18 Bab 18: Kecupan Manis

Pagi, Ginnan belum bangun hingga Renji mengatakan sesuatu dengan suara berat.

"Buka matamu, kucing pamalas…"

Suara itu seperti langsung menuju telinganya. Ginnan sampai langsung terbangun duduk tanpa peduli penampilannya seperti apa.

"Apa! Apa! Sudah siang?!" teriaknya spontan. Ekspresi horornya langsung dibalas kekehan pelan dari Renji.

"Ya. Penerbangan kita sudah berlalu," kata Renji. Tapi di sofanya, pria itu justru tampak santai menyesap teh dengan majalah otomotif ada di tangan.

"Apa?! Memang ini jam berapa?!"

Ginnan menyasar jam beker, Renji seketika berdiri. Meletakkan majalahnya ke meja dan berjalan ke tirai hingga mentari pagi menyilaukan pandangan lelaki itu.

"Aw! Baru jam 7! Dasar sial!" umpat Ginnan sambil menutup matanya dengan lengan. "Kukira sudah jam sepuluhan tadi! Astaga!"

"Hmph, memang kau mengharapkan apa dari omonganku?"

Renji berbalik, Ginnan langsung menatapnya sengit. "Iya juga! Lupa saja kau ini pria brengsek! Padahal aku khawatir merusak rencanamu!"

Mendadak Renji tersenyum tipis dan mendekat. Ginnan refleks pun tegang dan siaga. "Hei, mau apa?" tanyanya. Dengan kedua tangan meremas selimut bulu yang menutup separuh badannya.

"Mandi sana," kata Renji. Begitu sampai di depan Ginnan dengan senyum yang berubah seringaian. Ginnan sampai tak habis pikir kemana muka pucatnya semalam tadi. "Kau tidak lihat? Ada dua cleaning service masuk untuk beres-beres."

DEG

"Apa?" kaget Ginnan. "Dimana?" tanyanya. Urgen. Dan setelah mengedarkan pandangan, memang ada dua petugas yang siap bersih-bersih tapi masih berdiri segan di pojokan kamar. Menatapnya. Menatap Renji. Dan kedua pasang mata itu penuh rasa penasaran.

"Aku tinggal sendiri, ingat?" kata Renji. "Atau kau mau tidur lagi, tapi bangun nanti membereskan?"

"Tidak! Tentu saja tidak mau!" kata Ginnan cepat. "Aku turun! Aku turun!" katanya. Lalu segera turun tanpa peduli sempat terantuk gumpalan selimut yang terjuntai turun hingga ke lantai. "Aw! Aw! Brengsek!" makinya.

Renji sampai menatapnya heran sebelum Ginnan cepat-cepat lari masuk kamar mandi. Terlalu malu. Bangun di ranjang pria seperti Renji dan rambutnya tadi pasti megar besar.

Brakh!

Dan Ginnan yakin, di luar sana Renji sedang terkekeh menghina kelakuannya.

"Astaga… Gila…! Kenapa tidak membangunkanku dulu sih?! Menyebalkan!" dumal Ginnan seorang diri. Meski pagi itu, Ginnan sampai mengerutkan kening melihat meja wastafel panjang Renji.

Tadi malam Ginnan memang mengambil sikat gigi baru di loker Renji. Warnanya sama, jadi karena takut tertukar… tentu, dia meletakan benda itu di pojokan sebelah handsanitizer. Anehnya, pagi ini sudah ada gelas baru untuk meletakkan benda itu. Gelas tersebut bergambar muka Naruto versi kecil. Sementara milik Renji sejak semalam sudah diletakkan di gelas bergambar Naruto versi Hokage. Letak keduanya sebelahan. Dan Ginnan bersumpah, jika Haru memang sering disini… kenapa tak ada sedikit pun barang lelaki itu?

"Aku pasti kebanyakan pikiran…" desah Ginnan. Lalu merosot jongkok untuk menekuri segala hal yang terjadi.

Seperti mimpi. Bertemu Renji rasanya tak beda dari naik Histeria. Kadang dinaikkan hingga tinggi. Kadang diajatuhkan tanpa peduli. Namun, jujur dari hati, Ginnan tak habis pikir sentuhan pria itu sangat nyata. Menyenangkan. Padahal tak ada hubungan khusus diantara mereka.

Ginnan meraba bibirnya dengan jari. Dan—hei! Itu baru bibir! Renji belum benar-benar menyentuhnya hingga sekarang.

"Astaga, aku harus bertahan," gumam Ginnan. Mencoba menyadarkan diri. "Apapun yang terjadi, ini hanya dua minggu. Setelah itu aku bebas, dapat uang banyak dari dia, dan akan pergi dari sini."

Menyemangati diri sendiri, Ginnan pun bangun. Segera dia bersih-bersih dan mencoba memperlakukan ruangan itu seolah seperti kamar mandinya sendiri. Main busa sabun mandi susu. Menggila seperti anak kecil hingga puas, baru keluar dan kaget melihat semua barang yang dia butuhkan sudah siap di koper-koper yang dikirimkan Madam Shin.

"Mandimu 40 menit. Bagus sekali," kata Renji. Nadanya sarkas tapi terkekeh. Dia sudah berpakaian rapi dengan jaket tebal selutut dan dalaman sweater hitam turtleneck polos. Sangat tampan. Ginnan sampai membuang muka, memungkiri keindahan itu.

"Aku lupa diri. Maaf. Kamar mandimu sangat nyaman," kata Ginnan. Dia mendekat dan duduk di sofa seberang Renji sembari mengusap rambut dengan handuk. Wardrobe putihnya kedodoran. Jelas karena itu ukuran untuk tubuh Renji. Ginnan yakin Renji menatap penampilannya tanpa berkedip saat itu. "Oh, ya… cleaning service-mu sudah pergi, padahal aku lapar."

