Perempuan itu terlihat menarik nafas beberapa kali. "Tentu saja aku diajari menjadi tabib oleh suamiku. Waktu itu aku masih muda dan memiliki ingatan yang kuat," kata Sarala. Ada nada sedih dalam suaranya.
"Kenapa ibu bersedih?" tanya Nalini. Ia mendekat dan duduk bersimpuh di depan Sarala. Mau mendengarkan pengalaman hidup orang adalah tugas seorang tabib, setidaknya begitu yang dipahami Nalini dari ibunya. Meskipun ia tahu, yang di depannya kini adalah seorang penyembuh juga.
"Aku datang untuk bekerja. Sama sekali tak ada niat untuk menghancurkan kebahagiaan keluarga tabib agung, apalagi membunuh istri tertuanya. Namun, aku yang jadi kambing hitam saat dia tak mampu melawan sakitnya," ucap Sarala sedikit terbata-bata. Dadanya sedikit sesak bercerita tentang masa lalunya.
Nalini terdiam. Ia merasa bersalah karena sudah mengorek luka lama. "Maafkan aku, Ibu. Aku tak bermaksud membuatmu sedih. Sudah ya, tak usah diingat-ingat lagi."
Melihat ibu Sarala yang sedang bersedih, Nalini kembali teringat pada simboknya sendiri. Kenapa tabib yang gagal mengobati justru sering dianggap sebagai penyebab musibah? Ah, rasanya tidak adil.
"Tak apa-apa, Nduk. Kamu harus tahu supaya bisa berhati-hati. Jalan terjal yang kamu pilih, kamu harus pintar melangkah dan memilih teman perjalanan." Sarala mengatakan itu sembari memegang lengan Nalini.
Nalini menggigit bibirnya. Kenapa semua orang selalu berpesan agar ia berhati-hati di rumah tabib agung ini?
"Baik, Ibu. Terima kasih atas nasehatnya. Aku akan selalu berhati-hati," jawab Nalini meyakinkan. Senyum dipaksakan terukir di wajahnya yang lelah.
"Ibu, boleh saya bertanya. Maaf kalau lancang. Kenapa ibu bisa tinggal di sini, bersama para emban dan tabib? Tidak di rumah besar itu?" tanya Nalini tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. Perempuan itu seharusnya berhak tinggal di rumah utama karena ia istri dari tabib agung yang lama.
Tak segera menjawab, Sarala terlihat menghela nafas. "Bukankah tadi sudah aku bilang. Aku dianggap pembunuh oleh anak tiriku sendiri. Aku tak berhasil menolong ibu kandungnya, entah bisikan dari mana ia yang semula bersikap manis jadi membenciku."
Pandangan mata Sarala menerawang jauh ke depan. "Tapi diperbolehkan di sini saja sudah bagus, Nduk. Masih beruntung aku tidak dimasukkan ke penjara atau dijadikan makanan buaya."
Nalini tercekat mendengarnya. "Sekejam itukah hukuman bagi tabib yang gagal mengobati?" tanyanya ketakutan.
Sarala tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum getir. "Begitulah, kita berusaha mati-matian menolong orang tapi begitu gagal, kita yang akan mati."
Jantung Nalini nyaris berhenti mendengarnya. Jadi, mau di dusun atau di kotapraja sama saja? Nasib seorang tabib sungguh tak beruntung.
"Apakah selalu begitu, Ibu? Nasib seorang tabib selalu berakhir nahas?" Nalini berusaha meredakan gejolak kekhawatiran yang semakin besar di pikirannya.
"Tidak selalu buruk kok, Nduk. Mereka yang pintar bermain tentu saja tak akan menghadapi situasi sulit, justru akan dipuja dan dicari banyak orang."
Cukup lama Nalini mencerna kata-kata dari Sarala. "Hmm, pintar bermain? Apakah maksud ibu seorang tabib harus pintar mengobati dan banyak memiliki kawan?"
