webnovel

Must Be Mine! (BL)

Ranendra Bian Alfanrez, seorang pria mungil dengan kelebihan parasnya yang nyaris sempurna. Siapa yang sanggup menolak untuk tak bertekuk lutut? Sederhana saja, jika ingin di tanggapi beri dia segepok uang. Katakan saja dia sudah mulai tak berminat untuk main hati, jiwa yang terlanjur kosong, bahkan membuatnya tak sedikit pun menjaga diri. Lagipula, apa gunanya? Bukankah tubuhnya sudah rusak sejak awal? Salahkan Sean Nathaniel Rezgaf yang tak bisa membalas cintanya. Pria yang tak lain adalah sahabat semasa SMA nya, yang akhirnya menjauh karena pengakuan cintanya. Sampai menarik mundur jarak keduanya yang begitu jelas, Nathan pergi tanpa pamit. 8 tahun nyaris terhitung, perlukah selama itu Nathan membuangnya? Bahkan rasanya terlampau menyakitkan saat pria itu memperlakukannya seperti orang asing. Belum lagi harus tertampar kenyataan saat Nathan kembali dengan membawa gadis cantik yang memanggil, Daddy? Rindu, canggung, amarah, dan jantungnya yang masih berdebar kencang menunjukkan perasaan Bian yang tetap sama. Ia yang masih cinta. Perlukah Bian menunjukkan cintanya terang-terangan, lagi? Atau hatinya yang lagi-lagi di lukai membuatnya menyerah saat di waktu bersamaan Alex- bocah SMA yang terus menguntit? Lantas bagaimana jika skenario di rancang untuknya bisa menyusup ke dalam kehidupan Nathan? Apakah gairah binalnya masih bisa di tahan saat semakin gencarnya Nathan menyeruakkan kejantanan dihadapannya?

Erina_Yufida · LGBT+
Not enough ratings
31 Chs

"Bi, kau sudah memberinya kejelasan?"

Setelah menyadari meja dapur berdebu tanpa tanda-tanda di jamah, tanpa kompor dengan kabinet dan kulkas yang tak ada satu pun bahan makanan, Mike segera menarik Bian yang masih kucel untuk berbelanja ke minimarket terdekat. Menyabet berbagai macam sayuran dan jenis olahan ikan meski Mike tau persis Bian mustahil untuk mengolahnya. Ya, bahkan menu sarapan menjelang makan siang Mike lah yang mempersiapkannya.

Hal menyenangkan selalu berakhir secepat kilat. Bian yang merasa di manja nampaknya semakin rakus untuk merasakan pengalaman indah lebih banyak. Namun ia bisa apa untuk mencegah kepergiaan pria yang masih bukan menjadi takdirnya?

Mengikuti langkah Mike, mengambilkan jas pria itu dan bantu mengenakannya. Mengusap-usap kain mahal itu seolah Bian ingin menghilangkan detail bagian kecil yang terlihat kusut.

"Yakin kalau kau bisa membereskan kekacauan di dapur?"

"Akan ku coba."

Bian reflek memundurkan kepala saat tiba-tiba telapak tangan besar Mike menakup wajahnya. "Sedikit hangat."

"Wajar, aku baru saja merecoki kakak yang masak dengan berdiri di depan kompor. Di tambah, sebelumnya kita keluar dan kulit ku sedikit terpapar sinar matahari."

"Kau memang keras kepala. Sudah ku bilang, walau letak minimarket dekat, kau tak bisa menyepelekan kondisi tubuh mu dengan memaksakan diri untuk berjalan kaki."

"Aku benar-benar sudah sehat."

"Sekarang katakan pada ku, kau masih pusing, kan?" Mike bahkan meraba pelipis milik Bian dan menekan-nekannya. "Ini terasa berdenyut, pasti di sini terasa nyeri, kan?"

Bian menghela napas jengah, pertanyaan Mike terus-terusan sama. Seperti wajah berseri dan senyum mengembangnya tak di anggap sebagai representasi kegembiraan yang telah membuang jauh rasa sakit. Makin membuatnya berdecik kala Mike terus saja mendesak hal yang sama.

"Bi, biar ku hubungi dokter untuk memastikannya."

"Tidak." Buru-buru Bian merampas ponsel Mike, bantu menyimpan benda itu kembali ke saku jas nya. "Kau terlalu berlebihan. Sungguh, aku baik-baik saja."

"Setelah semua hal kau pendam, menurut mu aku bisa mempercayai mu begitu saja?"

Bian yang tersenyum lebar, mengusapkan jemarinya ke dada bidang Mike, merapatkan tubuh, menggoda dengan kerlingan mata sayunya. "Jadi, kakak memang benar-benar mengkhawatirkan ku, ya?"

Tak seperti biasa Mike yang akan mendorongnya jauh, alih-alih memperlihatkan batas antara keduanya, kali ini pria itu malah mengubur Bian dalam dekapan. Begitu erat, sampai Bian terkejut merasakan ketulusan lewat sentuhan lembut di puncak kepalanya.

"Sampai kau bisa menemukan penggantinya, aku akan terus menjadi pelindung mu. Ya... Meski terkadang kau sangat menyebalkan dengan kekeras kepalaan mu itu."

.

.

.

"Silahkan pesanannya, tuan!"

"Tara...!"

"Sialan!"

Buru-buru Bian membekap mulut bejatnya, mengedarkan pandangan dengan membungkukkan kepala pada orang-orang yang merasa terganggu dengan umpatannya.

"Hahaha... Ternyata pelayan ini santun sekali, ya?"

