webnovel

Kunci

Soa tersentak dari tidurnya. Mengap-mengap dengan nafas yang memburu. Cepat-cepat ia bangkit dari pembaringan. Bajunya kuyup berkeringat, dan kepalanya terasa disengat.

Ia duduk terpaku, tangannya mengepal kuat-kuat menggigil ketakutan karena sesuatu yang telah dilihatnya. “Tidak mungkin. Ini pasti cuma mimpi biasa. Tidak mungkin.” terus saja bibirnya berkomat-kamit menangkal terbukanya misteri yang telah ditunjukkan.

Ia sandarkan kepalanya yang pening di atas lututnya yang menekuk. Berusaha menenangkan diri dari bayang-bayang di luar nalar yang mengejar.

Tidak lama kemudian, tiupan angin lembut yang hangat datang mengibas halus rambutnya. Soa yang semula di cekam kacau seketika dibuat lega. Ia temukan harapan bahwa ada air segar yang bisa ia teguk.

Nafasnya yang tersengal-sengal mulai normal, gemetar di tubuhnya mulai karam, walau rasa mumet di pikirannya belum juga padam.

“Kau baik-baik saja?” Andel menampakkan diri, berdiri di tepi jendela seraya memandang lekat kepada Soa. Dilihatnya wajah manusia itu yang masih tampak pucat, memancing rasa iba untuk diberi pelukan hangat.

“Katakan padaku, Andel. Kalau itu hanyalah mimpi kosong yang tak ada kaitannya dengan masa laluku.” Suara gadis itu terdengar lirih, sebuah harapan tersirat dalam kalimatnya.

Andel tahu betul, apa yang telah terjadi pada seorang manusia lemah di hadapannya. “Aku yakin, kau sudah mampu membedakan mana mimpi kosong dan mana mimpi yang menjadi sebuah pesan,” ucapnya. Tidak ingin menutupi kebenaran.

Soa tertunduk lesu, merasa kalah dengan keadaan. Ia tak mampu memberi argumen apa pun untuk menepis mimpi itu lagi.

“Andel. Kau tahu lebih dari yang aku tahu. Apakah keluarga Jorell yang kulihat di dalam mimpiku, adalah keluarga Jorell yang sama yang ada di negaraku sekarang?”

Andel terdiam sesaat.

“Aku mohon Andel, beri aku sedikit saja kebenarannya.”

Sejenak Andel menarik nafasnya dalam-dalam. “Ya, Soa. Mereka adalah keluarga yang sama.”

“Ya Tuhan. Jadi benar, kalau aku adalah Molek,” simpul Soa lemah.

“Itu yang kini kau tahu?”

“Ya. Aku melihat wanita itu. Wajahnya sama persis denganku, bahkan kami memiliki tanda lahir yang sama di punggung pergelangan tangan kami. Sungguh ini masih sangat sulit kupercaya. Bagaimana mungkin masa laluku berhubungan langsung dengan keluarga itu, mereka sangat asing buatku. Dan aku yang dulu adalah wanita yang terluka, tertindas dan lemah. Aku bahkan harus menjadi menantu dari seorang pria keji.”

Malaikat itu terpaku mengamati, ia sadar ini pasti akan sulit Soa terima. Namun ia juga tak berdaya, pelan-pelan Soa harus tahu masa lalunya. Karena di sanalah awal mula Soa melukis karmanya. “Masih banyak yang belum kau tahu, Soa. Berjalanlah terus sampai kau tahu seutuhnya,” begitu batin Andel bergumam.

“Oh, Andel. Aku sudah tahu, siapa diriku di kehidupan pertama. Apakah ini berarti ... semua sudah berakhir?” tanya Soa tiba-tiba.

Malakat itu terpaksa menggeleng pelan. “Belum Soa. Penebusanmu sesungguhnya bahkan belum di mulai."

Bergejolak kekecewaan di hati Soa. “Apa lagi?! Apa yang harus aku tebus?! Apa selama itu juga aku akan tersiksa begini?! Melihat segala hal yang tidak ingin kulihat! Begitu maksudmu?! Aku ini korban, Andel! kenapa kau justru memperlakukan aku sebagai pendosa?!”

Andel lagi-lagi bungkam, rentetan pertanyaan Soa tak berhasil memicunya untuk mau menjelaskan segala misteri.

Melihat sikap malaikat di hadapannya yang hanya mematung begitu, Soa pun tersenyum sinis. “Oh ya, percuma aku bertanya. Kau akan tetap membiarkanku mencari jawaban itu sendiri, bukan?!”

“Bertahanlah, Soa.”

Soa mendesah. “Dengan cara apa aku bisa bertahan ...?”

Malaikat itu tergerak menghampiri. Ia duduk di tepi tempat tidur untuk lebih dekat pada gadis itu. Sorot matanya begitu dalam, teduh menyertai pesan yang dibawanya.

“Dengan mengikis kebencian dan dendam yang ada pada hatimu,” ungkap Andel lembut.

“Kebencian?” Soa tenggelam kebingungan. Otaknya berputar ingin segera memahami ucapan Andel. “Oh, maksudmu perasaanku terhadap pria itu?!” Suaranya mulai meninggi lagi. “Bagaimana aku tidak benci apa lagi dendam terhadap orang yang membuat kehidupanku menderita! Aku yakin sekarang, sebagai Molek pun aku mati dengan membawa kebencian –

“Bagaimana, bagaimana nasib Sancho saat ini? Katakan padaku ia sedang menerima hukuman di neraka agar perasaanku bisa lebih baik!”

