkan sikap anak saya, Nak Elvan," tutur Pak Wawan.

"Tidak apa-apa, Pa. Bagaimana pun Nesya sekarang istri saya, sudah kewajiban saya untuk memaklumi setiap sikap dan sifatnya."

"Terima kasih, Nak Elvan. Mama titip Nesya ya sama kamu."

"Terima kasih juga sudah percaya sama Elvan, Ma." Menyalami kedua orang mertuanya, Elvan tersenyum tipis sebelum pergi dari sana.

Pak Wawan dan Ibu Nirmala mengantar menantunya kedepan. Membelalak kaget ketika melihat sang  putri sudah duduk manis di dalam mobil pribadinya. "Nesya," geram Pak Wawan. Melangkah lebar mendekati sang anak, dia meminta putrinya itu untuk turun dari mobilnya.

"Apa-apaan ini, Nesya. Turun," titah sang Papa.

"Apa sih, Pa. Katanya Nesya akan pergi dari rumah ini."

"Iya kamu akan pergi, tapi tidak dengan mobil ini."

"Terus?"

"Kita akan naik motor." Elvan yang entah semenjak kapan mendekat menyela perdebatan Anak dan Ayah itu.

"What! Mana bisa aku naik motor. No-no-no! kita naik mobil aku saja."

"Tidak! Mobil kamu Papa sita." Membuka pintu mobil sang anak, Wawan merebut kunci kuda besi itu.

"Papa," rengek Nesya.

Namun, Wawan seolah tidak peduli. Berbalik dan menyimpan kunci di saku, dia berdiri lagi di samping sang istri yang hanya bisa menghela napas berat. Maafkan Papa, Nesya. Ini demi kebaikan kamu, batin sang Papa.

"Maafkan aku," tutur Elvan. Mengulurkan tangan untuk membantu sang istri, Elvan hanya bisa menghela napas ketika niat baiknya tidak di sambut dengan baik.

"Tidak perlu!" Nesya keluar begitu saja. Menatap tajam Elvan, dia juga memberikan sorot itu pada kedua orangnya sebagai rasa kecewanya.

Merogoh saku celana, Elvan mengangguk dan mengulas senyum untuk Pak Wawan dan Ibu Nirmala. Pamit pergi membawa anak mereka, Elvan segera meraih kuda besi yang tidak bisa melindungi tubuh mereka dari panas dan hujan itu.

"Pakai ini dan ayo kita pergi," pinta Elvan seraya menyerahkan sebuah helm pada Nesya.

Meraihnya secara kasar, Nesya teramat terpaksa dan kesal. "Koper aku," ujarnya dengan wajah yang tertekuk.

"Nanti dititipkan sama kurir," sahut Elvan. Menyalakan mesin motor, dia mengulas senyum lembut pada Nesya. "Naiklah," perintahnya.

"Kenapa tidak pakai mobil aku saja, biar tidak repot-repot seperti ini. Belum lagi panas, belum lagi hujan. Lagian kamu kenapa nggak punya mobil sih. Apa semiskin itu ya, hidup kamu."

Elvan hanya tersenyum menanggapi gerutuan itu. Tidak berniat menyahut apalagi mendebat wanita yang baru sehari dia nikahi itu.

Meski terpaksa dan berat hati, Nesya naik ke atas motor. Seraya mendengkus kasar, dia bergerak-gerak mencari tempat duduk yang nyaman. "Sempit banget. Gerah lagi."

Lagi-lagi Elvan hanya tersenyum. "Sudah siap?" tanyanya.

"Dari tadi," ketus Nesya.

Menatap kedua mertunya untuk terakhir kali, Elvan menangkupkan kedua tangannya. Menganggukan kepala, dia membalas senyum kedua orang tua itu sebelum benar-benar pergi dari sana.

"Pegangan," titah Elvan.

"Nggak!" tolak Nesya.

"Terserah."

Memutar gas di gengaman kanannya, Elvan menggelengkan kepala ketika wanita di belakangnya menjerit dan menepuk punggungnya. "Sudah aku bilang pegangan," sindirnya.

Mencebik kesal, Nesya pun menaruh kedua tangannya pada pundak Elvan. Membiarkan lelaki itu pergi membawanya menjauh dari rumah, dia hanya melirik sebentar pada kedua orang tuanya. Tidak berniat pamit, dia sangat kesal dengan dua orang itu hari ini.

"Dasar orang tua tega. Jahat sekali sama anak sendiri," gerutunya.

"Tidak baik mengerutu orang tua sendiri seperti itu. Bagaimana pun mereka adalah orang yang paling berjasa dalam hidup kita. Mereka akan selalu mengharap yang terbaik untuk anaknya. Ada banyak orang di luar sana yang mengharap masih mempunyai orang tua seperti kamu."

Memanyunkan bibirnya, Nesya hanya mencebik. Namun, dia tidak berani menyahut untuk sebuah nasehat baik seperti itu. Memalingkan tatapan ke samping, dia melihat mobil yang silih berganti lalu lalang ke sana ke mari.

avataravatar
Next chapter