webnovel

Dukun Beranak

Sekelompok perempuan setengah baya berpakaian sederhana melewati Nalini. Mengetahui Radmila sedang bersamanya, mereka membungkuk dan menyapa hormat pada adik tabib agung itu.

Radmila buru-buru mengangkat tangannya dan menyuruh mereka pergi. Namun, seperti teringat sesuatu ia berseru memanggil mereka kembali.

"Mbok, ke sini sebentar!" teriak Radmila kencang. Tangannya melambai, matanya jenaka memerintah para abdi dalem itu.

Kelima perempuan itu tergopoh-gopoh mendekat lagi. Mereka bertanya-tanya apa gerangan yang membuat perempuan itu bertingkah di luar kebiasaan.

"Iya, Ndoro Mila. Ada apa memanggil kami lagi?" tanya seorang abdi dalem yang menyampirkan kain selendang di bahunya.

"Ini, temanku Nalini. Dia mau belajar jadi 'orang pintar', apakah kalian hari ini juga mau belajar?" tanya Radmila dengan nada ceria. Ia mengajak Nalini berdiri dan mendekati mereka.

Nalini menurut saja dan memberi salam pada para perempuan itu. Melihat mereka, Nalini teringat pada ibunya. Hatinya mendadak terasa hangat dan kembali bersemangat.

"Betul, Ndoro Mila. Hari ini kami mau belajar memeriksa kehamilan," jawab seorang perempuan berkebaya lurik. Ia pun mengangguk ramah pada Nalini.

Radmila menggandeng tangan Nalini dan membawanya pada mereka. "Nalini, mereka ini adalah para dukun bayi yang bertugas di sekitar kotapraja. Kamu bisa belajar dengan mereka," ucap Radmila. Wajahnya terlihat lega. Ia kini menemukan cara untuk melindungi tabib baru itu dari dayang-dayang usil anak buah Bintari.

Mata Nalini membesar mendengarnya. Ia sangat senang dan buru-buru menyalami kelima perempuan setengah baya itu satu-satu seraya memperkenalkan diri. Meraka pun menyambutnya dengan suka cita.

"Apa benar kau mau bergabung dengan kami?" tanya perempuan yang mengenakan konde dari kayu diukir. Dahinya mulai berkerut, tapi sepasang mata cokelat mudanya bersinar cerah.

"Benar, Mbok. Ibuku seperti kalian, dia tabib tapi sering diminta membantu para wanita yang akan melahirkan." Nalini bercerita sedikit tentang ibunya.

"Baiklah, Nduk. Ayo ikut bersama kami, hari ini ada praktek dan pengajaran dari tabib agung, kami khusus datang dan berkumpul hari ini." Perempuan itu menggandeng tangan Nalini dengan ramah.

"Mbok-mbok, tolong jagain dia ya. Dia anak baru di sini, belum kenal banyak orang dan tak paham situasi." Radmila mengedipkan sebelah matanya, sebuah isyarat yang baru diketahui artinya nanti setelah dia lama di tempat itu.

Para dukun beranak itu saling berpandangan dan berbicara lewat tatapan mata. Seorang dari mereka kemudian berbicara. "Baik, Ndoro Mila. Jika terjadi apa-apa kami akan segera melapor."

Radmila mengacungkan ibu jarinya, tanda dia setuju. Ia kemudian melambaikan tangannya pada Nalini. "Kita akan sering ketemu, kalau kamu perlu aku, carilah aku di pondokku."

Nalini menangkupkan kedua tangannya dan mengucapkan banyak terima kasih pada penolongnya itu. "Terima kasih, Ndoro Mila."

Radmila menyipitkan matanya mendengar sapaan 'ndoro' dari Nalini. Ia lalu tersenyum mengacungkan kedua ibu jarinya sekadar. Ia menyadari teman barunya itu cukup cerdas untuk diajak bermain siasat.

Radmila kembali masuk ke rumah utama sementara Nalini mengikuti para dukun bayi memasuki ruangan pengajaran yang berada di deretan nomer dua.

Di dalam ruangan sudah berkumpul puluhan perempuan yang melakoni tugas sebagai dukun beranak. Rata-rata mereka berusia setengah baya atau menjelang lanjut usia. Nalini melihat hanya ada dua perempuan muda di tengah-tengah mereka.

Nalini mengambil tempat duduk di dekat dua perempuan muda itu. Keduanya menyambut sambil mengamati perutnya. Gadis dusun yang lugu itu merasa tak ada yang salah pada perutnya. Ia pun dengan percaya diri tersenyum ramah. Seseorang diantara keduanya bertanya, "Jeng, berapa bulan?" Tangannya yang lentik mengelus perutnya sendiri.

"Aku? Apanya yang berapa bulan?" Nalini mengulang pertanyaan tak mengerti. Tangannya reflek ikut meraba perutnya.

Perempuan muda satunya menepuk tangab Nalini. "Isi, Jeng. Kamu lagi isi juga 'kan? Hamil berapa bulan?" Pertanyaan yang membuat pipi Nalini memerah karena malu.

