8 "Bukan langsung dari kakak, aku tak suka."

"Yo. Sepulang kerja, bisa tidak menginap di tempat ku?"

Pinta Bian memelas setelah turun dari boncengan Tio. Namun rasanya wajah letih dengan bahu meringkuk turun itu tak membuat sang kawan iba, malah membelalakkan terlalu lebar dengan sorot histeris. "Sungguh, Bi. Demi apa pun, aku tak pernah berharap mendapatkan bayaran atas kebaikan ku ini dengan mencicipi tubuh mu. Aku tak bernapsu."

Plakk

"Kurang ajar."

"Ouch!" Tio mengaduh, menyesal karena terlalu terburu-buru melepaskan helm.

"Jangan sesekali menyela ku ketika bicara. Aku tak pernah suka dengan anggapan melantur mu yang menyebalkan itu."

"Setelah kejadian pria gay seperti mu yang memojokkan seorang wanita dengan begitu mesra, bagaimana aku tak beranggapan macam-macam? Kemungkinan paling dekatnya, kau yang mungkin saja hendak coba-coba masuk ke dalam goa sempit bermaksud meminta praktik mendetail dari sosok berpengalaman seperti ku, kan?"

Bian pun memutar bola mata dengan helaan napas jengah. "Sudahlah, aku ingin cepat-cepat istirahat. Kau mau menginap di tempat ku atau tidak pun tak jadi masalah."

Tio yang gelagapan sampai tak mampu mengucapkan selamat tinggal. Sementara Bian yang berjalan cepat menuju deretan rumah sewa berpetak kecil-kecil itu lantas balik badan, hanya untuk memberikan peringatan."Tapi awas, jangan sedih kalau-kalau esok hari kau mendapati ku sudah tak bernyawa lagi."

"Hei, bocah sialan! Sejak dulu, kenapa dia selalu tak hentinya menyingggung tentang kematian?"

Tio yang seolah mendapatkan teror, perasaan ketakutan atas kehilangan sosok sahabat yang di milikinya selama ini. Mungkin juga sebagai pengikat hubungan antara keduanya meski sedikit keterpaksaan.

Dan benar saja, sewaktu Bian tersentak bangun dari tidurnya pukul dua dini hari, ia lantas mendapati sang kawan yang tidur di samping ranjang hanya dengan alas tikar. Tubuh meringkuk berusaha meningkatkan suhu tubuh yang terkalahkan dingin, tanpa ingin mengusik kenyamanannya. Bian merasa tersanjung.

"Hihiii... Kau sampai bolos kerja untuk menemani ku ya, Yo?"

Mustahil memindahkan tubuh berat itu ke atas ranjang, Bian pun lebih memilih untuk merelakan selimutnya.

Bian sama sekali tak bisa kembali lelap. Hanya berdiam diri, meringkuk di sudut ranjang, menyandarkan punggungnya ke tembok. Tak ada satu pun yang terlintas dalam pikirannya, mendadak buntu. Namun bukan menjadi satu hal yang bisa menenangkan perasaannya. Terlalu hampa, mungkin secepatnya akan mati rasa. Ya, bahkan jiwanya sudah berhamburan nyaris tak tersisa, bagai mayat hidup yang terpaksa menjalani sisa usia.

"Bi... Bian-"

"Eh?!"

Bian tersentak saat mendengar suara Tio memanggil-manggil namanya dengan lirih. Matanya terbuka sembari berpikir, "Kapan aku kembali tidur?"

"Bi, ada yang mau menemui mu."

Bian yang mengucek mata, masih dengan nyawanya yang mengambang kembali di buat terkejut oleh kehadiran seseorang di samping Tio.

"Tidur dengan terduduk seperti itu, apa tubuh mu tak merasa makin pegal?"

Bian tak tergeming. Sementara Tio yang berusaha tak terlihat sepelan mungkin merapikan bekas tidurnya, melipat selimut. Meski setelahnya membuat pria itu meringis nelangsa saat tau tikar yang baru saja membuatnya sedikit terlindung dari dinginnya lantai kali ini di injak oleh pemilik sepatu mahal sang tamu eksklusif.

Jelas tak punya nyali untuk menegur, bahkan sekedar menarik napas terlalu dalam saja sungkan. Mendadak situasi menjadi begitu hening, Bian dan pria kayanya yang saling tatap seolah salah satunya tak ada yang berniat memulai pembicaraan. Tio yang sadar diri tak lagi di butuhkan, akhirnya menyerah dan memberanikan diri untuk hengkang. Lagipula Tio butuh kembali membaringkan tubuhnya yang remuk.

