Aya meraup oksigen seperti telah tidak bisa bernafas selama beberapa menit, Aya terbatuk-batuk membuat nafasnya tersengal-sengal. Baru kali ini Aya terbangun dengan keadaan keadaan yang sangat buruk.
Kenapa bisa Aya bisa kesulitan bernafas seperti ini? Jika Aya ingat-ingat semalam dirinya sama sekali tidak bermimpi tentang hal apapun.
Aya memperhatikan sekitar, rupanya Aya masih ada dikamar Tian. Aya memperhatikan tangannya yang tersambung dengan selang infus.
Melihat cahaya oranye yang masuk dari celah tirai jendela kamar Tian, sepertinya sekarang sudah sore.
Aya menarik jarum infus itu hingga terlepas. Menurunkan satu persatu kakinya ke lantai yang dingin. Lapar, Aya harus mencari makanan sekarang.
Kemana sebenarnya Tian? Apartemen ini terlihat kosong, tidak ada tanda-tanda kehidupan lain selain dirinya. Sepertinya Tian sedang tidak dirumah karena saat mendengar Aya terbatuk-batuk, seharusnya Tian segera menghampirinya dengan tergopoh-gopoh.
Aya hampir terpeleset ketika melewati ruang tengah apartemen. Aya mencengkram kuat meja yang ada disampingnya, Aya gunakan menja itu sebagai tumpuan untuk berdiri tegak. Namun sekali lagi Aya kembali terjatuh, bersamaan dengan Tian membuka pintu apartemennya.
Tian membulatkan matanya melihat Aya yang terduduk di lantai. Tian segera menghampiri Aya, Aya tersenyum lega, akhirnya ada seseorang untuk dimintainya pertolongan.
"Ya, kamu gak apa-apa?" Aya mengangguk lemas. Dengan cekatan Tian menggendong Aya di depan bagai koala menggendong anaknya.
"Tian, aku laper." Protes Aya ketika Tian hendak membawa Aya kembali ke kamarnya. Tianpun mengerti dan membawa Aya kearah dapur dan mendudukan Aya ke kursi meja makan dengan perlahan.
"Kamu tuh bikin aku khawatir Ya. Nonton drakor ketiduran, badannya panas, ini tadi aku nganter Rian turun kebawah kamunya malah duduk dibawah gitu." Omel Tian sambil menyiapkan makanan hangat yang sengaja dibuatnya tadi siang.
Aya melahap makanan yang Tian sajikan untuknya. Mengisi energi saat ini adalah yang paling terpenting untuk Aya.
"Kamu gak tahu kan gimana khawatirnya aku pas tahu kamu tidur lama banget?" Aya fikir, Tian hanya bercanda, tapi melihat raut wajah frustasi Tian, Aya yakin Tian serius.
"Emang aku tidur berapa lama?"
"Dari hari sabtu pagi sampai sore ini."
"Sekarang hari apa?"
"Hari selasa. Emang hitungan harinya pendek, tapi itu gak biasa untuk manusia normal. Bagi aku itu sangat lama. Apalagi Rian bilang, kalau kamu gak ada tanda-tanda sakit apapun, tes juga menunjukan hasil yang normal." Aya terkikik geli, baru kali ini melihat Tian sefrustasi itu.
"Mungkin cuma efek mimpi aku gak jadi kenyataan aja Yan."
"Kamu ketawa? Kamu fikir kekhawatiran aku lucu?"
"Maaf."
"Aku takut Ya. Mikirin bagaimana kalau kamu gak akan pernah bangun lagi?!"
Aya mengumpulkan energinya, bangkit dari duduknya dan menghampiri Tian yang duduk di hadapannya. Aya meraih kepala Tian dibawanya kepelukannya. Setelah itu Aya merasakan sesuatu yang basah, menetes di tangan kirinya. Tian menangis. Aya mengelus pundak Tian sembari menyenderkan kepalanya diatas kepala Tian. Mengucapkan beribu kata maaf.
"Maaf ya Yan, aku tidur terlalu lama."
*
Begitu pintu rumah Aya terbuka, Tian mendapati wajah cerah Aya yang sudah tidak sepucat kemarin. Tian merasa sangat bersalah kepada Aya, bisa jadi penyebab Aya sakit adalah karena dirinya mencium Aya.
"Kamu yakin mau berangkat kerja Ya?"
"Emang kamu fikir aku pake pakaian rapi gini mau main? Ya kerja lah."
"Enggak gitu Ya. Emang udah sehat?"
