19 Bab 19: Rasa Penasaran

"Ahhh…"

Langit-langit kamar mewah itu dihiasi berbagai lampu kristal yang menggelantung. Sangat indah. Dan jika dibandingkan dengan klien mana pun yang menyewanya selama ini, padahal berbaring di sini dan disentuh pria tak pernah masuk dalam pikirannya.

Sadar-sadar, Renji membuat jarak begitu melepas simpul bathrobe-nya jatuh ke atas lantai. Pria itu menatap sosoknya dari ujung rambut terus ke bawah… hingga kembali lagi ke wajah syoknya yang sangat khas. Demi apapun, seluruh tubuhnya terlihat saat ini. Ginnan sampai refleks menyatukan pahanya, diam, dan mencoba mengatur nafas yang kembang kempis.

Mereka berada di posisi itu hingga Renji puas memandangi, baru pria itu benar-benar melumat lembut kulit bibirnya.

Ginnan jadi sekaku batang kayu di sofa itu. Lambat memproses dan menyadari segalanya. Satu pergelangan tangannya ditahan kuat. Terbenam di kedalaman bantal punggung berbordir emas. Sementara tangan yang lain diremas lembut jari-jemarinya. Satu demi satu. Dititi mulai dari celah ibu jari hingga kelingking. Lalu ke ibu jari lagi.

Ya tuhan! Ya tuhan! Ya tuhan!

Ginnan bersumpah dia ingin tahu sekarang juga! Apa Renji memperlakukan semua orang yang dia sewa seperti ini?! Kepada Haru? Kepada Jean? Kepada Yuka? Kepada semua teman-teman one night stand-nya?! Jika iya, pantas saja Renji sangat menarik bagi siapapun! Kalau orang-orang luar tahu akan disentuh dengan cara seistimewa ini, Ginnan pikir wajar jika mereka tak berpikir dua kali untuk tidur dengan Renji!

"Hahaha… kau terlihat menikmati juga pada akhirnya…" tawa Renji tiba-tiba. Wajah pria itu benar-benar tampak cerah saat ini. Deretan gigi rapinya terlihat sedikit diantara senyuman bibir tipis yang khas itu. "Kali ini aku tidak main-main. Jadi, apa perlu kulanjutkan? Tapi penerbangan kita sebentar lagi."

DEG

"Tidak! Tidak!" tolak Ginnan seketika. Dia mendorong Renji agar menjauh sedikit lebih lagi. "Tidak terima kasih! Tapi kau sangat brengsek! Kenapa buka-buka segala hanya untuk menciumku! Astaga!"

"Apa yang kenapa?" kata Renji. "Kupikir kau mengharapkannya kejadian."

"Apa?"

"Siapa yang protes sudah merasa telanjang hanya dengan kulihati?"

DEG

"Kau—"

"Praktik lebih memuaskanmu bukan?"

"Hah? Apa-apaan omonganmu! Aku tidak seperti itu!"

Dalam hitungan detik, Ginnan menendang kesal perut Renji hingga bisa bebas dan segera turun dari sana. Dia berlari menyasar ruang ganti baju. Tentu, sambil memegangi bathrobe kedodorannya yang sudah tak bertali. Seperti anak ayam yang baru kabur dari serigala. Dan begitu berhasil masuk di balik pintu itu, Ginnan mengusap keningnya yang berkeringat dengan punggung tangan.

"Bodoh sekali… bodoh sekali!" rutuknya kesal ke diri sendiri. Dia memukuli kepala dan memandang awang-awang. Entah kenapa mendadak dunia seperti begoyang tak tentu arah beberapa saat. Lalu ketika sadar, dia baru menunduk ke bawah dan melihat kakinya yang gemetaran samar-samar.

Oh, yang benar saja! Renji bahkan tidak menyentuhnya di pangkal paha! Tapi sekarang dia benar-benar ingin ke kamar mandi kalau bisa! Benar-benar menyebalkan!

"Ck! Jangan dipikirkan! Ganti baju! Ganti baju! Ingat ini hanya akan selesai dua minggu!" bisiknya ke diri sendiri. Sekali lagi, dia memilah-milih diantara sekian koleksi baju Renji saat itu.

.

.

.

Terbang ke Milan.

Renji melirik ekspresi wajah Ginnan ketika mereka berjalan di lapangan bandara. Ginnan diam. Sejak turun dari taksi, lelaki itu menatap ke sekitar dengan mata yang terbuka lebar-lebar seolah baru pertama kali memijak tempat ramai seperti ini.

Oh… atau ini memang yang pertama baginya di bandara?

Bisa jadi.

Dia kursi VVIP-nya—Seperti bayangan Renji—Ginnan justru sibuk mengetuk-ketuk kaca pesawat setelah lepas landas. Dia menatap ke luar sana tempat gumpalan-gumpalan putih berkumpul sangat dekat.

Seberapa tinggi pesawat ini membawanya terbang? Mungkin itulah yang Ginnan pikirkan. Dia pasti terlalu penasaran sampai lupa menyendok sarapan di depannya!