"Ekhem! Aku harus segera pulang, kucing ku perlu di beri makan."

"Yo-"

Terlambat mencegah, Tio yang bersiap singkat menggasak bawaannya kemudian ngacir tanpa bisa di cegah.

Pintu tertutup, meninggalkan Bian hanya berdua dengan seorang pria bersetelan formal yang terlalu lancang meliarkan pandangannya ke setiap sudut ruang bersekat yang sempit itu.

"Jadi ini, rumah sewa mu yang kesekian kalinya?" Tanya Mike sedikit tak yakin. Netranya masih mencoba untuk mencari bagian istimewa dari tempat yang di pilih Bian itu.

"Hmm."

"Terlalu buruk dari yang sebelum-sebelumnya. Bahkan pintu depan bagian bawahnya sudah berlubang, aku yakin beberapa pekan setelahnya kepala manusia bisa menyusup lewat sana. Itu sangat berbahaya mengingat kau tinggal sendiri."

Bian yang tak berniat menyambut Mike dengan baik, hanya mengidikkan bahu tak acuh. "Aku hanya mencari yang murah, berhemat."

"Dengan minus kelakuan orang-orang sekitar yang terlalu banyak mencela? Kau benar-benar tak mempermasalahkannya?"

"Aku bukan tipe orang yang terlalu peduli pada anggapan orang lain."

"Bagaimana bisa mereka menyebut mu dengan panggilan pengghinaan semacam itu, gigolo?"

Rasanya udara di ruangan pengap itu makin menipis, mendadak Bian merasa sesak. Mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Mike yang mengintrogasi, meski pria yang kali ini duduk di sisi tepi ranjangnya sontak memblokade jalan. Makin mustahil untuk Bian melarikan diri saat Mike mengusap pipinya, berusaha menarik perhatian.

"Kau masih tetap dalam aturan ku, kan?"

"Terserah bagaimana cara kakak menilai ku."

Balasan Bian yang seolah menggiring Mike pada pembenaraan atas sangkaan terburuk yang terlanjur di sampaikan.

Menelan ludah kasar, Bian berusaha mengalihkan pembicaraan. "Aku ingin ke kamar mandi."

Untungnya Mike memberikan sedikit celah, buru-buru Bian meloncat turun, menenangkan rasa paniknya. Mengurung diri sejenak di kamar mandi, membasahi wajahnya dengan menepuk-nepukkan air yang di tangkupnya dari wastafel.

Tak pernah bersiap jika harus di pandang buruk oleh malaikat penjaganya itu. Namun hanya perlu beberapa menit untuk memaksakan langkahnya keluar dari tempat persembunyian, menjadi pengecut bukan gayanya.

Membuka pintu dengan sambutan tatapan Mike yang tak lepas mengawasi. Menyabet handuk lantas mengeringkan wajahnya, sembari berjalan menuju letak dapur kecilnya.

"Kakak mau kopi? Teh? Susu?"

"Terserah."

"Ehmm, ternyata semuanya kosong. Air putih tak apa, kan?"

"Bi, duduklah." Mike yang tersenyum tipis, memberi perintah Bian supaya mendekat dan kembali duduk di sampingnya.

"Kenapa?"

"Hanya ingin memeluk mu."

"Katakan saja, apa tujuan kakak mendatangi ku? Bukankan kakak adalah pebisnis yang sangat sibuk?"

Mike yang sedikit tersinggung karena Bian yang tak membalas dekapannya. "Jadi, kau tak senang atas kedatangan ku?"

"Tidak juga, hanya saja aku sedikit kecewa karena kakak tak datang sewaktu aku benar-benar membutuhkan mu kemarin."

"Begitu kecewanya sampai-sampai kau mengabaikan perintah ku? Membuang obat-obatan dan makanan yang orang ku kirim?"

"Bukan langsung dari kakak, aku tak suka."

"Bi, aku sedang berusaha membuat mu senyaman mungkin. Kau harus tau, bahwa sampai kapan pun aku akan terus menyayangi mu. Jadi, jangan simpan segalanya sendiri, aku juga ingin terlibat dalam kisah mu, Bi."

"Hmm."

"Aku membawakan mu oleh-oleh."

"Aku merasa seperti tengah di sogok."

"Aku tau, pasti kau sangat kesepian, kan?"

"Tak terlalu, aku cukup bersenang-senang akhir-akhir ini."

"Karena pria tadi?"

"Ckck! Oh ayolah... Dia Tio, hanya sebatas kawan ku saja."

"Benarkah? Padahal kalau lebih malah bagus, loh."

"Ckck! Konyol sekali."

avataravatar
Next chapter