Aya menempelken jari telunjuknya ke bibirnya. "Sssst, jangan berisik, atau aku berangkat sendiri nih."
Aya tidak bisa libur setelah dua hari tidak masuk tanpa kabar, terlebih Aya sedang memimpin proyek yang besar, Aya ingin tahu perkembangan timnya sampai mana. Firasat Aya mengatakan Aya harus berangkat hari ini, walaupun tubuhnya masih sedikit lemas.
Sebenarnya sambil melatih fisiknya yang sedikit melemah Aya ingin berangkat menggunakan angkutan umum, tapi bukan Tian namanya jika tidak memaksa Aya berangkat bersama, dengan alasan masih khawatir.
Aya tidak mengerti kenapa dirinya bisa tertidur dengan rentang waktu yang cukup lama tanpa bermimpi. Anehnya, saat Aya bangun tenaga Aya seakan terkuras habis.
Aya harus cari tahu penyebab kejadian langka ini, terlebih Aya baru pertama kali mengalaminya. Tidak mungkin hanya karena sebuah ciuman Aya menjadi tepar bukan?
"Warna lipstik kamu kok beda dari biasanya Ya? Kali ini lebih gelap."
"Itu gara-gara kamu gigit bibir aku." Ingatan Aya tiba-tiba berlari ke kejadian Tian menciumnya hari itu. Seketika hatinya berdebar tak karuan dan tubuhnya merinding.
"Udahlah, pokoknya gara-gara kamu."
Saat Aya membuka pintu mobil Tian, Aya tersadar akan sesuatu yang kosong dari tangannya. Tapi apa? Aya jarang sekali memakai gelang atau cincin, sungguh itu menghalanginya ketika ia sedang menggambar ataupun bekerja.
Aya tersentak saat Tian menggenggam tangannya, menuntun Aya membuka pintu mobil.
"Ngapain melamun? Katanya mau berangkat? Atau berubah pikiran?" Aya masih berfikir keras ketika Tian mendorongnya masuk kedalam mobil hingga pintunya tertutup sempurna.
Aya merasa kesilauan disaat Tian berjalan memutar untuk masuk kedalam mobilnya. Sinar kesilauan itu berasal dari jam tangan Tian. Tunggu, jam tangan. Itu dia. Jam tangan pemberian ayahnya tidak terlihat semenjak Aya tersadar kemarin.
"Yan, lo lihat jam tangan gue?"
"Jam tangan?"
"Yang dikasih sama ayah."
"Oh itu, ada di apartemen aku. Nanti aku ambilin. Kebetulan tepat sebelum kamu sadar, aku lepas jam tangan itu buat ngelap tangan kamu, tapi aku lupa pasang lagi. Maaf ya. Nanti aku kembaliin."
Kenapa Aya jadi teringat akan nenek-nenek yang mengatakan bahwa Aya tidak boleh terlalu bergantung pada jam tangan itu.
"Yan, menurut kamu apa perkataan nenek yang bilang aku gak boleh bergantung sama jam tangan itu bener gak ya?"
"Maksud kamu?"
"Kamu lepas jam tangan itu persis sebelum aku bangun kan?"
"Gak terlalu persis, sebelum Rian dateng periksa kamu, terus aku nganter dia keluar baru kamu bangun." Aya menjentikkan jarinya, sepertinya dugaannya benar.
"Sama aja, gak salah lagi. Jam tangan itu bisa jadi penyebab aku tidur lama."
"Maksudnya?" Tanya Tian masih tidak mengerti maksud Aya.
"Gini deh, jam itu bisa menggagalkan mimpi aku buat jadi kenyataan, efek sampingnya aku jadi kehilangan kesadaran beberapa hari." Aya tersenyum bangga pada dirinya ketika merasa tebakannya kali ini tidak mungkin salah.
"Maksudnya, karena mimpi kamu gak jadi kenyataan, kamu jadi nerima konsekuensinya berupa gak sadarkan diri gitu?"
"Pinter. Aku sih gak masalah selama orang-orang disekitar aku baik-baik aja."
Aya melirik Tian yang fokus menyetir, tidak melanjutkan percakapan mereka hingga suasana menjadi hening. Sepertinya Aya salah bicara.
"Yan."
"Apa?" Suara berat Tian menyapa telinganya setelah beberapa saat mereka saling berdiam diri.
"Kamu marah?"
"Hm, aku marah. Disaat kamu memedulikan orang di sekitar kamu dan kamu sama sekali gak memedulikan aku yang takut banget kehilangan kamu."
Tian, tolong berhentilah membuat jantung Aya beradu kecepatan.