“Kendalikan dirimu, Soa!” Andel langsung memperingatinya dengan keras. Ia tak ingin kebencian gadis itu semakin menggerogoti kemurnian hatinya.

Soa tertunduk lesu, gurat kepiluan terlihat jelas di wajahnya.

“Kenapa harus begini? Karena dia aku di sini ketakutan dan tidak ada perasaan yang bisa aku bagikan kepada sahabat-sahabatku. Sekalipun aku menceritakan ini semua dengan tangisan, mereka hanya akan menerimanya dengan tawa karena ini di luar logika. Aku merasa sendirian, Andel! Aku merasa sendirian!” begitu jelas keluh kesah Soa terdengar. Matanya berkaca-kaca, menunjukkan kegundahan di hati yang sulit terkendali.

Andel memahami benar apa yang dirasakan Soa. Ini memang akan menjadi perjalanan yang akan menguras energi manusia itu. Di dalam batin sang malaikat penuh harap, gadis di depannya akan kuat. Soa harus bisa membayarnya, atau ia hanya akan membuang-buang waktu di dalam kesempatan hidupnya sekarang, dan mengulang kembali di kehidupan selanjutnya. Itu akan membuat jiwa gadis itu semakin lama untuk melangkah maju. Juga tentu saja, misi langit akan menemukan kegagalan.

Tersungging sebuah senyuman dari bibir Andel dikala ia mengamati perangai gadis itu. Sinar kasih dari sang malaikat pun memancar, meraih kepala Soa dan membelai lembut manusia di depannya.

“Untuk itulah, aku ada di sini bersamamu.”

Soa terkesiap menerima perlakuan lembut Andel. Seketika malaikat itu terlihat mengagumkan baginya. Membuat gadis itu terpaku, tak mampu menolak sosok yang telah memercikkan ketenangan di hati.

“Aku adalah sebuah kenyataan, Soa. Aku adalah perwakilan. Terimalah aku dengan sepenuh hatimu. Aku akan menjadi teman yang menemani, lebih dari yang bisa dilakukan oleh teman manusiamu. Jangan kau anggap ikatan ini kecil, karena ada bagian di dalam dirimu, jauh, jauh di sudut hatimu, di ruang gelap yang senyap, tanpa mampu telinga jasmanimu mendengarnya. Berteriak, memanggil membutuhkan kehadiranku, untuk menuntunmu menemukan matahari.”

“Matahari?”

“Ya, cahaya yang akan mendamaikan jiwamu seutuhnya. Cahaya yang akan memutusmu dari lingkaran kegelapan ini. Hingga suatu hari nanti kau akan menjadi manusia yang memiliki cahayamu sendiri. Dengan cahaya itu kau tidak akan lagi merasa gelap, karena kau sudah memilikinya. Sepekat apa pun gelapnya ruang yang kau masuki, kau tidak akan tersiksa lagi, karena kaulah penerangnya.”

Perkataan Andel telah menjadi denting di batin Soa. Perasaannya tiba-tiba berubah, hatinya yang di gencet oleh lelah, amarah dan takut mendadak memiliki energi keberanian yang jauh lebih kuat mendominasi. Meski ia belum mengerti benar ada apa dibalik perasaannya seluruhnya, tetapi keinginan mencari sebuah kunci telah berhasil mengkristal di hati.

Kini gadis itu ingin tahu lebih banyak, seperti apa masa lalunya. Ia ingin berani menerjang badai yang memang harus ditembusnya. Ia ingin melihat matahari, yang ia percaya ada setelahnya.

“Teruslah berjalan Soa. Pencarianmu akan membuatmu menemukan banyak makna. Walaupun kau lelah, bahkan lemah. Jika kau telah siap, Yang Absolut akan menjawab setiap pertanyaanmu. Lengkap dengan penjelasannya.”

“Sungguh?”

“Asalkan kau percaya saat itu akan tiba. Karena kepercayaanmu akan menjadi kepekaan untukmu membaca sebuah pesan, yang mewujud sebagai kejadian yang datang. Memang, seringnya masih berbentuk seperti ... mainan puzzle.”

“Mainan puzzle?”

“Ya ... kejadian yang muncul satu persatu dan membingungkan untukmu. Hingga akhirnya kau akan memahami, bahwa kepingan yang kau genggam bukanlah gambar seutuhnya. Melainkan hanya potongan yang tercecer, yang harus kau pasang pada bingkainya. Tanpa lelah kau mencari lagi kepingan sisanya. Sampai kau mampu merangkai menjadi gambar yang sempurna. Dari sanalah kau akan melihat dengan jelas, apa yang harus kau lihat sesungguhnya.”

Soa menyadari satu hal, nyatanya memang masih banyak yang belum ia tahu hingga membuatnya dirundung kegentaran. Ia pun jadi semakin yakin, pasti ada makna dari nasib yang ia anggap di luar nalar.

“Apa menurutmu aku bisa, Andel?” gadis itu bertanya sangat serius.

Andel menguntai senyumnya. “Kalau pun kau gagal. Kegagalanmu akan menjadi pengetahuan baru untukmu.”

“Jadi kau benar-benar tak akan meninggalkanku?”

“Sampai tugasku selesai.”