"Hmm, jadi begitu? Kamu datang sekaligus untuk mencari obat wabah?" Tabib Gentala menatap tajam ke arah Nalini.
Gadis itu kembali mengangguk dengan kikuk. Ia tahu, seluruh mata yang ada di ruangan itu kini melihat ke arahnya. Pandangan tak percaya, mungkin setengah meremehkan.
"Hei, gadis kecil. Kami yang sudah tua-tua ini saja belum bisa menemukan obatnya, apalagi kamu yang masih ingusan?" Benar dugaan Nalini. Suara-suara sumbang mulau terdengar dari mulut pada tabib.
"Iya, benar. Kami sudah berusaha mencoba dengan berbagai cara tapi wabah itu belum bisa diatasi seluruhnya, justru semaki menyebar ke seantero negeri." Suara yang lain mulai terdengar menimpali.
Tabib Agung Gentala mengetuk sandaran kayu kursinya dengan cincin batunya.
"Tenanglah, tabib muda ini benar. Ia jauh-jauh diutus datang oleh permaisuri pasti memiliki kemampuan yang hebat, jangan disela dulu." Tabib Gentala berusaha bersikap bijak menanggapi.
"Aku dengar keadaan Ratu Padma semakin membaik setelah diobati dia."
Orang-orang kembali berbisik dan mulai menatap kagum pada Nalini.
"Oh, tidak-tidak. Itu bukan saya, itu ibu saya yang mengobati. Saya hanya membantunya," ujar Nalini tak enak hati. Ia sungkan dengan pujian tabib Gentala.
Tabib Gentala berdiri dari kursinya. Orang-orang terdiam dan menunggu perintah selanjutnya dari dia. "Aku rasa pelajaran kali ini sudah cukup, jika ada yang masih bingung, kita akan mengadakan pertemuan lagi bulan depan."
Para tabib serempak menjawab dan mengucapkan terima kasih. Sebenarnya mereka sebagian besar sudah memahami pelajaran itu. Sehari-hari mereka bekerja dan menjadi juru penyembuhan. Kehadiran mereka di rumah tabib agung hanyalah formalitas dan untuk menjalin hubungan baik saja. Tabib yang di undang hadir di kediaman tabib agung sudah pasti akan dihormati dan memiliki reputasi yang baik di mata umum.
"Untuk kamu tabib muda, ikutilah pelajaran pengobatan yang digelar di sini di waktu-waktu tertentu." Tabib Gentala mengatakan itu khusus pada Nalini.
"Terima kasih, Tabib Agung. Hamba akan belajar sebaik-baiknya," jawab Nalini. Hatinya merasa ringan kini, satu langkah besar sudah ditempuhnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman, sangat manis.
Tanpa menunggu orang-orang bertanya lagi, tabib Gentala meninggalkan ruangan itu. Dua pengawal mengenakan ikat kepala patuh mengikutinya.
Satu persatu para tabib meninggalkan tempat itu. Termasuk lima dukun beranak yang tadi bersama Nalini. Beberapa tabib yang memang tinggal di rumah itu tetap tinggal, tugasnya membantu tabib agung.
Nalini berjalan pulang ke tempat tinggalnya sementara, ruangan paling ujung di samping rumah tabib agung. Ia berjalan pelan di belakang seorang tabib tua yang memegang tongkat.
Tahu ada seseorang yang berjalan di belakangnya, tabib tua itu menoleh dan menunggu Nalini. Tanpa senyum, ia justru memarahi Nalini.
"Cepatlah berjalan. Masih muda kenapa jalannya lamban seperti keong?" tanyanya dengan nada ketus.
Nalini seketika kaget mendengar omelan tabib itu. Ia buru-buru melangkah dan hendak mendahuluinya. Namun, lagi-lagi ia dimarahi oleh perempuan berkebaya lurik itu.
"Hei, anak muda. Kamu tidak sopan sekali! Ada orang tua berjalan lemah malah mendahului. Apa kau tidak melihatku?" tanyanya lagi. Tangan kanannya membuang sirih yang sedari tadi dikunyahnya.
Nalini berhenti dan menata emosinya. Tentu saja ia tak bisa marah pada tabib tua itu.
"Maaf, Mbah. Mari saya bantu," ujar Nalini seraya mengulurkan tangannya. Ia bermaksud membantu nenek itu dan menuntun tangannya.
Namun, bukannya diterima, tabib tua itu justru mengacungkan tongkatnya pada Nalini. "Aku tak butuh bantuanmu, aku bisa jalan sendiri!"
"Iya, iya. Mari, Mbah. Saya jalan di belakangmu ya." Nalini benar-benar tak habis pikir dengan tabib tua itu. Ia berusaha keras bersabar dengan sikapnya yang tak bisa diduga.
