webnovel

Menyimpan Pujian

“Terima kasih, kau sudah menemaniku.”

Andel terkesima mendengar ucapan Soa. “Astaga ... aku baru sadar kalau kau sangat manis jika bersikap baik begitu.”

Soa langsung melepas tawa kecilnya. Untuk ke sekian kali ia memandang Andel begitu lekat. Seperti masih belum percaya kalau ia akan seakur ini dengannya.

“Kenapa?” Andel bertanya tiba-tiba. Matanya balas mengamati Soa begitu dalam. Lantas dengan sengaja ia mengibaskan rambutnya yang panjang bergelombang di depan manusia itu. “Kau terpesona pada kedewasaanku?”

Soa langsung mendengus dengan senyum kecut. Baru saja ia merasakan perlakuan diayomi, sekarang ia sudah dibuat tak suka dengan celetukkan Andel yang berbangga diri. Andel sepertinya puas menggoda, ia memalingkan wajah dan tersenyum sembunyi.

Gadis itu memilih mengelak, “Aku hanya sedang tertarik dengan pakaian barumu.”

“Ah ya ...” Andel bangkit bersemangat berdiri di depan Soa. “Syal, jaket panjang, jeans ketat, dan sepatu bot,” ucapnya sambil menunjuk benda-benda yang menempel di tubuhnya satu-persatu. “Keren, bukan?”

Soa memberi ekspresi datar. Ia perhatikan Andel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Benaknya ramai dengan berbagai persepsi tersembunyi.

“Makhluk ini serius sekali bertanya. Aku akui dia memang terlihat lebih keren bergaya begitu. Pasti ini juga karena dia ditopang oleh wajahnya yang imut-imut. Dan rambut cokelat itu, ya ampun ...! Semakin manis dengan tambahan poni. Ah! Kenapa dia jadi membuatku iri pada kecantikannya, sekarang. Kalau aku terang-terangan memujinya, aku yakin dia akan tambah besar kepala. Bukankah sebagai malaikat sudah seharusnya dia rendah hati.”

“Begitu, ya.”

Soa langsung terperanjat. Ia duga Andel telah membaca pikirannya.

“Astaga, bagaimana aku bisa lupa kalau dia ... akh! Kau ini Soa ...,” gusar batin gadis itu.

“Kau tadi bersikap seakan kita sudah berteman baik, tetapi sekarang kau sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaanku,” ujar Andel terdengar kecewa.

“Hah?! Pertanyaan?” ingatan Soa kembali mundur. “Oh ... jadi itu maksudmu.” Soa tersenyum lebar, merasa lega karena telah salah menduga, sekaligus merasa aman untuk berpikir sepuasnya tentang Andel.

Wajah Andel terheran-heran. “Memang apa yang kau kira dariku?”

“Tidak – tidak, bukan apa-apa.” Soa berusaha agar Andel tak curiga, apa lagi sampai terpancing ingin membaca pikirannya. “Kau ini cepat sekali tersinggung, aku hanya sedang mengamati gayamu. Bersabarlah sebentar, bukankah sebagai teman aku harus memberikan jawaban yang tepat?” Soa masih berusaha menjaga senyum lebarnya.

Malaikat itu tunduk memahami. Lantas ia kembali duduk di tepi ranjang Soa, dan bertanya lagi masih dengan antusias yang sama. “Jadi bagaimana? Apa aku sudah terlihat keren dan tidak mencurigakan?”

Soa lantas menyilangkan tangannya, memberi pandangan seolah dirinya adalah pengamat gaya busana profesional.

“Hm ... kau memang tidak terlihat mencurigakan, tetapi gaya busanamu itu ... menurutku biasa saja. Kau jadi, tidak terlalu keren.”

“Ooohh, begitu ya.” Andel jadi agak kecewa. “Kukira pakaian ini adalah gaya terkeren untukku kenakan di liburan musim dingin ini.”

Gadis itu kebingungan. Istilah yang diucapkan Andel terdengar asing baginya. “Maksudmu liburan semester?” ucapnya menebak-nebak.

“Apa aku salah menyebut?”

“Hem, pelajar di Denzel tidak memiliki liburan untuk musim-musim tertentu. Di sini hanya ada liburan tahun ajaran baru dan tengah semester. Memang, di antaranya bertepatan dengan musim dingin. Tetapi kami tidak pernah menyebut itu sebagai liburan musim dingin.”

Andel mengangguk-angguk mengerti. Ia semakin mengenal lebih dekat, tanah di mana ia kini ditugaskan. Pastinya memiliki perbedaan peraturan dan istilah dengan negara lain yang pernah ia kunjungi.

“Tetapi menurutku ini sudah sangat lebih baik ketimbang kau mengenakan baju sekolah,” Soa melanjutkan.