Sarala menepuk-nepuk pundak Nalini. "Benar yang dikatakan Mila, kamu memang cerdas dan memiliki bakat," pujinya seraya tersenyum lebar. Saat tersenyum, mantan tabib itu masih terlihat cantik dan memancarkan pesonanya.
"Kamu lihat tadi, para tabib dan dukun beranak berkumpul. Selain menimba ilmu, tujuan mereka sebenarnya adalah untuk mengumpulkan dukungan dan kekuatan. Mereka harus menjalin kekuatan agar tak mudah dipatahkan."
Nalini kini mengerti. Sangat beralasan apa yang dilakukan oleh para tabib di kotapraja. Seandainya ibunya dulu melakukan hal yang sama, mungkin orang desa tak akan sembarangan menuduh dan menyalahkan mereka.
"Aku sekarang mengerti. Mungkin nanti aku akan melakukan hal yang serupa saat kembali ke dusun kami." Nalini menggumam, seolah berkata pada dirinya sendiri.
"Apa kau masih berminat pulang ke dusun?" tanya Sarala penasaran. Impian setiap orang untuk bisa tinggal di kotapraja Lokalapa tapi gadis di depannya itu justru sebaliknya. Ia masih ingin pulang.
"Bagaimanapun aku akan tetap pulang. Ada hal penting yang harus aku lakukan di sana." Nalini mengucapkan kalimat itu dengan mantap. Ia menganggap hal itu adalah janji pada dirinya sendiri. Iya, Nalini ingin membersihkan nama baik ibunya.
Cukup lama mereka berdua berbincang. Nalini seolah menemukan sosok pengganti simboknya saat berada jauh dari Ndalem Kaputren. Jika ada kesempatan, ia pun berjanji akan mengenalkan ibunya pada Sarala. Perempuan itu tertawa senang.
Nalini cepat beradaptasi dengan lingkungan di rumah tabib agung. Meski tak semua orang bersikap baik padanya, gadis itu merasa aman dengan adanya Radmila dan Sarala. Ditambah lagi dengan Arya yang benar-benar memenuhi janjinya untuk datang ke tempat itu setiap hari.
Seperti sore itu. Matahari sudah jatuh di langit barat, senja sebentar lagi menjelang. Pangeran Arya terlihat memasuki regol rumah tabib Gentala.
"Nalini di mana, emban?" tanya Arya saat baru turun dari punggung kudanya. Seorang emban tergopoh-gopoh mendekatinya.
"Oh, Tuan Putri sudah menunggu Pangeran di dalam," balasnya cepat.
Arya Dhipa menggelengkan kepalanya berulang kali. "Bukan tuan putri, aku bertanya, di mana tabib Nalini." Ia tak mau emban itu salah mengartikan Nalini sebagai Bintari.
"Maaf, Pangeran. Kalau itu hamba tak tahu. Hamba hanya disuruh Ndoro Putri Bintari menunggu Pangeran Arya." Emban itu menjawab, ada kebingungan dalam suaranya. Kenapa Pangeran itu malah mencari seorang abdi rendahan bukan Ndoro Putrinya?
"Ya, sudah. Aku cari dia sendiri saja." Arya mengatakan itu sembari berjalan meninggalkan sang emban yang melongo.
Arya Dhipa terus berjalan menuju ke deretan bangunan tempat tinggal pada abdi dalem. Ia ingat terakhir kali meninggalkan Nalini di bangunan paling ujung.
Dilihatnya bangunan itu tampak sepi. Beberapa orang keluar masuk tapi tak dilihatnya Nalini di antara mereka. Kepalanya celingukan mencari dan melongok ke dalam bangunan.
Hampir saja Arya berteriak memanggil saat sebuah suara lembut menyapanya dari arah belakang.
"Siapa yang kau cari, Pangeran?" tanya Nalini. Ia ikut melongokkan kepalanya dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Menirukan gerakan Arya.
Pangeran itu cepat menoleh. Ia gembira melihat Nalini yang tampak ceria dan baik-baik saja. "Siapa lagi yang kucari kalau bukan tabib muda paling aneh sekotapraja ini."