"Makan," kata Renji. Tanpa melirik sedikit pun. Di sampingnya, pria itu kembali melanjutkan bacaannya ke majalah otomotif tadi. Ginnan pun menjauh dari jendela itu.

"Itu bukan urusanmu kan…" kata Ginnan.

"…"

Ginnan memutar mata karena merasa diacuhkan. Dia mendengus melihat Renji menandai salah satu mobil mewah entah merek apa di dalam majalah itu. Demi apapun! Dia bersumpah pria ini akan memboyong mobil baru dalam waktu dekat. Hanya karena audi hitamnya menabrak tiang kapan hari? Dia bahkan masih punya porsce putih!

"Ah.. terserah saja," kata Ginnan. Lalu mulai menyuap sarapannya.

Di kursi VVIP ini, suasana sangat privat dan hanya ada mereka berdua. Di kotakan lain mungkin ada selebrita lain. Dan semua orang yang ada di bagian ini kelihatannya tahu untuk tidak membuat kebisingan yang berarti.

Sambil mengunyah, sesekali Ginnan celingukan. Membuka ponsel bermode pesawatnya, gabut, dan kembali makan lagi. Dia baru sadar bacaan Renji sudah berubah ketika baru menghabiskan sarapannya.

"Hei, Tuan…" kata Ginnan. "Itu kan…"

Renji beralih fokus ke padanya. "Kau bekerja dimana sebelum mulai menjual seks?"

DEG

Ginnan meneguk ludah. Dia ingin sekali lari dan memainkan sarapannya andai saja belum habis. "Aku… biasa saja. Tidak kemana-mana kok. Tidak ada yang istimewa," katanya. Tak ingin memandang buku profil para pelacur yang disediakan Madam Shin untuk setiap pelanggannya. Buku itu ada di tangan Renji. Dan tentu saja, pria itu sedang membuka halaman yang memuat foto Ginnan di bagian portofolionya.

Disana, Ginnan berbaring di atas ranjang dengan kemeja putih dan celana denim yang pas kaki. Dua kancing teratasnya terbuka. Di sela bibirnya ada setangkai bunga mawar merah dan tatapan matanya menghajar kamera dengan ketajaman yang menusuk fotografer.

Mata itu besar. Dan siapapun pelanggan yang menyukai sosok lelaki cantik pasti tertarik tidur dengannya.

"Jadi kau sudah jadi pelacur cilik sejak masih usia sekolah?"

DEG

Ginnan menggeleng. "Bukan… tentu saja bukan."

Mereka bertatapan.

"Lalu?"

Ginnan menahan nafas. "Apa aku akan dibayar dengan memberi informasi yang pribadi?" tantangnya.

Renji tak berkedip sekali pun. "Tentu. Memang berapa yang kau minta."

"Apa?"

Ginnan segera membuang muka dan menggeleng seteguhnya. "Tunggu… tunggu… aku lupa kalau kau kaya. Hahaha…" tawanya hambar. "Jadi tadi aku tidak bersungguh-sungguh, asal kau tahu. Aku tidak berniat menjual informasi atau semacamnya, jadi—"

"Kenapa?" sela Renji.

"Itu informasi pribadi," bantah Ginnan. "Kenapa masih saja kau tanyakan?"

"Apa itu pekerjaan yang lebih menjijikkan dari menyewakan kelaminmu?"

Seketika, beku.

Jika wajah Renji diibaratkan sedang bercermin saat ini, maka di mata Ginnan kacanya mendadak pecah jadi serpihan.

Ginnan melengos ke jendela.

"Cukup jangan membahasnya. Kita bisa bicarakan hal yang lain."

Meski terlihat tegar, Ginnan yakin suaranya tetap goyang.

"Yakin tidak ingin menjualnya? Aku bisa memberimu bayaran cukup untuk menebus kontrak kebebasan."

Seketika, Ginnan mengepalkan tangan tanpa sadar. Dia memejamkan mata untuk sejenak. "Kenapa kau sangat ingin tahu urusanku?!" bentaknya tiba-tiba. Ginnan marah dengan urat mata yang memerah. Diserbunya Renji dengan jenis ketajaman yang lebih parah dari hasil fotonya di dalam portofolio buku profil.

Bukannya menjawab memuaskan, Renji justru menghela nafas panjang dan meletakkan buku itu. "Anggap saja aku sedang bosan…"

"Apa katamu…" desis Ginnan. Kepalan tangannya gemetar samar-samar. "Benar-benar keterlaluan…"

"Aku hanya menawarkan kebebasan," kata Renji. "Tapi, ya sudahlah… tidak kau jawab tak masalah. Anggap saja yang barusan tak pernah kukatakan. Batal, mengerti—"

"Aku komikus! AKU KOMIKUS! PUAS?!" sela Ginnan berapi-api.

Beruntung itu ruangan VVIP. Ginnan tak perlu khawatir akan berteriak sampai udara paru-parunya hampir habis atau apa.

Renji sampai tertegun melihat ekspresi di wajahnya.

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter