webnovel

Molek

Soa baru ingat, ia harus segera kembali ke restoran. Kedua kakaknya pasti sangat membutuhkan bantuan. Dalam langkahnya ia menerka-nerka siapa yang akan datang mencarinya? Ia pikir, barangkali salah satu dari ketiga sahabatnya.

Disaat Soa hampir saja sampai untuk memasuki restoran, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil namanya.

“Soa ...”

Gadis itu membalikkan badan. Bibirnya langsung tersenyum simpul, ketika melihat siapa yang datang dan menyerukan namanya. “Hai, Arandra!” balas Soa hangat seraya melambaikan tangan.

Soa lantas menunda memasuki restoran dan memilih menghampiri Arandra di seberang. Ia tak tahu kenapa, kedatangan makhluk tampan itu sangat membuat hatinya senang.

“Bagaimana kau tahu aku di sini?” lanjut Soa setelah berdiri tepat di depannya.

“Aku pikir pengunjung taman pastilah orang yang bekerja di dekat sini,” sahut Arandra.

Soa cukup terkejut tanpa kehilangan rasa gembira di hatinya. “Wah, jadi kau sengaja mencariku?” canda Soa sambil melirik disertai senyum menggoda.

Arandra balas tersenyum. “Ya ... begitulah,” lalu mengaku malu-malu. “Sebetulnya, lebih tepat jika aku disebut beruntung.”

Soa berubah bingung, belum memahami maksud teman barunya itu.

“Kukira akan sulit bertemu denganmu lagi,” sambung Arandra. “Tapi ternyata nasib baik berpihak kepadaku. Baru pertama kali ini aku sengaja mencarimu, dan ternyata aku sudah menemukanmu sekarang.”

Soa dibuat tertegun mendengar ucapan Arandra. Ia hanya bisa membalas dengan senyuman sambil menikmati kenyamanan perasaannya terhadap pria itu. Namun tiba-tiba Soa menangkap sesuatu dan itu membuatnya agak terganggu.

Beberapa orang yang berjalan kaki sempat silih berganti lewat di depan mereka, dan itu mengusik benak Soa. Mereka melihat dirinya bersama Arandra dengan tatapan aneh. Soa jadi bingung apa yang salah dari dirinya dan juga teman barunya?

Soa lantas menduga, barangkali sikap pejalan-pejalan itu berasal dari gaya pakaian Arandra yang cuek dan berbeda dari umumnya. Gadis itu tersadar, di cuaca yang baru memasuki musim dingin ini, Arandra memang terlihat kuat tanpa jaket atau baju hangat lainnya. Ia hanya mengenakan celana panjang hitam dan kaos longgar polos berlengan pendek dengan warna senada.

Di dalam hati, gadis itu cuma bisa menerka-nerka, “Arandra memang unik. Pastilah mereka sama terkesima sepertiku karna melihat penampilannya yang tahan dingin begitu.” Soa menyilangkan tangannya, mengamati Arandra begitu saksama. “Aku jadi semakin percaya kalau dia itu betul-betul dewa. Manusia biasa mana mungkin kuat menahannya.”

“Ada apa?” Arandra melanjutkan dengan pertanyaan. Memancing Soa untuk mengungkapkan asumsinya terhadap orang-orang yang sempat membuatnya tergelitik.

“Tidak apa-apa. Aku ... hanya terkesan pada kekebalan kulitmu dari udara dingin.”

Arandra menengok ke badannya sendiri. “Oh,” sependek itu ujarannya saat ia mengerti di balik ungkapan Soa. Ia seolah tak bersemangat untuk menyambut pujian itu.

“Seandainya mereka tahu bahwa kau bukan manusia biasa, tentu mereka tidak melihatmu dengan pandangan begitu.”

Kali ini Arandra dibuat bingung. “Mereka?”

“Ya ... mereka yang sempat lewat di dekat kita. Aku bisa melihat betul raut mukanya. Mereka kebingungan tapi juga sulit memalingkan wajah darimu. Wah, kau sudah sangat berhasil menarik perhatian mereka.” Perkataan Soa melahirkan sebuah senyum di bibir Arandra, hanya saja ... senyum itu terasa hambar. Lantas Soa tertarik untuk mengulik lebih dalam, “Eh, tapi ... apa kau sungguh-sungguh tidak merasa dingin?"

Arandra terlihat terkejut, ia seperti terbebani dengan pertanyaan itu. “Tidak,” balasnya memulai, lalu terdiam sebentar seperti sedang mencari jawaban tambahan yang sesuai.

“Tubuhku – selalu ... terasa hangat,” simpul Arandra pada akhirnya.

“Oh ya! Wah, itu keren sekali.” Dalam sekejap perasaan antusias muncul di diri Soa. “Berarti jika aku menyentuh kulitmu, tanganku bisa merasakan hangatnya, bukan?” ia bertanya polos seperti anak kecil menemukan hal baru.

Arandra kemudian mengangguk dengan ragu.

Gadis itu langsung takjub. “Aku mau ...” langsung saja ia menyongsong seperti bocah ingin mengambil permen untuk menyentuh tangan Arandra.

Pria itu pun terkesiap, langsung saja bergerak mengambil langkah mundur. “Soa kakakmu!” Arandra menunjuk ke arah restoran dengan panik. Ia ingin perhatian gadis di depannya teralih kan.

Soa menengok ke restoran. “Kenapa?” tanyanya. Merasa tidak ada yang sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

“Kakakmu pasti membutuhkan bantuanmu. Restoran terlihat semakin ramai.”

Soa memasang muka bingung.

“Oh iya!” seketika Soa berseru seraya menjitak dirinya sendiri. “Kenapa aku bisa lupa.”

“Karena itu aku mengingatkanmu.”

Soa mengangguk setuju, “Terima kasih. Apa kau ingin mampir untuk makan sesuatu?” sambung gadis itu memberi penawaran.

Arandra lagi-lagi terkejut. Penawaran Soa menguras pikirannya untuk ke sekian kali agar mencari jawaban yang tepat.

“Mm ... menurutku itu ide bagus. Tapi karena restoranmu sedang ramai, aku tidak yakin masih ada tempat kosong. Lagi pula kau tentu tidak bisa menemaniku minum kopi bersama, bukan? Lain waktu saja aku akan mencobanya.”

Soa sebetulnya agak kecewa mendengar alasan itu, namun ia tahu Arandra benar. “Baiklah kalau begitu. Maaf, aku jadi harus meninggalkanmu,” ucapnya merasa tidak enak hati.

Arandra tersenyum penuh pengertian. “Tidak masalah, Soa. Tapi, bolehkah besok aku menemuimu lagi?”

Diiringi balasan lingkar senyum, gadis itu mengangguk mengizinkan. Tentu saja, jawaban itu menyalakan sinar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Arandra.

Soa lalu melambaikan tangan lagi, pamit meninggalkan teman barunya seorang diri.

Arandra yang masih tetap bertahan di tempatnya, memilih menunggu Soa sampai gadis itu masuk ke dalam Restoran. Melihat gadis itu bergerak menjauh, kesenduan tiba-tiba saja tergambar di wajahnya. Arandra diam tak berkutik, matanya menunjukkan bahwa ia ingin sekali merengkuh gadis di depannya kembali.

“MOLEK!” tersentak Arandra tiba-tiba. Didapatinya Soa tergelincir saat menaiki tangga untuk meraih pintu restoran. Pikirannya mendadak kacau, ia langsung berlari menghampiri Soa yang sudah terperenyak di sana.

“Aww!” Soa mengaduh kesakitan.

“Kau tidak apa-apa?” Arandra langsung bertanya penuh cemas kala Soa sudah ada di dekatnya. Air muka Arandra terkesan menyesali, kedua tangannya maju mundur ingin menggapai.

Pelan-pelan Soa berusaha bangkit sendiri. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya sambil menahan nyeri. Arandra hanya mematung dengan muka khawatir menyaksikan Soa yang berusaha menyangga tubuhnya lagi. Pria itu terlihat seperti orang tak berdaya untuk melakukan sesuatu.

Tiba-tiba saja pintu restoran dibuka, Edzard keluar dari balik pintu melongo ke arah Soa. “Kau terjatuh?” tanyanya polos.

Jelas saja Soa langsung melotot. “Menurutmu, apa aku sedang terlihat duduk piknik di sini?!” balasnya ketus.

Edzard termangu, ia jadi merasa bodoh atas dirinya sendiri. “Untuk apa aku memberi pertanyaan itu pada Soa,” batinnya menyadari.

“Aduh! Kakiku.”

“Ayo, aku bantu,” Edzard menyongsong ke arah adik iparnya itu. Maksud hati ingin memapah menaiki tiga buah anak tangga penyebab celaka, namun sedikit pun belum Edzard sentuh, Soa sudah menolaknya.

“Tidak usah! Biar aku minta bantuan temanku saja,” ucap Soa gusar.

Pria itu langsung terheran-heran mendengar perkataan Soa. Ia bahkan sampai celingak-celinguk memastikan sekitarnya.

“Temanmu yang mana?” lanjut Edzard.

Ganti kini Soa yang mengernyit bingung. Pandangannya berbelok ke tempat sebelumnya ia tahu ada Arandra di sana. Baru kemudian ia tersadar, tak ada Arandra lagi di dekatnya.