Nalini menunjuk hidungnya sendiri dengan jari telunjuk. "Aku aneh? Bukankah di sini banyak yang lebih aneh dari aku?" ucapnya tak mau terima dikatakan aneh oleh Arya Dhipa.
Pemuda itu melengos. "Sudahlah, ayo aku ajari membaca. Belum bisa membaca saja kamu sudah nakal begini apalagi nanti kalau sudah pintar." Arya Dipa berpura-pura mengeluh.
Nalini tertawa kecil mendengarnya. "Memang itu tujuanku, Pangeran. Benar kata Ndoro Mila, perempuan itu semakin pintar akan semakin menakutkan bagi laki-laki."
"Aih. Kamu sudah mulai dipengaruhi oleh perempuan itu rupanya." Arya Dhipa berkacak pinggang, seolah siap melawan Radmila.
Nalini kembali tertawa berderai. Senang sekali rasanya membuat Pangeran Arya ini senewen. Namun, gadis itu kemudian buru-buru merubah sikapnya dan bersikap menghormat. Ia ingat, saat ini ia berada di rumah tabib agung. Banyak mata dan telinga yang mengawasi. Salah-salah ia dirundung lagi oleh anak buah Bintari.
"Maaf, Pangeran. Saya hanya bercanda. Saya siap belajar," ucap Nalini. Kedua tangannya disatukan di depan dada dan sedikit membungkuk.
Arya Dhipa tersenyum meringis melihatnya. Sejujurnya ia lebih suka sikap urakan Nalini dibanding gayanya yang menurut seperti abdi dalem lain.
"Kita ke ruangan belajar di sisi kanan rumah. Aku dan Bintari, juga adik-adiknya biasa belajar di sana."
Arya Dhipa melangkah ke sisi timur diikuti oleh Nalini. Mereka berdua berusaha mengacuhkan pandangan curiga dari para abdi dalem lain.
"Bawakan ini," perintah Arya Dhipa sambil mengulurkan buntalan kain berisi peralatan yang dibawanya. Nalini sekilas melihat wajah pangeran itu yang berubah menjadi datar dan seolah tak ingin memperlakukannya istimewa.
Nalini mengerti. Mereka harus bermain drama di depan banyak orang agar tak dicurigai.
"Baik, Tuan." Nalini menerima benda itu seraya menunduk dan bersikap sangat sopan di depannya.
Senyum kecil tersungging di sudut bibir Arya Dhipa. Satu kedipan kecil begitu cepat dilayangkannya untuk Nalini.
Nalini menyembunyikan senyumnya. Perasaan yang aneh kembali muncul di dalam hatinya. Tanpa kata-katapun ternyata mereka bisa saling mengerti.
Ruangan yang dipakai Nalini dan Arya Dhipa memang dirancang untuk belajar anak-anak tabib agung. Beberapa meja kecil berjajar rapi di dalamnya. Satu papan tulis terbuat dari kayu di gantung di salah satu tiang. Beberapa potong batu kapur ditumpuk dalam wadah kecil.
"Duduklah. Aku akan mulai menulis. Perhatikan dan hafalkan aksara itu. Setelah hafal kau bisa merangkainya menjadi kata dan kalimat."
Arya Dhipa mengajari Nalini begitu cepat dan tak bertele-tele. Ia menyampaikan dengan cara yang mudah dipahami.
Gadis itu pun menyimak dengan serius. Terkadang tanpa sadar kepalanya mengikuti gerakan tangan Arya Dhipa yang sedang menulis. Dari jauh, aksara itu terlihat seperti ukiran yang rumit.
Selesai menuliskan semua aksara, Arya Dhipa menoleh pada Nalini. Gadis itu tak berkedip menatap ke arah papan kayu.
"Apa kau bisa menghafalkannya semua?' tanya Arya. Senyumya seperti mengejek Nalini yang sedang bengong.
Nalini tak segera menjawab pertanyaan Arya. Ia menjabak rambutnya sendiri dan menggigit bibirnya keras-keras.