"A-aku tidak hamil, aku tabib," ujarnya seraya menggigit bibirnya. Kenapa orang jadi salah sangka padanya?

Kedua perempuan muda itu yang gantian mengamati Nalini. "Kamu semuda ini mau jadi dukun beranak?" tanyanya seolah tak percaya.

"Keluargaku tabib. Kakek dan ibuku bekerja untuk menyembuhkan orang-orang, jadi kenapa tidak aku mengikuti jalan mereka?" tanya Nalini. Gadis itu menegakkan kepalanya, mencoba membangun kepercayaan dirinya.

Dua perempuan di depan Nalini tak lagi banyak bertanya. Mereka saling sikut dan menyuruh untuk diam saja. Gadis yang ada di depan mereka tampaknya bukan tipe yang gampang dirundung.

Pandangan mata Nalini menyapu orang-orang yang ada di ruangan itu. Memang benar yang dikatakan dua wanita hamil itu, mereka yang datang ke sini rata-rata sudah berusia setengah baya atau lanjut usia. Hanya dia sendiri yang masih muda.

Orang-orang terdiam saat seorang lelaki gemuk memasuki ruangan itu. Baju beskapnya yang berwarna putih bersih tampak mencorong dengan deretan kancing emas. Nalini tak berkedip melihatnya.

Ya, dialah Tabib Agung Gentala. Senyumnya kecil saja saat menjawab sapaan hormat dari para tabib dan bawahannya. Ia duduk di atas kursi berukir yang khusus disediakan untuknya.

"Kamu, maju ke depan. Aku akan memberi contoh caranya mengecek denyut nadi perempuan yang sedang hamil." Tabib Agung Gentala memberi perintah pada salah perempuan mudah yang mengenakan giwang.

Pelan-pelan wanita itu maju sambil memegangi perutnya seolah kehamilan seudah besar, padahal belum tampak sama sekali. Hanya tubuhnya yang terlihat lebih gemuk dan berisi.

Tabib Agung Gentala memegang tangan perempuan itu dan mengecek denyut nadinya.

"Denyut nadinya terdengar lebih cepat dan lebih banyak daripada orang biasa, itu adalah ciri perempuan yang sedang hamil muda," ucapnya. Ia kemudian menambah penjelasannya mengenai ciri fisik dan tanda-tanda lain yang terlihat.

Para tabib menyimak dengan tekun. Beberapa terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Sekarang masing-masing kalian praktek pada tiga perempuan muda ini, ukur denyut nadinya dan perkirakan berapa usia kehamilannya." Tabib Gentala memberi perintah.

Orang-orang kemudian mendatangi dua perempuan muda itu dan Nalini. Mereka kembali salah sangka dan mengira Nalini bagian dari percobaan mereka hari itu.

"Maaf, tuan-tuan. Saya bukan termasuk yang mau diperiksa, saya juga tabib." Nalini bersuara dan mengajukan keberatannya. Ia sudah berulangkali menjelaskan pada para dukun bayi itu siapa dia tapi tetap saja ada yang salah sangka.

Mendengar ucapan Nalini yang agak keras, Tabib Gentala mendengarnya. Ia menengok ke arah suara dan matanya memicing mengamati gadis itu.

"Siapa kamu? Orang baru di sini?" tanya lelaki berkepala botak itu.

Nalini menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada dan menunduk hormat.

"Ampun, Tabib Agung. Saya Nalini. Saya baru tiba di sini dari Ndalem Kaputren," jawab gadis itu dengan jelas.

"Oh, jadi kamu yang datang bersama Pangeran Arya?" Tabib Agung Gentala teringat pada tamunya tadi pagi. Mereka datang membawa pesan dan mengantarkan utusan dari tempat kediaman permaisuri.

Nalini mengangguk dan kembali menyembah hormat. "Betul, Tabib Agung. Maafkan atas kelancangan saya."

Tabib Agung Gentala mengusap dagunya. "Kamu masih muda sekali, aku pikir kamu sudah setengah baya seperti yang lain."

Pandangan mata tabib agung terus terpaku pada Nalini. Gadis itu sedikit merinding melihat tatapan mata yang seolah ingin melahapnya itu.

"Apa yang ingin kamu pelajari dariku?" tanya Tabib Gentala. Nada suaranya terdengar melembut.

Nalini memberanikan diri mengangkat kepalanya dan menjawab dengan sopan. "Saya ingin mempelajari dan mendalami semua bidang ilmu pengobatan. Terutama yang bisa untk mengatasi wabah saat ini."

Tabib Agung Gentala sedikit terkesiap mendengar jawaban Nalini. Berbeda dengan para tabib lain yang datang belajar untuk mencari harta dan popularitas, perempuan muda di depannya itu justru datang untuk mencari obat wabah. Siapa dia? Apakah dia utusan yang sengaja disusupkan oleh Raja Lokapala?