“Ya ... Kau benar.” Andel lalu bangkit berdiri lagi. “Tidak seharusnya aku berharap terlalu banyak.”

“Aku setuju, terkadang berharap terlalu banyak akan membuat kita kecewa.”

Malaikat itu tersenyum simpul menyepakati. “Baiklah kalau begitu, aku harus pergi sekarang. Kulihat kau sudah jauh lebih baik.”

Soa segera mengangguk mempersilahkan dengan senyum ramahnya. Hampir malaikat itu dilihat Soa melangkah pergi, namun seketika ia menahan diri.

“Hmm Soa, aku lupa bertanya satu hal lagi padamu.”

“Ada apa?” rasa penasaran bangkit lagi di hati Soa.

“Jika aku adalah teman baikmu. Bukankah berarti aku harus jujur?”

“Tentu saja. Itu memang harus kau lakukan. Apa ada rahasia yang mau kau bagikan padaku? Katakanlah, banyak hal yang sulit untuk kutemukan sendiri maksudnya.”

Andel membalas mengangguk yakin.

Begitu senangnya Soa mengetahui bahwa Andel akan mulai terbuka dan tidak berteka-teki lagi terhadapnya. Ia sampai turun dari tempat tidur, ikut berdiri lalu memasang telinga betul-betul di depan Andel.

“Soa,” ucap malaikat itu memulai. Begitu dalam menyorot mata gadis itu. “Sebetulnya ... sejak awal aku datang ...”

“Kenapa?”

“Aku ... sudah membaca pikiranmu.”

“APAA!”

Andel puas terpingkal-pingkal. Ia tak tahan melihat ekspresi wajah Soa yang berubah masam.

“Jangan sungkan untuk memujiku, Nona,” ledeknya. “Karena aku tak semudah itu untuk besar kepala.”

Soa yang merasa terpojok begitu kesal dibuatnya. Tanpa peduli, Andel pun langsung lenyap seketika, seperti gelembung sabun yang pecah tiba-tiba.

***

Malam itu keluarga Felix Mannaf terlihat lengkap, mereka menikmati makan malam bersama. Sudah cukup lama hal seperti itu tidak terjadi, itu adalah kejutan yang dibuat Felix dan Karen tiba-tiba. Gensi dan Edzard datang berkunjung setelah menerima telepon dari Felix dan menyelesaikan pekerjaan mereka di restoran.

Ken adalah orang yang paling antusias di situ. Tentu saja, memperhatikan orang tua dan ketiga kakaknya kompak makan satu meja, ditambah ibunya yang membuatkan makanan favoritnya membuat ia merasa keluarganya telah kembali utuh.

“Waaaah, ibu membeli semua ini?” Soa dibuat melongo karena begitu banyak hidangan lezat di atas meja makan mereka. Dengan cepat gadis itu menarik kursi untuk bergabung duduk bersama dengan yang lain.

“Tentu saja. Ibu tidak sanggup kalau harus memasak ini semua sendiri,” jawab Karen. “Ibu hanya memasak bubur jagung untuk Ken,” lanjutnya. Sambil mengelus kepala Ken yang duduk tersenyum di sampingnya.

Edzard tak kalah saing, air liurnya hampir tumpah memerhatikan makanan-makanan itu. Rasanya ia sudah ingin menyambar bagaikan burung elang yang ingin mencengkeram anak ayam.

Gensi malah tampak lebih kalem, namun bukan berarti dirinya tidak bernafsu. Matanya memilah mana yang akan ia lahap terlebih dahulu, sapi panggang? Ayam goreng? ikan asam manis? Udang? Oh ya ampun! Malam ini ia berpikir tidak akan bisa pulang karena kekenyangan.

“Aku tidak menyangka restoran membuat kita kaya,” Soa berujar spontan.

Terlihat raut muka berbeda dari Karen setelah mendengar ucapan putri keduanya itu. Ia melirik ke arah Felix yang juga melirik ke arahnya, mereka terlihat menyimpan rahasia. Namun, Soa tidak menyadari hal itu, matanya sudah terlalu tergoda pada banyaknya makanan.

“Kau harus bekerja lebih keras, Edzard. Dengan tanganmu, bukan mulutmu,” tiba-tiba Edzard terkena sindiran Soa.

Edzard merasa tahu diri, yang tadinya asyik memperhatikan makanan justru malah jadi canggung menatap wajah mertuanya. Kemudian ia tersenyum kaku, “Aku akan berusaha lebih keras lagi ayah,” ucapnya dengan sikap merendah.

Gensi yang melihat suaminya diserang seperti itu merasa tidak terima, tatapan dendam pun ia hunuskan kepada Soa. Sayangnya itu tidak menggertak apa pun, Soa tetap santai hanya membalas tatapan itu dengan muka sinis.