webnovel

Kotak Misteri

Sore itu Soa diberi kesempatan pulang lebih cepat oleh kedua kakaknya. Pergelangan kakinya masih nyeri, dan itu mau tidak mau membuat ia jadi berjalan agak pincang. Meski begitu, sebetulnya diam-diam di dalam hatinya ia merasa beruntung atas kecelakaan itu. Tubuhnya sudah sangat lelah, ingin sekali rasanya ia beristirahat untuk memperbarui kembali fisiknya. Ia pikir meminta pulang lebih cepat dengan alasan kelelahan tidaklah mungkin, Gensi pasti akan melarangnya habis-habisan dengan semburan api dari mulutnya karena merasa itu tidak adil. Pada akhirnya siapa sangka, kalau Soa memperoleh kesempatan berleha-leha dengan kaki terkilir.

Ketika sampai di rumah. Ibunya tidak banyak bertanya lagi, Soa duga ia sudah mendengar kejadiannya lewat Gensi. Melihat anaknya yang berjalan agak pincang, Karen hanya berkata singkat, “Istirahat saja dulu, nanti akan ibu pijat.”

Soa mengangguk menurutinya. Lalu gadis itu celingukan, mencari seseorang yang sangat ingin ia temui. “Apa hari ini Ayah tidak pulang lagi?” tanya Soa pada Karen.

“Ayahmu bilang malam ini akan pulang,” jawab Karen sambil sibuk mengiris daun bawang di meja makan.

Soa sangat senang mendengarnya, ia berpikir ini bisa menjadi malam yang tepat untuk ia membicarakan tentang restoran, Ken, dan juga hutang mereka kepada keluarga bibi Molly.

Soa lantas naik ke kamarnya. Setelah melempar tas selempangnya ke lantai, ia langsung menjatuhkan diri di atas tempat tidur. Pikirannya saat itu campur aduk, dari nyeri kaki akibat terkilir, keinginannya segera berbicara dengan ayahnya, dan juga ... teriakan Arandra.

Begitulah, bayangan tentang Arandra masih menjadi tiga kupu-kupu yang berputar di atas kepalanya. “Aku yakin tadi aku tidak salah dengar,” ia bergumam seorang diri. Daya ingatnya memanggil untuk membawanya pada kotak misteri yang menarik untuk dibuka. “Hmm, kenapa dia berteriak memanggil Molek? Apa dia kenal dengan gadis dalam mimpiku itu?” ujarnya masih bercakap-cakap tanpa teman.

Sayangnya belum sempat dugaan lain muncul, tubuhnya sudah terlalu lelah untuk selaras dengan jalan pikirannya. Rasa kantuk seketika membius, mulutnya sudah menguap lebar dan matanya terasa semakin berat untuk dibuka. Soa tak mampu lagi menahan diri, tanpa butuh waktu lama, ia kehilangan kendali atas kesadarannya, dan menyerah untuk terlelap.

Harusnya Soa menari di dalam sebuah mimpi indah, mimpi di mana banyak orang-orang yang memilikinya ketika mereka tertidur pulas setelah seharian bekerja. Akan tetapi belakang ini tidur gadis itu sudah menjadi sebuah gerbang, gerbang yang membawanya menuju dimensi lain tanpa bisa ia nalar bagaimana caranya bekerja.

Begitu pun dengan lelapnya kali ini, gerbang itu kembali terbuka.

Awalnya Soa melihat semua gelap dan damai. Lalu hamparan pekat yang dilihatnya tiba-tiba berubah menampilkan gambaran yang silih berganti begitu cepat, tanpa sempat ia memahami alur kisahnya.

Soa mulai takut dan kebingungan, begitu banyak orang-orang yang dilihatnya dengan berbagai wajah. Mereka ramai berbicara, namun yang Soa dengar hanyalah kata yang terputus-putus, berganti-ganti sosok, hingga ia sama sekali tak bisa mendapatkan kalimat yang utuh.