Dari majalan otomotif, Renji meliriknya sekilas dengan kedipan. "Kita makan nanti di jalan. Atau nanti di bandara. Penerbangannya sejam lagi."

"Oh…"

"Kau kecewa? Atau tidak biasa menahan lapar?"

Ginnan mendengus. "Tentu saja! Aku kan pekerja yang mengandalkan tenaga fisik. Sarapan pagi tepat waktu adalah kewajiban!"

Apa-apaan sih yang barusan? Ginnan sendiri tidak sadar mengatakan suatu hal yang memalukan!

"Ho. Kalau begitu lain kali cobalah bangun pagi."

"Kau tidak membangunkanku! Sudah tahu aku semalam sangat stress!"

Renji menoleh kepadanya kali ini. "Kau stress?"

DEG

"…"

"Karena kusewa? Kusentuh seperti itu bukan maumu?"

"Demi tuhan! Kalau sudah tahu kenapa bertanya!" teriak Ginnan dalam hati. Tapi entah kenapa terasa sangat memalukan. Dia gigolo professional. Hanya karena lurus, apa itu bisa disebut alasan cukup bagus untuk stress?

"Tidak kok…"

Suara Ginnan memelan di akhir. Dia merengut dan terus mengusap rambutnya dengan emosi.

"Benarkah?"

"Ck. Kenapa butuh kepastian sih! Kalau kubilang iya ya iya!"

Ginnan melotot. Renji bangkit dengan majalah dibiarkan jatuh ke sofa begitu saja.

DEG

"H-Hey... Tuan…"

Ginnan mundur. Renji justru menumpu satu lutut diantara kakinya dan mendekat. Kedua lengannya memerangkap di punggung sofa. Membuat Ginnan teguk ludah. Glek!

"Mana ciuman pagiku."

"Apa?"

Renji menghirup aroma sabun dari lehernya. "Tadi kau benar-benar pesta di kamar mandiku," katanya. "Aku jadi penasaran seberapa banyak sabun yang baru kau habiskan."

Ginnan menahan nafas. Bulu kuduknya meremang ketika kulit bibir itu mengecup pelan kulit tipisnya. "Mn… sepertinya memang… banyak…"

Dari ceruk leher ke kulit bahu. Renji menyibak sedikit bathrobe itu hingga meluncur jatuh ke lengan. Sensasinya aneh. Ginnan melihat adegan itu dengan tatapan paling horror pagi ini. Sebab Renji bukan tipe pria lembut di matanya. Tapi entah kenapa, kecupan itu seperti sedang memanja porselen antik.

"Baumu seperti bauku. Ternyata tidak buruk juga," kata Renji. Ginnan tak berkedip ditatapnya. Dia menahan napas kala kecupan itu mampir ke hidung. Dan berulang lagi hingga merambat ke kening di kali kedua.

Ginnan berkedip-kedip. Bingung. Jemarinya menggali lebih dalam di bahu itu begitu kelopak-kelopak matanya ikut dicumbu. Sesekali dia melengos, risih. Tapi Renji mengikuti kemanapun wajahnya menghadap saat itu.

"Hey, tunggu… tunggu!" protes Ginnan. Terengah-engah tanpa sadar. Dia sendiri tak menyangka bisa berdebar begitu berisik saat itu. Matanya bergulir nyalang ke arah Renji. "Kau ini… benar-benar menakutkan! Sudah kubilang kan… kalau mau menyentuhku, sentuh saja. Tidak perlu basa-basi!"

Renji diam sejenak. Ekspresi pria itu tak berubah bahkan hingga kata-katanya mulai meluncur.

"Kau pelacurku, aku Tuanmu. Atas dasar apa kau bisa mengatur-atur?"

DEG

"Apa?"

"Di atas kontrak, aku bisa menidurimu kapan saja. Termasuk sekarang. Dan perasaanmu bukan urusanku," tegas Renji. "Jadi ini yang kau bilang professional?"

Seketika, lidah Ginnan terasa kelu. "Tapi… tapi…" lalu tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

Renji tidak salah sedikit pun. Tapi, memang Ginnan masih sulit menerima. Semalam, sebelum Ginnan sadar sedang dikerjai, dia sempat membayangkan akan habis seperti dikunyah binatang buas. Seperti dibanting jatuh, lalu disentuh sesuka hati layaknya diperkosa bajingan tak berwajah. Sayang imajinasinya berantakan. Semakin pria ini memanjanya, semakin terasa menakutkan.

"Ciuman!" jerit Ginnan tanpa berpikir. "K-Kau bilang tadi minta ciuman pagi! Kau tahu kan ciuman itu di bibir. Jadi kenapa menatapku seperti itu? Aku jadi merasa telanjang sebelum kejadian!" protesnya getol, meski mukanya sudah terlihat warna-warni.

Renji mendengus. Seringai tipisnya hilang ketika malah membenamkan wajah di lipatan leher itu. Ginnan terhentak. Dia seperti pindah ke dunia lain dalam kecepatan mesin waktu kala didorong jatuh rebah di sofa. Dia menggigit bibir. Tak mau mengeluarkan suara sedikit pun ketika daerah sana kembali ditandai. Satu, dua, tiga… entah menambah di tempat mana saja.

Ginnan tak mau membayangkan. Dia bahkan yakin bekas-bekas yang ditinggalkan Renji saat mencumbunya di batang pohon masih ada, kini malah diperdalam lagi.

"Ahhh…"

.

.

.

NB: Saya sarankan membaca author's note juga pada tiap bab. Karena di sana ada hal-hal yang cukup penting untuk diketahui.

avataravatar
Next chapter