"Tutup mulut mu! Buat apa kau kemari?!" Bisik Bian dengan tajam. Matanya melotot, kedua lengannya yang menopang di atas meja nyaris menggebrak. Kedatangan Tio membuatnya benar-benar malu setengah mati.

"Hei, aku datang untuk memberikan semangat pada sahabat ku yang tengah bekerja."

"Bangsat! Seinchi lagi kau tarik kedua sudut bibir mu, ku pastikan kau tak akan bisa lagi menggunakannya untuk bicara."

"Ckck! Kejam sekali."

"Pergi sana!"

"Kau berani mengusir pelanggan?"

Pertanyaan yang membuat Bian tak bisa berkutik. Dengan bersungut, terpaksa memposisikan diri layaknya tugas yang di emban.

"Ku harap kau segera pergi setelah menghabiskannya." Memilihkan satu gelas milkshake, meletakkan di meja kecil milik Tio dan bermaksud buru-buru pergi. Sebelum pria itu menahan pergelangannya.

"Wanita itu nampak tak bersemangat, mungkinkan dia masih memikirkan tentang malam kemarin?"

"Heh?" Otomatis Bian langsung mengarahkan netranya pada objek yang di pandang Tio.

"Wanita yang nyaris kau jamah di kegelapan malam. Bi, kau sudah memberinya kejelasan?"

"Bicara apa kau ini? Menjadi saksi bagaimana aku terus di sewa pria kaya, apa tak cukup memuaskan pikiran mu? Aku benar-benar tak bisa dengan wanita."

"Setidaknya, kau harus meminta maafkan?"

"Untuk apa?"

"Kalian yang punya daya tarik seksual sama, bukan berarti kau bisa memposisikan diri sama rata dengan wanita itu. Ingat, fisik mu itu masih pria."

"Kau bermaksud menggunjing orientasi ku atau bagaimana, eh?!"

"Aku hanya bermaksud mengingatkan sahabat ku untuk tak menjadi terlalu brengsek. Kalau kau tak suka, kenapa harus membuat wanita itu merasa di goda?"

Bian yang sama sekali tak paham mengenai arah pembicaraan Tio yang terkesan melantur. Berlalu pergi pun sulit saat lengannya yang bahkan terasa perih, pria itu mencengkramnya terlalu erat. Kekerasan tak mungkin di lakukannya.

"Lihatlah dia!" Tanpa peringatan membuat pria itu makin bengal, Tio yang menunjuk posisi Nadin, membuat Bian gelagapan saat wanita itu memergoki topik pembicaraan mereka adalah dirinya.

"Bisakah kau tak membuat posisi ku makin sulit?" Bian yang sampai membekap mulut Tio. Terjadinya perlawanan sengit yang nyaris membuat mereka di hardik satu cafe. Kekuatan kecilnya yang bahkan tak sebanding, sekali hempas membuat Bian terpelanting.

"Sialan kau!"

"Marahnya nanti saja. Sekarang kau perhatikan wanita itu, wajahnya sangat merona, dia tengah menantikan kepastian dari mu, Bi."

"Sejak kapan kau jadi merasa percaya diri membaca perasaan orang, eh?!"

"Kepekaan ku sensitif dari dulu kalau kau mau tau."

Dengan bangganya, Tio menepuk dada untuk membanggakan diri. Sebagai penutup yang menyebalkan atas perdebatan yang membuat Bian menyerah angkat tangan.

Yang paling buruk, ucapan Tio mampu mengobrak-abrik pemikiran Bian. Dokrin yang seolah memposisikannya sebagai pihak yang menanggung kesalahan besar, meski ia tau pasti jika raut kemerahan di wajah wanita itu karena kesulitan menahan amarah untuknya.

Di waktu istirahat, di taman kecil belakang cafe Bian menghampiri Nadin yang duduk seorang diri. Mengintrupsi kesibukan wanita itu yang tengah menata bekal makanan, sampai membuat Nadin terperanjat hanya karena deheman canggungnya.

"Ekhem!"

"Sialan!"

Namun tak ada lagi ucapan yang keluar setelah umpatan itu. Bian berdiri kaku, tak mengerti harus memulai pembicaraan baik macam apa.

"Kau mau menghabiskan waktu istirahat hanya dengan menunggui ku?"

"Soal kemarin lusa, sejujurnya aku tak bermaksud untuk berlaku kasar pada mu."

Tak

Nadin yang menghentikan kunyahannya, menjatuhkan sendok lantas bertopang dagu, menatap tajam pada Bian yang serupa beraut datar.

"Lalu?"

"Teman ku mengatakan jika aku harus menemui mu secara langsung."

"Teman mu?"

"Aisshh... Jujur saja, yang ku lakukan waktu itu memang sudah terlewat batas. Aku menyesalinya."

"Apakah sulit untuk mu meminta maaf?"

"Apa?"

Brakk

Bian yang bingung, malah terpancing emosi saat Nadin bangkit dan menggebrak meja. "Aku tau kalau kau punya kapasitas lebih untuk berlaku sesuka hati. Bahkan manager pun tak akan marah walau kau hanya masuk kerja satu kali dalam seminggu. Hanya karena kau kenalan boss besar, bukan berarti kau bisa turut merendahkan ku, kan?"

Nadin mengemasi bekalnya, berlalu pergi, melewati Bian dengan sengaja menabrak keras bahunya. "Bajingan!"

"Sialan! Harusnya ku abaikan saja saran Tio. Bicara baik-baik dengan wanita gila itu memang mustahil!"

Bian berlalu pergi, melemparkan begitu saja sebungkus coklat yang bermaksud di berikannya pada Nadin atas dasar kerendahan hati.