Ada tawa, ada tangis, hardikan, kelakar, semua terlumat di dalam penglihatan Soa.

Gedung-gedung gagah yang menyusut berubah menjadi desa, dipisahkan oleh sebuah sungai yang terbentang luas tak asing ditangkap mata. Ia melintasi zaman ke zaman. Semua terlihat seperti film hitam putih yang diputar mundur.

Ia bahkan sudah tidak bisa merasakan tubuhnya lagi. Kepala, tangan, badan, kaki, semua terasa ringan seperti serbuk bunga yang tertiup angin. Perasaannya kusut tidak keruan, bertanya-tanya ke mana semesta maya itu akan membawa ia mundur? Apakah ia akan dibawa hingga zaman manusia purba tercipta? Atau justru kepada zaman yang lebih tua, ketika Tuhan berkata “Terjadilah”, maka galaksi pun ada?

“Hentikan semua ini. Aku sudah lelah,” gadis itu merintih lemah. “Beri tahu aku apa yang harus aku tahu, dan aku akan memperbaikinya,” ucapnya memohon sepenuh hati.

Seolah dunia itu mampu memahami bahasa manusia. Gambaran itu pun lenyap seketika, berubah memunculkan penglihatan baru, tampak jelas bukan hanya hitam dan putih, namun Soa betul-betul ada di dalam keramaian sana.

Semua orang terlihat hanyut berdansa di sekelilingnya. Soa semakin bingung apa maksudnya ia bisa ada di rumah putih yang megah itu.

Matanya terus mencari jawaban, “Acara apa ini? Siapa pemiliknya?” tak ada seorang pun yang bisa ia tanya, karena mereka melihat kehadirannya pun, tidak.

Tak lama kemudian alunan musik lembut itu pun berhenti. Seorang pria naik ke panggung menggunakan setelan jas pengantin. Ia muncul dengan pembawaannya yang penuh percaya diri di hadapan semua orang. Kehadirannya membuat Soa membelalak, Sancho yang ia kenali telah berdiri di sana dengan sikap penuh percaya diri.

Pria itu lantas memulai kata-katanya yang begitu ramah terdengar. Menyambut kehadiran para kolega yang mau datang karena undangan yang ia berikan.

“Aku berterima kasih kepada kalian yang bersedia datang ke pesta pernikahanku malam ini,” ucapnya mengejutkan Soa. Ia menduga bahwa mempelai perempuannya pastilah Molek, mengingat apa yang pria itu pernah lakukan di dalam mimpi anehnya yang pertama.

Mengingat lagi betapa tertekannya Molek dan Norman membuat Soa terbakar berang. Ia anggap pemaksaan yang dilakukan Sancho telah berhasil merampas kebahagiaan sebuah keluarga. Padahal ia tak pernah mengenal mereka, tetapi mungkin itulah yang disebut belas kasih alami yang ada di dalam diri manusia. Tanpa pandang bulu kapan pun bisa memancarkan getarannya, jika penindasan terjadi di depan mata.

Molek tidak ada di samping Sancho. Membuat Soa jadi bertanya-tanya disertai kekhawatiran. “Apakah ia sedang menangis di dalam ruangan seorang diri?” ujarnya dalam hati. Tidak mampu membayangkan bagaimana Molek akan hidup bersama orang yang tidak pernah ia cintai, bahkan orang itu juga yang membuat ayahnya terpuruk.

“Aku tidak menyangka akan menikah lagi di usiaku sekarang yang sudah menginjak 42 tahun,” Sancho masih asyik berceloteh di depan para tamu undangan. Wibawa yang menjadi jubahnya menjadi daya pikat yang dapat memasung semua mata untuk tertuju kepadanya. “Kukira gadis muda ini lebih tertarik pada orang kepercayaanku, tetapi siapa sangka ternyata pria tua ini lebih menggoda untuknya.” Seketika ucapannya menggelitik seisi ruangan untuk melontarkan tawa.