"Nah, begitu lebih baik. Jalan di belakangku tapi jangan jauh-jauh. Kalau aku jatuh kau bisa cepat menolongku," ucap tabib tua dengan cueknya. Ia segera berjalan lagi sambil mengayun tongkatnya.
Nalini bengong tapi sejurus kemudian tertawa kecil. Ia baru menyadari kalau menemukan jenis manusia yang mirip dengan Radmila tapi dalam bentuk yang lebih tua. Ia pun membuntuti langkah tabib tua tepat di belakangnya.
Tabib tua itu menuju ke pondok yang sama dengan yang digunakan oleh Nalini. Ia masuk dan merebahkan tubuhnya di salah satu dipan. Tempat tidur itu berbeda dengan dipan-dipan yang lain. Ada alas yang cukup tebal dan empuk. Sepertinya dipersiapkan khusus untuknya.
"Kamu juga tinggal di sini?" tanyanya pada Nalini. Setengah matanya terpejam. Ia seperti kelelahan sekali.
"Iya, Mbah. Saya tinggal di sini. Seorang emban tadi pagi mengantarkan saya ke sini," jawab Nalini. Ia duduk di sebuah dipan, letaknya beberapa deret dari tempat tabib tua berbaring.
Ruangan masih sepi. Tampaknya penghuni yang lain belum kembali dan masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Apa Mbah seorang tabib juga?" Nalini memberanikan diri bertanya.
"Dulu aku seorang tabib, sekarang sudah tua. Hanya kadang-kadang saja aku mengobati orang," jawab perempuan tua itu. Matanya memicing sedikit tapi kemudian terpejam lagi.
"Maaf, apa saya boleh tahu, siapa nama Mbah?" Entah kenapa, Nalini merasa aman bersama tabib tua itu. Meskipun dari luarnya ia terlihat ketus dan suka marah-marah.
"Apa Radmila belum bercerita tentang aku?" tanya perempuan tua itu dengan malas. Ia seperti enggan memberi tahukan namanya.
Nalini menggeleng. "Belum, Mbah. Aku baru bertemu dengan Ndoro Putri Mila sekali, dia belum bercerita banyak."
"Huh, dasar si Mila. Kepadaku dia justru sudah bercerita banyak. Itu pula sebabnya aku repot-repot menyusulmu," ucap perempuan tua itu sembari duduk lagi dan merapikan gelungan rambutnya.
"Hah? Ndoro Mila bercerita pada Mbah tentang aku? Kok bisa?" Kali ini Nalini yang terkejut. Mulutnya setengah ternganga. Orang-orang di rumah tabib agung benar-benar aneh.
"Sshh, jangan panggil 'mbah' terus. Aku belum setua itu. Aku ibunya si Mila." Perempuan tua itu turun dari ranjang dengan sigap. Sama sekali tak mangalami kerepotan seperti pada saat berjalan memakai tongkat.
Nalini terkesiap mendengar ucapan perempuan itu. Seketika ia menjatuhkan dirinya dan menghormat padanya. "Ma-maafkan aku, Ndoro Putri. Aku tak cepat mengenalimu."
Perempuan itu tak menjawab, ia justru terkekeh. "Berdirilah. Aku tak seperti yang kau bayangkan. Tak pantas pula aku menerima penghormatanmu sedemikian rupa."
Nalini bangkit dan duduk lebih dekat kepada perempuan itu. Ekor matanya mengawasinya sekilas. Perempuan yang mengaku sebagai ibu dari Radmila itu mungkin sudah berusia 60 tahun. Benar, garis wajah mereka sekilas memang mirip.
"Namaku Sarala. Saat masih seusiamu, aku adalah dayang di rumah tabib agung ini. Tabib agung yang aku maksud adalah ayah dari Gentala. Tak kusangka dia menginginkanku dan menjadikanku sebagai selir hingga lahirlah Radmila." Sarala memulai ceritanya.
"Oh, jadi ibu Sarala adalah ibu tiri dari tabib Gentala?" tanya Nalini yang mulai memahami alur cerita keluarga besar mereka.
Sarala mengangguk kecil. Jemarinya menggosok matanya seperti ada debu yang masuk saat ia mendengar nama Gentala.
"Tabib Gentala itu anak tiriku. Dulu dia kurawat sepenuh hati, kubesarkan dengan cinta seperti anakku sendiri. Tak disangka begini balasan yang ia berikan padaku."
"Ehm, maksud ibu, tabib Gentala tak mau membalas budi?" tanya Nalini nyaris tak percaya.
"Bukan tak mau membalas budi tapi ia tak mau lagi mengakuiku sebagai ibu sambungnya, ia membenciku karena berpikir aku yang membuat ibunya meninggal."
Nalini terperanjat. Ia kaget mendengar penuturan Sarala. "Kenapa bisa begitu? Apakah dulu ibu juga berlajar ilmu pengobatan? Pernah menjadi tabib juga?"