Pria itu kembali melanjutkan, “Aku tidak mengerti. Bagaimana rasa cinta bisa bekerja pada dua hati manusia tanpa memandang usia.

“Aku bukan orang yang percaya bahwa Tuhan penentu segalanya, tetapi aku tertarik pada bagaimana manusia berusaha untuk memenangkan takdir di dalam kehidupannya.

"Dan yang menjadi kebingunganku sekarang adalah, kapan aku berusaha memenangkan hati gadis ini?” ia lagi-lagi memancing tawa. “Dia sudah berlari ke depan mataku lebih dulu.” Riuh tawa kembali pecah, mereka terlihat begitu menikmati guyonan Sancho.

Sancho melirik kepada seorang pria sebaya di depannya. “Maaf Bidden, meski kita saudara sedarah, tetapi pesonaku telah mengalahkanmu,” ejeknya. membuat para tamu semakin tertawa bahkan kali ini disusul riuh tepukan tangan.

Tentu saja berbeda dengan Soa, dahinya justru mengerut karena risi mendengar kata-kata palsu itu. Batinnya berandai-andai, kalau saja tangannya dapat menyentuh apa pun di dunia maya ini, ia ingin menghajar pria itu hingga pingsan. Ia masih hafal dengan beberapa jurus karate yang dipelajarinya ketika masih duduk di sekolah dasar. Namun apa daya, naluri jagoannya tidak berfungsi pada dunia ini.

“Kini di hadapan kalian semua, aku ingin memperkenalkan wanita yang telah memenangkan hatiku.” Para tamu tertegun, terlihat sangat menantikan siapa sesungguhnya sosok yang telah berhasil menjadi pendamping bagi Sancho.

Pria itu lantas mengarahkan pandangannya ke lantai atas, lalu dengan sikap menyambut ia mengangkat tangan kanannya.

“Dialah istriku, Molek Benson Jorell.” Seketika mata para tamu pun menyusul pandang menuju apa yang dipersembahkan pria itu. Dari ujung tangga muncul seorang wanita muda yang dipanggil Molek menggunakan gaun putih dengan mahkota berlian. Ia terlihat bersiap-siap menuruni deretan anak tangga yang ada di depannya.

Bersamaan dengan penyambutan Sancho, Soa terlihat masih terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Molek Benson Jorell?” ujar gadis itu terheran-heran. “Jorell?” Seketika ia teringat pada kisah yang diceritakan oleh sahabatnya. “Apakah itu nama belakang keluarga suaminya? Kalau benar berarti ... Sancho yang ada di depanku ini adalah ...

“Sancho Jorell?!”

Alunan musik kembali mengiringi, kali ini tugasnya adalah menemani sang bidadari mendekat menghampiri sang suami. Ia menuruni tangga begitu anggun, meski mendung tak bisa dipungkiri telah menjadi riasan wajahnya yang cantik.

Mata Soa tak lepas mengamati. Ia masih bergelut dengan rasa penasaran, seperti apa wajah gadis yang menarik hati Sancho untuk dimiliki.

“Molek, apakah kau sosok wanita nahas yang melegenda itu?” gumam Soa. Hanya mampu bertanya dalam kebisuannya.

Perlahan tetapi pasti. Jauh pandangan samar itu semakin tegas terlihat. Seiring dengan satu-persatu anak tangga yang dilahap langkah kaki sang pengantin wanita. Membuka tabir yang tak pernah Soa sangka siapa dibaliknya.

Dalam sekejap! Perasaan Soa diguncang bukan main.

“Tidak mungkin!” Soa berseru tergemap. Mulutnya terbuka lebar tidak yakin dengan apa yang semakin lama semakin terlihat jelas olehnya. “Tidak mungkin! TIDAK MUNGKIN ...!”